Denpasar (Metrobali.com)-

Pengamat seni Budaya Bali, Kadek Suartaya, S,S.Kar, M.Si mengatakan sendratari pertama kali lahir di Pulau Dewata berangkat dari cerita rakyat setempat yang dikenal dengan Jayaprana.

“Jayaprana seorang anak sebatang kara mengabdi diri dengan penuh kesetiaan kepada Raja Kalianget, Buleleng, Bali utara,” kata Kadek Suartaya yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Senin (13/1).

Kandidat doktor Kajian Budaya Universitas Udayana itu menjelaskan, setelah dewasa, Jayaprana, pemuda yang berwajah tampan dan berotak cerdas, menikah dengan Layonsari, gadis cantik dari Banjarsari.

Namun Raja Kalianget juga berhasrat memperistri Layonsari. Raja Kalianget kemudian memerintahkan Patih Saunggaling untuk membunuh Jayaprana di tengah hutan.

Jayaprana menerima kematiannya dengan tulus. Mengetahui suaminya telah mati dibunuh, Layonsari bunuh diri dengan sebilah keris.

Sendratari Jayaprana garapan Kokar yang kini berubah status menjadi sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Sukawati Giayar dalam memeriahkan HUT ke-2 tahun 1962 mendapat apresiasi masyarakat setempat.

Sendratari Jayaprana yang menjadi cikal bakal perkembangan sendratari di Bali itu seakan ingin melukiskan situasi menyedihkan yang sedang melanda masyarakat Bali, tutur Kadek Suartaya.

Representasi dalam sendratari karya I Wayan Beratha, guru tari dan karawitan Kokar, itu sejajar dengan realita getir kehidupan akibat inflasi dan sosial yang terjadi akibat konflik politik.

“Tragedi kemanusiaan dan kezaliman penguasa yang dikisahkan Sendratari Jayaparana itu bermuatan pesan moral dan kritik sosial yang kontekstual dengan situasi sosial budaya pada zamannya,” ujar Suartaya.

Situasi sosial budaya masyarakat Bali di tengah krisis ekonomi dan ketegangan konflik politik pada 1960-1970 itu juga mengalami stagnasi.

Kesenian sebagai representasi kultural masyarakatnya umumnya berada dalam kondisi yang memperihatinkan.

Beberapa bentuk kesenian klasik seni pertunjukan seperti gambuh, wayang wong, dan legong tidak terpelihara dan menuju kepunahannnya. Hanya sebagaian kecil bentuk kesenian yang berkaitan dengan ritual keagamaan saja yang masih bertahan seadanya, jelas Suartaya. AN-MB