Foto: Founder sekaligus Ketua STMIK Primakara I Made Artana, S.Kom., M.M.

Denpasar (Metrobali.com)-

Indonesia melahirkan ribuan sarjana IT tiap tahunnya tapi yang punya kemampuan teknis yang mumpuni sebagai programmer sangat sedikit. Ini yang jadi problem besar sehingga Indonesia dikategorikan “darurat programmer.”

Terlebih permintaan terhadap tenaga programmer sangat tinggi seiring semakin banyaknya muncul perusahaan rintisan (startup) teknologi.

“Ketika banyak orang mencoba ingin membuat startup berbasis teknologi pasti salah satu kendala terbesarnya adalah kekurangan programmer atau hacker. Sangat susah mencari programmer yang mumpuni,” kata Founder sekaligus Ketua STMIK Primakara I Made Artana, S.Kom., M.M., Kamis (13/6/2019).

Membangun sebuah startup membutuhkan tim yang solid yang terdiri atas hustler (marketer/pemasar),  hispster  (desainer) dan hacker (programmer).

Hustler yang memikirkan model bisnis dan melakukan pemasaran. Ada hipster yang mendesain tampilan produk dan memikirkan user experience (pengalaman konsumen ketika menggunakan produk). Lalu ada  hacker yang melakukan koding atau programing membuat produk itu sendiri.

“Kebanyakan orang ingin menjadi Hustler dan Hipster. Di dua bidang ini talenta kita tidak kurang. Tapi talenta di Hacker atau programmer kita sangat kurang,” imbuh Artana yang juga Founder Kampus Alfa Prima ini.

Ini Kendala Cetak Programmer

Menurut Artana ada sejumlah kendala yang menyebabkan mahasiswa IT tidak bisa programming dan setelah lulus tidak mengasah skill menjadi programmer.

Pertama, kendala mental. Analogi mirip seperti anak SMA yang dengar mata pelajaran matematika. Jika di benak mereka matematika sudah dipersepsikan sebagai mata pelajaran yang menyeramkan di sekolah maka bagaimana mereka mau belajar matematika.

“Sama di kalangan anak anak IT, sebagian menganggap mata kuliah terkait programming sangat menyeramkan. Karenanya pembelajaran programming harus dirancang menyenangkan sehingga terkesan easy dan happy,” kata Artana.

Programmer yang membuat sebuah aplikasi atau sistem IT layaknya arsitek yang merancang bangunan. Kalau mendirikan bangunan berlantai empat komponen penyusunnya sama batu bata. Sepanjang kita bisa menyusun batu bata maka kita bisa membuat gedung tinggi berlantai.

“Mindset paling penting, jangan mudah takut pada sesuatu. Sama halnya dengan jadi programmer,” kata pria yang juga pernah bertahun-tahun berkarir sebagai programmer ini.

Kendala berikutnya seorang yang ingin belajar programming dan menjadi programmer tapi tidak berada di lingkungan yang tepat. Jadi mahasiswa harus mencari lingkungan yang pas. Tidak bisa hidup di lingkungan yang tidak suka programming.

“Selain di kampus, harus aktif belajar dengan komunitas programmer. Apalagi sekarang banyak komunitas untuk berdiskusi baik secara online maupun tatap muka,” ujar Artana.

Kampanyekan Anak IT Harus Bisa Programming

Menjadi tanggung jawab STMIK Primakara sebagai salah satu kampus IT terbaik di Indonesia yang juga sebagai Technopreneurship Campus betul-betul melahirkan sarjana komputer yang mumpuni dan mampu menjadi programmer handal.

“Kami komitmen untuk cetak lebih banyak programmer yang juga sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Kalau mahasiswa teknisnya di bidang programming ya harus menjadi programmer,” kata Artana.

Selama ini STMIK Primakara yang baru saja meraih akreditasi institusi dengan nilai B dari BAN PT terus mengkampanyekan bahwa anak IT harus bisa programming. “Apapun program studi yang diambil di Primakara mahasiswa harus bisa programming dan ketika lulus sebisanya agar jadi programmer,” tegas Artana.

Tidak cukup sampai disana, pembenahan kurikulum yang terkait dengan skill programming agar sesuai dengan kebutuhan dunia industri juga terus dilakukan. Ditambah juga dengan berbagai kegiatan di luar perkuliahan untuk mengasah skill programming dan juga mengasah mindset technopreneur.

Misalnya melalui Bali Startup Camp (BSC) yang rutin digelar tiap tahun. Melalui kegiatan ini, para mahasiswa ataupun masyarakat umum yang tertarik dengan dunia startup teknologi dan ingin menjadi technopreneur akan diajak ke mengikuti workshop selama tiga hari penuh untuk kemudian membangun startup dalam sebuah tim.

Siap Gelar Programming Camp

Ke depan tidak cukup hanya BSC, STMIK Primakara akan membuat camp khusus programming untuk secara lebih mendalam mengasah skill mahasiswa untuk jadi programmer.

“Programming Camp ini  rencananya tahun ini sudah akan berjalan. Intinya skill programming mahasiswa Primakara harus terus diasah,” ungkap Artana yang saat ini tengah menempuh pendidikan S-3 (Doktor) Ilmu Manajemen di Universitas Udayana.

Sejauh ini STMIK Primakara telah melahirkan sejumlah programmer mumpuni. Namun memang diakui jumlahnya belum banyak.

“Satu dua anak Primakara jago banget programming. Tapi masalahnya belum merata. Kami terus berproses untuk lebih banyak mencetak programmer jago,” tandas Artana. (wid)