Jakarta (Metrobali.com)-

Komitmen Indonesia dalam mendukung pertumbuhan produk kehutanan yang legal dan lestari diwujudkan dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang sudah diinisiasi sejak tahun 2001. Sistem verifikasi yang semula ditujukan untuk memberantas pembalakan liar dengan penegakan hukum dan aspek legalitas, kini diperluas makna menjadi perdagangan kayu legal yang berkelanjutan, dan mendukung tata kelola hutan yang baik di Indonesia.  Kontribusi hutan dalam pembangunan Indonesia sangat besar karena luasan kawasan hutan di Indonesia mencapai 65,8% dari luas daratan.

Tren nilai ekspor Indonesia dari sektor kehutanan juga cenderung meningkat melalui dukungan pemerintah dengan penjaminan legalitas dan kelestarian produk kehutanan. Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Agus Justianto, mengatakan sistem SVLK terus mengalami penyempurnaan terutama setelah terbitnya UU Cipta Kerja dengan memberikan kemudahan implementasi SVLK bagi UMKM.

“SVLK ini adalah bentuk perjuangan kita bersama, sebuah pekerjaan rumah yang tidak hanya di dalam negeri tapi juga di tingkat global. Kami berharap dukungan semua stakeholder untuk memperjuangan SVLK dan FLEGT / VPA agar terus berlanjut dan memberikan manfaat bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia,” kata Agus, pada Diskusi Pojok Iklim secara daring, Rabu, (8/9).

Menurut Agus, implementasi SVLK juga memberikan manfaat antara lain kepercayaan pasar yang lebih baik, akses pasar terutama ke pasar internasional, menekan laju kerusakan hutan, mendukung perbaikan tata kelola dan jaminan bagi mitra dagang atas bukti dan keterlacakan bahan baku dari sumber legal dan lestari. SVLK telah berhasil menaikkan nilai ekspor produk kayu sebesar 91,7% sejak 2013 ke tahun 2019.

Selanjutnya, Arif Havas Oegroseno, Duta Besar RI untuk Republik Federal Jerman mengatakan meskipun implementasi SVLK menunjukan tren positif, masih terdapat beberapa tantangan terutama untuk pasar Uni Eropa yang masih didominasi oleh pelaku pasar dari negara non FLEGT / VPA seperti China.

“Uni Eropa sampai saat ini belum mengimplementasikan pasal 13 dalam kesepakatan FLEGT / VPA yang seharusnya mengikat secara hukum. Pasal 13 mengatur tentang insentif pasar dari Uni Eropa untuk produk dari negara-negara FLEGT/VPA misalnya untuk public and private procurement,” kata Arif.

Arief menambahkan, pasal 13 harus digunakan sebagai isu pembahasan dengan Uni Eropa terkait dengan kewajiban hukum Uni Eropa untuk mempromosikan posisi yang menguntungkan di pasar Uni Eropa untuk produk kayu FLEGT VPA yang mencakup legalitas, keberlanjutan dan tanggung jawab sosial.

Sementara itu tantangan SVLK di pasar domestik menurut Iman Santoso, Wakil Ketua Umum III Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia antara lain menyampaikan bahwa masih terdapat kecenderungan preferensi konsumen yang mengutamakan harga murah daripada aspek legalitas dan kelestariannya.

“Pembiayaan proses sertifikasi belum sebanding dengan apresiasi harga PHL / VLK karena untuk pasar domestik preferensi konsumen cenderung mengutamakan harga murah daripada aspek legalitas dan kelestariannya, selain itu masalah konflik tenurial di kawasan hutan harus bisa diselesaikan bersama. Juga tentang biaya produksi yang semakin tinggi dan perlunya memperbanyak akses pendanaan karena usaha di bidang kehutanan terutama pada produksi kayu merupakan jenis usaha yang berisiko tinggi dan berjangka panjang,” kata Iman.

Menurutnya, tantangan ke depan adalah promosi SVLK sebagai instrumen kelestarian, perluasan dan penguatan pasar domestik untuk produk kayu bersertifikat, pengembangan aplikasi seperti ITX dan BVRio, insentif untuk PBPH dan masyarakat yang melakukan kemitraan dan perlunya penjajakan sinergi integrasi SVLK dengan sistem sertifikasi lainnya.

Iman mengatakan ke depan penguatan pasar internasional juga dapat menyasar negara di luar Uni Eropa seperti Amerika Serikat, Australia dan Jepang yang juga mensyaratkan perdagangan kayu legal.

SVLK adalah sistem yang kredibel karena sejak awal prosesnya melibatkan multipihak termasuk pemantau independen yang melakukan pemantauan terhadap implementasi SVLK. Namun tantangan lain yang dihadapi SVLK adalah tentang keterbukaan informasi publik. Sistem SIPUHH menurut Mardi Minangsari dari Kaoem Telepak, harus terkoneksi dengan sistem yang ada di industri lanjutan, masih ada praktik-praktik yang melanggar aturan SVLK baik di hulu dan hilir dan keberlanjutan dukungan dari pihak dalam kegiatan pemantauan oleh pemantau independen serta memastikan negara konsumen hanya menerima kayu legal dan berkelanjutan.

“PR (pekerjaan rumah) buat Indonesia, kredibilitas itu tidak bisa ditawar-tawar. Buat kami, masyarakat sipil, agak susah berdebat di forum internasional kalau tidak bisa meyakinkan bahwa sistem ini kredibel,” kata Minang.

Diskusi virtual yang dipandu oleh Direktur Program MFP4, Tri Nugroho ini dihadiri oleh lebih dari 380 peserta yang terdiri dari Kementerian/Lembaga, organisasi non-pemerintah, perguruan tinggi, sektor privat dan individu.