perang ketupat

Mangupura (Metrobali.com)-

Ratusan warga saling berhadap-hadapan. Mereka bersiap untuk berperang. Begitu aba-aba diberikan, mereka kemudian langsung bertempur. Saling lempar kelompok yang berhadapan. Namun, amunisi mereka bukan peluru yang biasa digunakan tentara.

Mereka menenteng ketupat. Bukan pula mereka tengah tawuran. Ratusan warga Desa Adat Kapal, Mengwi, Kabupaten Badung, Bali tengah melaksanakan tradisi perang ketupat yang sudah dilakukan turun temurun.

Tak ada rasa marah, apalagi dendam. Sebaliknya, senyum ceria terpancar dari para peserta. Uniknya, mereka seperti berperang sungguhan, ada yang menyerang, ada pula yang bertahan. Ribuan ketupat melayang di udara. Tak sedikit peserta yang terkena ketupat.

Made Alit salah satu peserta terkena lemparan ketupat di matanya. Sontak saja, matanya menjadi merah. Namun ia tak marah, karena kerap mengikuti tradisi ini tiap tahunnya. “Perang ketupat ini tiap tahun digelar. Kami menjaga tradisi ini. Dalam tradisi ini tidak ada marah dan dendam,” kata Alit, Selasa 14 Oktober 2014.

Tradisi ini tentu saja menjadi minat perhatian wisatawan. Meski hanya digelar selama 15 menit saja, namun hal itu menarik perhatian warga untuk menyaksikan lebih dekat tradisi ini. Tak sedikit wisatawan yang menyaksikan terkena lemparan. Bahkan, mereka ikut balik melempar ke kerumunan peserta.

Usai berperang, mereka kemudian bercengkrama. Saling bersalaman. Mereka pun ramai-ramai membersihkan arena perang yang penuh dengan ketupat.

Perang ketupat yang sering disebut juga dengan Aci Rah Pengangon ini merupakan bentuk ungkapan terima kasih dan rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada tuhan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala limpahan rezeki.

Upacara ini merupakan salah satu peninggalan dari leluhur masyarakat Bali yang masih dipertahaankan hingga kini, dirayakan secara konsisten dari generasi ke generasi. Upacara perang ketupat ini pertama kali diadakan pada abad ke-13 Masehi. Sebelum perang ketupat dimulai, seluruh warga desa sembahyang bersama. JAK-MB