Jakarta, (Metrobali.com)

Bandar udara menjadi salah satu objek dengan konsumsi energi yang cukup besar sehingga apabila dilakukan efisiensi energi sedikit saja, hasil yang didapatkan akan cukup signifikan. Saat ini pembangkitan dan penggunaan energi di Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil, yang menghasilkan produk sampingan berupa gas rumah kaca (GRK), seperti karbon dioksida (CO2).

Berkaitan dengan hal tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan (Balitbanghub) melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Transportasi Udara berkolaborasi dengan Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan ITB (LPIK ITB) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Kebijakan Pemanfaatan dan Pemilihan Sistem Energi Alternatif untuk Menunjang Operasi Bandar Udara yang diselenggarakan pada Selasa (26/10).

“Kegiatan ini sebagai laporan akhir studi kebijakan transportasi udara yang telah dimulai sejak bulan Maret 2021 lalu dengan salah satu kajiannya terkait Kebijakan Pemanfaatan dan Pemilihan Sistem Energi Alternatif Sebagai Penunjang Operasi Bandar Udara,” ungkap Kapala Puslitbang Transportasi Udara, Capt. Novyanto Widadi.

Novy menambahkan, sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2015-2050, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) ditargetkan mencapai kapasitas 6,5 GW pada tahun 2025 dan 45 GW pada tahun 2050. Jumlah tersebut kurang lebih 22% dari total potensi energi surya di Indonesia. Dalam dokumen tersebut juga tertulis salah satu kegiatan pemanfaatan sumber energi terbarukan dari jenis energi sinar matahari adalah pembangunan PLTS bagi fasilitas transportasi.

“Di dunia, sekarang sedang gencar upaya mengurangi gas rumah kaca, salah satunya dengan menggunakan energi baru terbarukan (EBT). Kebijakan ini gencar dilakukan setelah adanya Paris Agreement tahun 2015 yang salah satu sasarannya adalah bandara, jelas ketua Tim Peneliti ITB, Pekik Argo Dahono.

Lebih lanjut Pekik menjelaskan bahwa, bandar udara memiliki potensi luasan lahan maupun atap bangunan yang sangat memungkinkan untuk dipasang sistem PLTS. Oleh karena itu, potensi ini harus dimanfaatkan secara maksimal agar bisa menjadi sumber penyuplai energi listrik yang lebih ramah lingkungan bagi bandara.

Untuk mendukung penelitian ini, dilakukan survei ke tiga bandara sampel yakni, Bandara Internasional Komodo-Labuan Bajo; Bandara APT Pranoto-Samarinda; dan Bandara Maratua-Berau, Kalimantan Timur. Terdapat beberapa rekomendasi kebijakan yang dihasilkan, antara lain:
a. Regulasi pemanfaatan area non-atap pada bandara untuk pemasangan PLTS;
b. Insentif Finansial Pemasangan PLTS di Bandara;
c. Mewajibkan standarisasi komponen PLTS yang digunakan di bandara;
d. Mengeluarkan panduan mengenai asesmen potensi bahaya akibat pemasangan PLTS di bandara;
e. Mengeluarkan panduan teknis asesmen lokasi pemasangan PLTS di bandara;
f. Mewajibkan standarisasi pemasangan PLTS yang digunakan di bandara;
g. Mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas insentif pajak;
h. Diperlukan skema pendanaan serta kebijakan fiskal yang sesuai untuk proyek PLTS Bandara;
i. Skema on-use adalah skema yang paling cocok digunakan pada kebanyakan bandara Indonesia;
j. Edukasi tentang renewable energy.

Hadir sebagai pembahas, Umiyatun Hayati Triastusi, Widyaiswara Utama menyampaikan bahwa dalam implementasi penggunaan energi alternatif terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi yakni perlu adanya keterlibatan atau kolaborasi dari berbagai sektor. Selain itu diperlukan adanya perencanaan penggunaan PLTS sejak penyusunan masterplan bandar udara.

Senada dengan Hayati, Wendy Aritenang menyebutkan bahwa dalam penerapan PLTS perlu memperhatikan karakteristik dari masing-masing bandar udara apakah sesuai jika diterapkan system PLTS on-grid atau off-grid.

Nasrulloh, Kepala Seksi Tata Lingkungan dan Kawasan Bandar Udara
Direktorat Bandar Udara menyampaikan bahwa penggunaan PLTS sejalan dengan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tahun 2020-2024 tentang upaya penurunan emisi gas buang.

“Saat ini belum banyak Bandar Udara yang mengaplikasikan penggunaan solar cel dan hybride energi sebagai sumber energy untuk Operasional Bandar Udara. Selain itu yang menjadi tantangan adalah pemasangan PLTS apakah dapat menggangu alat navigasi di bandara dan dapat mengundang hewan liar untuk berteduh dan bersarang dibawahnya,” ungkapnya.

Sementara itu, Harish Mafaaza Sub Koordinator Insentif dan Disinsentif Konservasi Energi Kementerian ESDM menyampaikan bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan dan PT. Angkasa Pura I serta PT. Angkasa Pura II terkait Penerapan Konservasi Energi dan Pemanfaatan Energi Terbarukan Secara Berkelanjutan pada Bandar Udara.

“Kami melakukan pendampingan pada Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta dan Bandara I Gusti Ngurai Rai dalam melakukan efisiensi energi. Kami mencoba mengidentifikasi alat-alat yang membutuhkan energi terbesar yakni disumbang oleh tata udara (AC) dan tata cahaya. Dari hasil pendampingan pada Juli 2021, kedua bandara berhasil menyelesaikan audit dan memperoleh ISO 50001,” tuturnya.

Harish menambahkan, untuk mengurangi GRK dan kadar CO2, selain dengan adanya subtitusi energi alternatif seperti PLTS, penggunaan konservasi energi atau efisiensi konsumsi energi juga sangat diperlukan.

Melalui kegiatan FGD ini diharapkan dapat menjadi media untuk bertukar pikiran, pengetahuan, dan pengalaman antar pihak terkait serta mendapatkan masukan-masukan terhadap hasil kajian sehingga menjadi lebih sempurna dan dapat dimanfaatkan.

Sumber : Badan Litbang Perhubungan

Editor : Hana Sutiawati