TAMAN Hutan Raya (Tahura) Denpasar adalah lahan milik negara yang dijadikan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Lahan milik negara ini dikelola oleh Pemprov Bali.

Tahura ini pada awalnya merupakan Kelompok Hutan Prapat Benoa RTK 10 yang merupakan hutan mangrove seluas 1.375,5 hektar. Dalam perkembangannya ini diubah status menjadi Taman Hutan Wisata Alam Prapat Benoa – Suwung (TWA BPS) berdasarkan Kepmenhut RI Nomor 885/Kpts-II/1992 tanggal 8 September 1992. Agar dapat dikembangkan untuk kepentingan lingkungan dan pariwisata, Gubernur Bali (saat itu Ida Bagus Oka) mengajukan permohonan kepada Menhut RI untuk mengubah lagi statusnya menjadi Taman Hutan Raya sehingga terhitung sejak 25 September 1993 TWA BPS resmi menjadi Taman Hutan Raya Ngurah Rai (TNR). Nama Ngurah Rai diambil dari pahlawan I Gusti Ngurah Rai.

Berdasarkan letak geografisnya, TNR terletak pada segi tiga emas pariwisata Bali. Di timur terletak Pantai Sanur, di barat Pantai Kuta dan di selatan Kawasan Wisata Nusa Dua. Akses menuju TNR mudah karena hanya 6 km dari pusat Kota Denpasar dan 4 km dari Bandara Internasional Ngurah Rai, Tuban, Badung.

Keberadaan TNR sangat menarik. Setiap bulan ribuan turis asing maupun domestik berkunjung untuk menikmati keindahannya. Pesona TNR disebabkan tak kurang dari 14 jenis tumbuhan mangrove tumbuh di sini. Dari 14 jenis itu lima diantaranya cukup dominan, yakni mangrove jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba dan Sonneratia caseoloris. Pesona TNR juga disebabkan panorama khas mangrove serta telah terbangunnya jogging tracking sepanjang kurang lebih 1.400 meter, bangunan menara (tower), dan shelter. Satwa khas TNR seperti burung, ikan, kepiting dan biawak menambah daya tarik kawasan ini. Jogging tracking dimanfaatkan untuk jalan santai pengunjung. Menara (tower) dimanfaatkan untuk melihat pemandangan di sekitar hutan mangrove dari atas. Di kawasan ini juga ada pondok peristirahatan pada jalur jogging track sebagai tempat bersantai dan beristirahat pengunjung sembari menikmati keindahan mangrove dan satwa air.

Objek lain yang sudah ada adalah tempat ibadah umat Hindu antara lain Pura Candi Narmada atau Pura Tanah Kilap, tempat ibadah umat Budha antara lain Klenteng Griya, Konco Dwipayana-Ling Sii Miao Kilap, estuary dam dan sejumlah bangunan Pusat Informasi Mangrove (Mangrove Information Centre/MIC) yang dibangun atas bantuan Jepang.

Bangunan lain yang sudah ada adalah loket karcis, kios pedagang, areal parkir, dan toilet. Semuanya pada blok pemanfaatan. Tidak satupun pada blok pemeliharaan, apalagi blok perlindungan. Keberadaan Tahura ini sangat dirasakan  Pemprov Bali dan Desa Pakraman Kepaon karena setiap tahun  Rp100 juta masuk PAD Bali dan ratusan juta masuk kas Desa Pakraman.

 

Pengusahaan vs Penguasaan

Berkenaan opini media TNR dikuasai, dikavling bahkan dicaplok investor (Bali Post, Radar Bali, dan Nusa Bali Sabtu, 6 Oktober 2012), mengesankan bahwa kawasan itu tidak lagi milik negara. Berita itu mengesankan TNR Suwung sudah jadi milik investor. Kesan itu demikian kuat karena ditulis pada headline berita. Namun, tidak demikian kenyataannya.

Pemprov Bali dan Kemenhut RI tidak menguasakan, mencaplokkan atau mengkavlingkan lahan TNR kepada investor PT Tirta Rahmat Bahari (PT. TRB). Pemerintah hanya memberikan ijin prinsip mengusahakan pariwisata alam. Bukan alih kepemilikan lahan. Semua lahan tetap milik negara dan tetap dikelola Pemprov Bali. PT. TRB hanya diijinkan mengusahakan pariwisata alam. Ijin hanya diberikan di atas lahan blok pemanfaatan TNR. Bukan di blok lainnya. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Suaka Margasatwa, Tahura dan Taman Wisata Alam menegaskan lahan blok pembinaan dan perlindungan tidak boleh digunakan lahan usaha pariwisata alam.

PT. TRB mengajukan ijin pada 2010. Pada 2011 perusahaan itu memperbaharui permohonannya. Selanjutnya Dinas Kehutanan, Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Dinas Pariwisata Daerah Bali selaku instansi teknis yang menangani bidang pariwisata di daerah mengeluarkan rekomendasi teknis. Atas dasar rekomendasi teknis itu Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengeluarkan ijin prinsip mengabulkan permohonan investor sepanjang mematuhi semua ketentuan yang berlaku.  Ijin prinsip itu dijadikan dasar mengeluarkan ijin operasional sehingga melalui Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Sumber Daya Alam Kemenhut RI mengeluarkan ijin operasional. Lebih lanjut berdasarkan ijin Kemenhut Gubernur memberikan persetujuan.

Semua proses itu tidak mesti mendapat rekomendasi legislatif. PP 36/2010 tidak mensyaratkan demikian. Persetujaun baru diperlukan apabila proses telah mencapai tahap kolaborasi, yaitu tahap persetujuan atau kesepakatan antara investor, ekskutif dan legislatif yang memuat apa dan bagaimana pembangunan dilaksanakan, teknis pembangunannya sampai bagaimana kontribusi bagi daerah dan para pihak. Sebelum kolaborasi terbentuk, investor tidak boleh melakukan aktivitas fisik. Oleh karena kolaborasi belum tercapai, maka belum ada satupun kegiatan fisik yang dilakukan PT. TRB di kawasan TNR. Tidak ada perataan material, tidak ada pembangunan restoran, tidak ada gazebo dan tidak ada fasilitas outbond.

Ijin pengusahaan pariwisata alam berbeda jauh dengan permohonan pemanfaatan lahan sebagaimana pernah diajukan Pemkot Denpasar untuk perluasan estuary dam beberapa waktu lalu. Permohonan pemanfaatan lahan itu jelas-jelas akan berdampak pada luasan lahan TNR sehingga ditolak. Sedangkan pengusahaan adalah kegiatan yang tidak mengubah luasan lahan dan hanya diatas lahan yang diijinkan.

Dari sembilan blok pemanfaatan di kawasan TNR hanya satu yang dimohon PT. TRB, yakni di kawasan Suwung Kauh. Blok lainnya (di Sanur, Serangan, Tuban, Nusa Dua dan Jimbaran) tidak dimohon. Karena itu, tidak benar investor menguasai hutan mangrove.

Investor tidak menguasai, mencaplok, mengkavling ataupun menyewa hutan mangrove TNR. Gubernur Bali juga tidak menguasakan, menyewakan, mencapokkan ataupun mengkavlingkan hutan mangrove. Pembangunan 75 fasilitas akomodasi juga tidak ada. Tidak ada alat berat yang meratakan batu kapur. Pun tidak ada hutan mangrove yang gundul di blok Suwung Kauh. Yang ada adalah, semua itu hanya berita media cetak, utamanya Bali Post.

Bahwa Gubernur Bali Made Mangku Pastika begitu mudah dan mulusnya mengeluarkan ijin penguasaan mangrove, diam-diam, bohong dan tidak konsisten pada komitmen Bali Clean and Green sehingga program itu hanya sekedar tempelan adalah opini media tertentu. Bukan fakta. Sebab, semua ijin yang dikeluarkan Pemprov Bali pasti sudah melalui proses, prosedur, mekanisme dan persyaratan tertentu sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Itu karena selain pemegang mandat kekuasaan rakyat, pemerintah adalah juga penjaga tatanan sosial, etika birokrasi, mengusahakan persatuan dan kesatuan dan juga pengemban dan pengamal Pancasila. Bukan provokator, agitator apalagi pemecah belah masyarakat.

Berita bahwa pengeluaran ijin itu cerminan program Bali Clean and Green sekedar pemanis bibir atau tempelan juga tergolong tendensius karena fakta lapangan menunjukkan setidaknya dua dari tiga permohonan ijin pengusahaan pariwisata alam ditolak. Keduanya adalah permohonan yang diajukan PT Anantara dan PT Nusa Bali Abadi di Kawasan Hutan Batukaru (Dasong dan Danau Buyan) dengan alasan melanggar Bhisama Kesucian Pura PHDI Pusat Tahun 1994 dan Perda RTRWP Bali. Penolakan disampaikan langsung Gubernur Made Mangku Pastika walaupun investor telah mengantongi ijin Kemenhut RI.

Ditulis oleh : Dewa Rai Anom