Gianyar, (Metrobali.com)-

Sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa kasus penggelapan PT. BPR Suryajaya Ubud sebesar 7 Miliar lebih dengan inisial “NWPLD”, mantan Teller PT. BPR Suryajaya Ubud, hari ini, Kamis, 23 April 2020 diadakan. Sidang dipimpin oleh Ketua PN Gianyar Ida Ayu Sri Adriyanthi AW dan didampingi oleh Wawan Edy Prasetyo dan Ni Luh Putu Pratiwi sebagai hakim anggota. Hadir sebagai Kuasa Hukum yang mendampingi terdakwa I Wayan ‘Gendo’ Suardana, SH, I Ketut Sedana Yasa, SH dan I Made Juli Untung Pratama, SH., M.Kn.

Saat sidang berlangsung, Jaksa Penuntut Umum menyodorkan alat bukti beberapa slip penarikan atas nama Made Suryana yang digunakan menuduh tersangka melakukan penggelapan uang. Saat ditanya oleh hakim dan jaksa apakah slip tersebut dibuat oleh terdakwa, terdakwa menjawab tidak pernah membuat atau menandatangani slip penarikan atas nama Made Suryana. Bahkan untuk menambah keyakinan hakim, terdakwa disuruh oleh hakim membuat tandatangan, membuat paraf dan menulis kalimat yang sama seperti slip. Saat tandatangan, paraf dan tulisan yang dibuat oleh terdakwa disandingkan oleh hakim, ternyata paraf dan tulisan terdakwa berbeda dengan paraf dan tulisan yang ada di slip penarikan. “tarikannya beda”, ujar Ketua Majelis.

Selanjutnya terdakwa menerangkan bahwa yang menyebabkan terdakwa dirumahkan pada tanggal 19 Desember 2018 karena terdakwa memprotes transaksi fiktif sebesar 850 Juta Rupiah yang sama sekali tidak pernah ditangani oleh terdakwa. Saat sudah dihapus, keesokan harinya transaksi 850 juta kembali muncul sehingga terdakwa kembali mengajukan protes hingga ke Dirut BPR. Setelah protes tersebut, terdakwa mulai merasa tidak nyaman bekerja karena terdakwa selalu dijudesin bahkan diperintahkan oleh atasannya untuk melakukan pekerjaan yang bukan job desk terdakwa. Dalam persidangan juga terungkap bahwa terdakwa pernah menolak perintah Direktur Operasional dan Bisnis Catur Susana untuk mengambil uang sebesar 100 juta lebih dari kredit rekening koran atas nama Luh Indriani karena sudah ditransaksikan sendiri oleh Catur Susana. Lebih jauh, terdakwa menolak karena kredit bukan bagian dari job desk terdakwa.

Atas hal tersebut, Gendo memberikan pertanyaan kepada terdakwa apakah pernah memasukkan data fiktif atau mengaburkan dokumen yang merugikan bank? Terdakwa menjawab “tidak pernah”.

Terdakwa juga mencabut surat pernyataan pengakuan mengambil uang BPR sejumlah 7 miliar lebih yang digunakan oleh JPU sebagai alat bukti. Terdakwa menjelaskan awalnya ia menolak paksaan atasan BPR Suryajaya Ubud yang datang ke rumahnya untuk membuat surat pernyataan dengan kalimat dan kertas yang sudah disiapkan oleh direksi. Karena terdakwa menolak untuk membuat surat pernyataan, pihak BPR memaksa terdakwa untuk menandatangani kertas yang sudah berisi pengakuan mengambil uang BPR sejumlah 7 miliar. Gendo menanggapi terdakwa apakah semua surat pernyataan yang ditandatangani oleh terdakwa di bawah tekanan tersebut mau dicabut dalam persidangan. Dijawab terdakwa: “ya saya cabut semua”.

Dalam persidangan juga JPU menanyakan alasan terdakwa menyangkal semua keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari kepolisian. Terdakwa menjelaskan bahwa dirinya ditunjukkan bukti-bukti oleh penyidik dan tidak diberikan kesempatan untuk membela diri. Penyidik juga menyampaikan kepada terdakwa agar melakukan pembelaan di Pengadilan saja karena di Kepolisian dua alat bukti sudah cukup untuk memenjarakannya. “Begitu kata penyidik”, ujar terdakwa.

Dari keterangan saat persidangan, terungkap bahwa awal mula kasus ini justru karena terdakwa memprotes adanya transaksi 850 juta di komputernya yang diluar sepengetahuannya. Protes itu yang menyebabkan tanpa terdakwa mengerti, dia dirumahkan dengan alasan melakukan pengelapan. Dengan fakta-fakta bahwa tidak ada bukti yang kuat membuktikan perbuatan terdakwa, termasuk jumlah kerugian yang tidak sesuai antara yang diklaim perusahan dengan laporan dari OJK, bagi kami terdakwa adalah korban kriminalisasi. “bagi kami terdakwa adalah pihak yang dikorbankan”, ujar Gendo.

Sidang kembali dilanjutkan dengan agenda pembacaan tuntutan dari JPU pada tanggal 28 April 2020.

Editor : Hana Sutiawati