wayan dibia

Denpasar (Metrobali.com)-

Bali tiada hari tanpa alunan suara gamelan dan gerak lincah orang menari. Alunan musik tradisional itu ibarat denyut nadi Pulau Dewata.

Geliat tari ibarat ritme kehidupan. Puspa ragam ekspresi seni tari tersaji dalam ritual keagamaan, aktivitas budaya, adat dan peristiwa sosial lainnya maupun yang digelar secara khusus sebagai tontonan wisatawan.

Menari bukan hanya dilakoni oleh gadis-gadis cantik dan perjaka-perjaka tampan. Dalam ritual agama Hindu yang dianut masyarakat Bali, orang-orang tua hingga anak-anak pun tampil menari.

Menari adalah kesukacitaan yang mengasyikkan sebagai sebuah persembahan dan sekaligus ekspresi estetik. Tari Bali merupakan bagian penting kehidupan masyarakat Pulau yang sudah diwarisi sejak zaman lampau yang masih terpelihara hingga sekarang.

Seni budaya yang diwarisi masyarakat Bali secara turun temurun hingga sekarang merupakan hasil olah kreativitas para seniman dari berbagai zaman dan kekuatan taksu, tutur Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasr Prof Dr I Wayan Dibia.

Upaya itu melalui pengolahan terhadap elemen budaya spiritual (super culture), budaya istana (high culture) dan budaya kerakyatan (folk culture). Elemen kesenian yang diolah misalnya oleh seniman andal I Wayan Praupan alias Pan Wandres dari Jagaraga, Kabupaten Buleleng untuk menciptakan tari kebyar Legong.

Hasil ciptaan itu kemudian memberikan inspirasi kepada I Gde Manik untuk menciptakan tari Taruna Jaya atau seniman I ketut Maria asal Tabanan menciptakan tari kebyar duduk dan oleg Tamulilingan sebelum tahun 1950 an.

Demikian pula I Wayan Limbak asal Bedulu, Gianyar menciptakan tari Kecak yang kemudian menjadi inspirasi bagi Wayan Beratha asal Denpasar menciptakan sendratari Ramayana dan Anak Agung Raka Payadnya menciptakan drama gong.

Keunikan seni budaya Bali sejak lama telah menjadi perhatian dunia seperti yang diungkapkan penulis asing dalam berbagai buku, antara lain Covarrubias dan Ramsenyer.

Semua itu berkat kekuatan “taksu” (kharisma) seorang seniman (kreator seni) yang mampu menghasilkan karya seni bermutu, menyentuh, menggetarkan, bahkan mengobarkan kenikmatan estetis bagi para penikmatnya.

Di tengah pergeseran nilai-nilai budaya Bali, dari sosial-spiritual ke komersial-material, atau dari yang sakral ke sekuler, taksu mulai banyak dibicarakan di masyarakat.

Dalam orasi ilmiah yang berjudul “Aktivasi Taksu Dalam Pendidikan Seni di Perguruan Tinggi” pada Dies Natalis XI dan wisuda sarjana XIII ISI Denpasar, Sabtu (26/7), Prof Dibia menguraikan, pembahasan dan pembicaraan itu untuk tujuan pendalaman, menemukan pemahaman baru sesuai kondisi masyarakat pada zaman.

Pembahasan dan pembicaraan tentang taksu yang semakin hangat belakangan ini disulut oleh kekhawatiran banyak pihak terhadap memudarnya taksu Bali.

Konsep taksu yang digunakan untuk melihat kualitas keluaran perguruan tinggi seni di Indonesia dengan alasan bahwa konsep sejenis taksu, walaupun dengan sebutan yang berbeda, eksis di daerah lain.

“Taksu adalah sebuah konsep yang spesifik Bali, dan tidak dimiliki daerah lain atau budaya lain, di dalam konsep itu terdapat unsur-unsur yang bersifat universal,” ujar Prof Dibia.

Sejak akhir tahun 1970-an sejumlah penulis, baik putra daerah Bali maupun penulis asing, mulai memasukkan diskusi singkat tentang taksu. Deskripsi singkat taksu ditawarkan misalnya oleh Ana Daniel dalam Bali “Behind The Mask” dan “Bali Sekala & Niskala” oleh Fred B.

Namun setelah tahun 1990, semakin banyak peneliti asing yang tertarik untuk menggali masalah taksu, misalnya Voices in Bali, Edward Herbst membicarakan taksu.

Selain itu juga Margaret Coldiron dalam bukunya yang berjudul “Trance and Transformation of The Actor in Japanese and Balinese Masked Dance-Drama, atau Liza Gold dalam Musik in Bali.

Tidak permanen Seniman dan seniwati Bali meyakini bahwa kepemilikan “taksu” tidak bersifat permanen, karena sesuatu yang tidak bisa diwariskan atau diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.

“Taksu” tidak bisa dipindahkan dan tidak bisa diberikan kepada sembarang orang, karena “taksu” itu pingit yakni rahasia dan keramat, namun masyarakat di Bali sangat meyakini bahwa “taksu” adalah energi dan daya hidup dari kesenian Bali.

Oleh sebab itu, setiap pelaku dan pencipta seni membutuhkan kahadiran “taksu”, tanpa “taksu”, seniman tidak akan pernah mampu menghasilkan karya seni yang berdaya hidup dan berdaya pukau yang mampu membuat setiap penyaksi karya terbuai dan terpesona (kelangen).

Oleh sebab itu bagi masyarakat Bali, karya seni yang baik mengintegrasikan tiga unsur yakni kebenaran (satyam), kesucian (shivam), dan keindahan (sundaram), yang masing-masing menyangkut moralitas, spiritualitas, dan kualitas artistik.

Dalam seni pertunjukan, setiap karya seni diharapkan mampu memberikan kepuasan yang mencakup ketiga unsur itu. Hanya sajian seni seperti itu yang akan mampu menyentuh para penonton, menghibur, serta mampu memperkaya kehidupan mereka dengan nilai-nilai moral, spiritual, dan keindahan.

Sajian karya seni yang tidak memiliki kekuatan “taksu” akan menjadi sajian yang membosankan untuk dilihat atau ditonton.

“Taksu” melibatkan tiga hal mendasar, yang bisa disebut sebagai pilar “taksu”, yakni aspek fisik dan teknis, aspek sikap mental dan moral (termasuk etika), dan aspek spiritual. Ketiganya dapat disejajarkan dengan prinsip “bayu-sabda-idep”. Aspek fisik atau bayu yang menyangkut pemahaman atau penguasaan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas penggunaan tenaga, hal-hal yang bersifat psikomotorik, termasuk di dalamnya masalah teknis yang dibutuhkan oleh suatu bidang seni.

Aspek tersebut menyangkut suatu bidang seni, aspek mental dan moral (sabda) menyangkut penguasaan terhadap tatanan dan tuntutan, termasuk nilai-nilai filosofis, yang bersifat kognitif, terkait dengan pengisian diri guna membangun sikap mental, moral dan etika yang baik dan benar dalam berkesenian.

Sementara aspek spiritual (idep) menyangkut olah spiritual yang bersifat afektif, untuk memahami dan mendalami aspek-aspek magis yang sering kali dianggap sebagai rahasia, dari suatu bidang seni, tutur Prof Dibia. AN-MB