Oleh: I Gde Sudibya
Sudah kurang lebih dari 2.5 bulan pemerintah menetapkan darurat nasional melawan Corona, antara lain dengan telah menerbitkan: Perpu no.1 tentang: Penyelamatan Keuangan Negara dalam menanggulangi Covid-19, Keputusan Menteri Kesehatan yang memberikan dasar hukum untuk PSBB, larangan untuk mudik dan sejumlah kebijakan lainnya di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kota madya, tetapi hasilnya jumlah orang terpapar Covid-19 secara nasional terus mengalami peningkatan.  Pada sisi yang lain, daya tahan finansial masyarakat kelas menengah ke bawah sangat rentan dalam menghadapi krisis.
Survey yang dilakukan oleh lembaga survey dan riset SMRC beberapa waktu yang lalu meninformasikan bahwa daya tahan finansial kelompok masyarakat kelompok menengah ke bawah hanya maksimum 3 minggu. Artinya setelah melewati waktu 3 minggu, bagian masyarakat menengah ke bawah ini, langsung mengalami kesulitan keuangan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Pada sisi yang lain, kemampuan pemerintah untuk menyediakan dana jaring pengaman sosial, sangat terbatas dalam artian jumlah, rentang waktu,  cakupan, dan sistem pendataan, terlebih-lebih kalau rentang waktu pemberian bantuan ini agak panjang. Pada sisinya yang lain: tagar #dirumah aja, # bekerja di rumah #belajar di rumah, sebagaimana diberitakan telah berdampak psikologis terhadap warga yang mengalami kejenuhan. Dan, kejenuhan berkepanjangan tanpa ada kepastian kapan bisa belajar dan bekerja normal kembali, yang bisa dan telah memicu ketegangan dan stres dan berbagai dampak negatif yang mengikutinya.
Dari beberapa pengamat sosial ekonomi dan kebijakan publik mulai timbul tanda tanya. Turun tajamnya kegiatan ekonomi masyarakat akibat pembatasan sosial yang membuat ekonomi nyaris mati suri, resesi yang berkepanjangan, angka pengangguran terus naik, orang miskin dan rentan menjadi miskin terus bertambah, apakah tidak menimbulkan kerugian kemanusiaan dan dampak sosial yang jauh lebih berat dari akibat jumlah orang positif terpapar karena Covid-19?
Tantangan untuk Indonesia
Indonesia negara kepulauan, yang jumlah pulaunya  ribuan dengan penyebaran penduduk yang tidak merata, dengan karakteritik wilayah dan budaya yang sangat beragam, dengan totalitas penduduknya sangat besar. Sebagai akibat dari kelambanan memberikan respons pada awal diketahuinya pandemi, keterbatasan dalam melakukan test ( RDT, PCL/SWAB)  sehingga pantas diduga virus Covid-19 penyebarannya merata di Bumi Nusantara dengan “derajat keparahan” yang berbeda-beda.
Bagi wilayah yang intensitas hubungan ekonominya lebih tinggi dengan pulau Jawa ( angka terpapar virus relatif lebih tinggi ) akan mempunyai derajat risiko lebih tinggi, demikian juga sebaliknya. Perkiraan kondisi ini ( semoga tidak demikian ), dari strategi manajemen akan membuat ” peperangan ” melawan Covid-19 akan berlangsung relatif lebih lama.

Dalam konteks tantangan di atas, Indonesia memerlukan Strategi Baru Melawan Covid-19, yang merupakan gabungan, sinergi dari strategi kesehatan dan ekonomi. Strategi ini diberikan nama heroik: Strategi Kebangsaan: Gotong Royong  Berperang Melawan Pandemi Covid-19.
Modal sosial yang paling inti : gotong royong  di revitalisasi untuk melawan virus sangat kecil tetapi  kalau kita tidak waspada bisa meluluhlantakkan peradaban kita sebagai bangsa.
Bangsa dan negeri ini, sangat menyukai slogan-slogan  heroik: karena bangsa dan negeri ini merdeka, hasil perjuangan meneteskan darah dan air mata.
Secara teknokratis, gabungan strategi ini diarahkan ke pencapaian  titik keseimbangan ( equlibrium point ): tingkat paparan positif Covid-19 minimal dan dampak sosial ekonomi yang maksimal. Para pengambil kebijakan dan para pelaksana operasional di lapangan diarahkan ke fokus tujuan di atas.
Contoh kongkrit penerapan kebijakan dari strategi baru ini di lapangan. Pertama, desa yang telah dilakukan test dengan sampel memadai tidak menjadi pusat endemi, desa ini dibuka untuk aktivitas ekonomi normal dan juga kegiatan lainnya, tetapi tetap mengkuti protokol kesehatan yang berlaku. Demikian juga sebaliknya.
Kedua, PSBB tingkat kabupaten dan provinsi sebisa mungkin dihindari, karena menekan aktivitas ekonomi di wilayah ybs.Kalau data epidemiologi membuktikan ada indikasi wilayah tertentu berisiko tinggi, hanya wilayah/desa yang bersangkutan dilakukan karantina wilayah secara ketat. Desa tetangga tetap menjalankan aktivitas ekonomi normal  tetapi dengan menjalankan protokol kesehatan.
Ketiga, bagi tourist resort di tingkat desa,  lakukan pengambilan sampel dengan uji petik terukur, kalau hasilnya desa yang bersangkutan aman dari pandemi, desa yang bersangkutan terbuka sebagai tourist resort, dengan persyaratan tetap menjalankan protokol kesehatan.
Strategi baru di atas sudah sepantasnya mulai disiapkan, sehingga setelah curve pandemi terus mengalami penurunan di wilayah yang bersangkutan dengan kasus baru minimal ( dalam pandangan para akhli epidemiologi ), langsung strategi di atas bisa dijalankan.
Tanpa disadari kita memasuki era baru kehidupan ( new normal ) beradaptasi dengan corona, atau lebih populernya ” berdamai” dengan virus ini. Meminjam istilah seorang negarawan negeri ini: ” sekali mengayuh dua-tiga pulau terlewati “.
Tentang Penulis 
I Gde Sudibya, ekonom,  konsultan manajemen strategi dan pengamat kecendrungan masa depan – trend watcher