Pesta Kesenian Bali tahun 2016

Presiden RI Joko Widodo didampingi Gubernur Bali Made Mangku Pastika pada acara peresmian PKB tahun 2016 di Denpasar.

SECARA umum pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun ini, setelah dibuka oleh menteri pendidikan dan kebudayaan, Anies Rasyid Baswedan, mewakili presiden Joko Widodo, di panggung terbuka Ardha Candra (art centre) Bali, Denpasar, yang ditandai dengan pemukulan kentongan, Sabtu (11/6) lalu boleh di bilang dapat berjalan dengan baik dan lancar, meskipun belum sepenuhnya sesuai harapan bersama.

Semangat seniman untuk menampilkan garapan seni budaya unggulan ciri khas daerahnya terkesan cukup mampu memberikan warna tersendiri dalam pelaksanaan PKB ke-38 tahun ini.  Begitu pula, apresiasi penonton (masyarakat) pun relatif cukup menggairahkan. Meskipun sesungguhnya sejumlah sajian kesenian terkesan relatif masih minim apresiasi penonton dan bahkan ada yang juga perlu mendapatkan sentuhan lebih serius dari para ahli/pakar di bidangnya, agar proses rekam jejak kesejarahan berkesenian dalam upaya penggalian, pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa dapat berlangsung secara berkelanjutan.

Di samping itu, penonton/pencinta seni yang aktif mengunjungi arena PKB pun acapkali diabaikan, masih kurang mendapat perhatian serius terkait pelayanan publik berupa transportasi dan pengadaan lahan parkir, karena shuttle bus gratis ditiadakan. Padahal, penonton adalah tujuan utama dari beragam sajian kesenian yang dipentaskan dalam PKB selama ini.

Dalam konteks ini, kinerja cerdas dan kritis dari kerja kebudayaan dalam bidang terkait seperti tim kurator, tim pembina dan tim pengamat terkesan semakin baik dan terus berbenah diri demi pelaksanaan PKB yang lebih profesional dan berdaya saing global, mendunia. Artinya, beragam rekomendasi dari tim pengawas independen secara perlahan mulai diapresiasi sebagai bagian terpenting untuk melakukan perubahan terhadap konstruksi kebudayaan dalam PKB setiap tahun. Dengan harapan kualitasnya semakin terus meningkat dari tahun ke tahun.

Ironisnya, kinerja cerdas dan kritis dari kerja kebudayaan dari instansi terkait dalam hal ini Dinas Kebudayaan (Disbud) Bali sebagai panitia penyelenggara PKB tahun ini sepertinya belum sepenuhnya dapat terbebas dari hegemoni tindakan melanggar hukum berupa perilaku premanisme berbasis desa pakraman dengan ego-sektoral salah kaprah, yang sengaja melawan aparat negara untuk memperkaya diri sendiri ataupun kelompok/golongan tertentu dengan berbagai cara di antaranya mengokupansi ruang publik seperti badan jalan dan trotoar sebagai parkir komersial. Selain itu, juga dengan menguasai kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar untuk parkir komersial.

Bahkan, aksi premanisme ini terkesan sangat brutal karena pengendara sepeda motor maupun pengemudi mobil yang melalui kawasan tersebut seringkali mendapatkan pelakuan yang tidak mencerminkan perilaku berbudaya dan bermartabat. Di mana, mereka acapkali dipaksa untuk masuk kampus ISI Denpasar, meskipun sudah mengatakan tidak sedang menuju arena PKB, tapi hanya melintas saja.

Bahkan, ada juga yang terpaksa masuk karena mengira arus lalu lintas dialihkan dan kampus ISI Denpasar adalah jalan alternatifnya, tapi setelah sampai di dalam seringkali mereka terpaksa memutar lagi karena buntu dan memang bukan bertujuan untuk ke arena PKB. Celakanya, tindakan premanisme dari budaya rakus dan korup ini terkesan ada pembiaran, sehingga dapat berlangsung secara masif, terstruktur, dan sistemik dalam pelaksanaan PKB setiap tahun.  

Lantas, pertanyaan besarnya, di mana tim keamanan, dalam hal ini Kepolisian dan Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ), yang punya kewanangan berdaulat sesuai ketentuan hukum negara?. Rupanya, aparat keamanan terkesan ada indikasi bungkam dan diam seribu bahasa, seolah-olah tidak tahu menahu, alias cuek dan buang muka, meskipun fenomena kriminalisasi hak publik tersebut terjadi di depan matanya.

Ida Ayu Putri Masyeni, Kepala Bidang Kesenian dan Perfilman Dinas kebudayaan (Disbud) Bali, mengakui telah seringkali mengingatkan tim keamanan dapat menunjukan kinerja terbaiknya dalam mengamankan aksesbilitas menuju Taman Budaya (art centre) Bali, Denpasar yang menjadi pusat pelaksanaan PKB selama ini.

Tentunya, katanya, dengan harapan masyarakat (penonton) pencinta seni budaya dapat dengan aman dan nyaman, serta tertib saat menikmati ragam kesenian yang disajikan selama PKB berlangsung. Begitu juga, masyarakat luas tidak merasa terganggu saat melalui kawasan Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar. “Artinya, tidak boleh ada pemaksaan untuk masuk arena PKB dan arus lalu lintas pun dapat berjalan normal seperti biasanya sesuai harapan bersama,” tegasnya.

Lebih jauh, Tim Pengawas Independen PKB,  Prof. Dr. I Ketut Suastika, mengaku sangat prihatin dengan aksesbilitas PKB tahun ini. Ruang publik, seperti badan jalan dan trotoar semestinya tidak boleh dikapling oleh siapapun untuk kepentingan memperkaya diri sendiri ataupun kelompok maupun golongan tertentu, seperti parkir komersial, apalagi berlindung dibalik desa pakraman.

Menurutnya, ini artinya aparat negara telah kalah alias keok, sehingga perilaku premanisme semakin berjaya karena merasa aman dan nyaman dalam melakukan aksinya tanpa ada yang berani melarangnya. “Semestinya tindakan melanggar hukum ini ditindak tegas dan tidak dibiarkan terjadi berlarut-larut dan terus menerus dalam PKB,” tegasnya, sembari mengatakan jika dibiarkan berarti aparat negara pun dapat disebut melanggar hukum.

Dikatakannya, perubahan signifikan yang dilakukan panitia secara internal menuju arah kebijakan yang lebih baik seakan tersandara oleh perilaku sosial masyarakat sekitar kawasan Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar yang cenderung tidak mencerminkan visi dan misi PKB, bahkan justru memicu kesan dan pencitraan negatif terhadap pelaksanaan PKB tahun ini. Artinya, seperti inikah wajah desa pakraman di Bali, yang selalu memaksakan kehendak, dan mengabaikan kepentingan publik dalam memuliakan nilai kemanusiaan dan memanusiakan manusia secara berbudaya dan bermartabat.

Senada dengan itu, I Nyoman Wija, SE, Ak, M.Si, yang juga Tim Pengawas Independen PKB, menegaskan bahwa aksi premanisme dengan budaya rakus dan korup ini terjadi karena tidak adanya komitmen yang kuat dan berani dari kepanitian terkait di bidangnya terutama tim keamanan PKB dalam menegakkan supremasi hukum seadil-adilnya secara berbudaya dan bermartabat, serta berkeadaban.

Semestinya, PKB 2016 yang mengusung tema Karang Awak, yang dimaknai mencintai tanah kelahiran dapat memberikan cerminan nyata dalam mencetak generasi emas bangsa yang berkepribadian demokrasi pancasila sesuai dengan spirit reformasi berbasis revolusi mental, sebagai upaya mewujudkan sembilan agenda prioritas dari program Nawa Cita dari Presiden Joko Widodo, yakni untuk “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Dalam rangka jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Menurutnya, dengan masih maraknya tindakan melanggar hukum secara masif, terstruktur dan sistemik dalam pelaksanaan PKB tahun ini berarti proses evaluasi kepanitiaan terkait tim keamanan tidak menunjukkan kinerja peningkatan menuju perubahan yang lebih baik, dalam reformasi birokrasi sesuai spirit revolusi mental, melainkan justru terkesan menurun dan cenderung mengabaikan fungsi utamanya sebagai alat negara yang berdaulat secara hukum atas kewajiban terkait bidangnya masing-masing. “Karena terkesan di lapangan alat negara keok, sehingga aksi melawan hukum dari tindakan premanisme berbasis desa pakraman semakin berjaya di ajang PKB setiap tahun,” sesalnya.(wb-mb)