Foto: Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di SMK PGRI 3 Denpasar, Kota Denpasar, Provinsi Bali Senin (28/9/2020).

Denpasar (Metrobali.com)-

Situasi saat ini Pancasila ibarat diserahkan ke mekanisme “pasar bebas”. Karenanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) khawatir akan dampak negatifnya jika negara tidak hadir membumikan Pancasila dan menjadikan Empat Pilar sebagai tiang kokoh penyangga bangsa Indonesia.

Hal ini disampaikan Anggota Badan Sosialisasi MPR RI AA Bagus Adhi Mahendra Putra (Amatra) yang akrab juga disapa Gus Adhi saat menggelar Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di SMK PGRI 3 Denpasar, Kota Denpasar, Provinsi Bali Senin (28/9/2020).

Dalam kegiatan ini MPR RI bekerja sama dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Denpasar. Hadir Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI Alimin Abdullah bersama anggota lainnya.

Kegiatan ini digelar secara tatap muka dengan peserta terbatas mengutamakan penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dan juga secara virtual.

Empat pilar yang disosialisasikan yaitu, Pancasila sebagai Dasar Ideologi Negara, UUD Tahun 1945 sebagai konstitusi negara serta ketetapan MPR, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara, dan Bhinneka tunggal Ika sebagai semboyan negara.

Terkait Pancasila yang ibarat diserahkan ke “pasar bebas”, Amatra mengungkapkan bahwa sekolah atau perguruan tinggi dibebaskan untuk memasukkan atau tidak mata pelajaran pancasila. Selain itu, setiap orang atau kelompok bebas menafsirkan tentang sila-sila Pancasila sesuai dengan serela masing-masing.

“Nah ini yang kita cermati. Nah oleh sebab itulah maka kamihadir untuk mengisi kekosongan pemerintah tersebut,” kata Amatra yang juga Anggota Fraksi Golkar DPR RI Dapil Bali ini.

Anggota Komisi IV DPR RI yang membidangi pertanian, lingkungan hidup, kehutanan dan kelautan ini mengaku khawatir dengan berbagai dampak ketidakhadiran negara dalam penguatan mental ideologi bangsa.

Pihaknya memilih PGRI sebagai sosialisasi Empat Pilar karena ada penelitian dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarief Hidayatullah Jakarta yang menunjukkan bahwa 63 persen guru memiliki opini intoleran terhadap agama lain.

Tak hanya itu, Ryamizard Ryacudu saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan menyebutkan bahwa sebanyak 3 persen anggota TNI juga terpapar ekstrimisme. Kemudian survei Alfara pada 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 14,9 persen PNS tidak setuju Pancasila.

Berdasarkan Pusat Studi Islam dan Tranformasi Sosial (CISFrom) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, 36,5 persen mahasiswa Islam setuju dengan khlifah. Terakhir,  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2018 mengemukakkan bahwa tujuh kampus di Indonesia juga terpapar eksrimeme agama.

“Ini penelitiannya tidak jauh-jauh amat. Ini penelitiannya 2018,” jelas Amatra.

Oleh karena itu, Amatra melihat bahwa MPR mempunyai peran penting sekali sehingga harus hadir untuk mengisi kekosongan tersebut. Hal inilah yang juga menjadi dasar bagi Ketua MPR periode 2009-2014 Taufik Kiemas bahwa MPR harus mengisi kekosongan  dengan sosialisasi empat pilar. (wid)