Cilacap (Metrobali.com)-

Sejumlah pengacara dari beberapa terpidana mati meminta Kejaksaan Agung menunda pelaksanaan eksekusi karena proses hukum belum selesai.

Permintaan tersebut disampaikan beberapa perwakilan tim pengacara sejumlah terpidana mati saat menggelar konferensi pers di depan Dermaga Wijayapura (tempat penyeberangan khusus Lembaga Pemasyarakatan Pulau Nusakambangan), Cilacap, Jawa Tengah, Senin petang (27/4).

Mereka merupakan perwakilan tim pengacara terpidana mati Raheem Agbaje Salami (warga negara Nigeria), Okwudili Oyatanze (WN Nigeria), Rodrigo Gularte (WN Brasil), serta Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (Australia).

“Saya mewakili Nigeria, kebetulan pengacara dari Raheem, juga mewakili dari Okwudili, mau memberitahu bahwa pada hari ini, Okwudili telah memasukkan gugatan di PTUN Jakarta,” kata pengacara terpidana mati Raheem Agbaje Salami, Utomo Karim sambil menunjukkan salinan registrasi pengajuan gugatan.

Sementara untuk Raheem, pihaknya telah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Cilacap pada hari Senin (27/4).

Menurut dia, gugatan tersebut diajukan karena nama kliennya bukanlah Raheem Agbajee Salami melainkan Jamio Owolabi Abashin. “Nama Raheem itu palsu,” tegasnya.

Selain itu, kata dia, negara asal kliennya bukan Cordova melainkan Nigeria serta pekerjaaan dan usianya juga salah.

Padahal saat penyidikan, lanjut dia, kliennya sudah menyampaikan kesalahan-kesalahan tersebut namun penyidik tidak menggubrisnya.

“Yang kami gugat di sini Jaksa Agung cq Kejati Jawa Timur cq Kejari Surabaya. Nomor registrasi gugatan ini 24,” katanya sambil menunjukkan surat pengajuan gugatan.

Oleh karena masih ada proses hukum, dia minta rencana eksekusi hukuman mati ditunda.

Menurut dia, Jaksa Agung H.M. Prasetyo beberapa kali mengatakan bahwa Kejaksaan Agung akan mengeksekusi 10 terpidana mati secara serentak.

“Kenyataannya tidak. Pertama, ada Serge yang belum masuk. Kedua, ini ada proses-proses hukum, harus ditunggu dulu, tidak bisa sebagian-sebagian,” katanya.

Ia mengatakan bahwa apa yang dikatakan Jaksa Agung sudah melenceng atau tidak bisa dipegang.

Terkait hal itu, dia meminta Jaksa Agung H.M. Prasetyo tetap pada perkataannya bahwa eksekusi hukuman mati itu akan dilakukan secara serentak.

“Dia (Jaksa Agung) akan menunggu apabila masih ada yang berproses hukum karena dia tidak ingin ada catatan-catatan di belakang hari. Kami minta Jaksa Agung dan Presiden Joko Widodo untuk menunda dulu sampai proses hukum itu selesai semua,” katanya.

Sementara perwakilan tim pengacara Rodrigo Gularte, Ricky Gunawan mengatakan bahwa pihaknya pada hari Rabu (22/4) mengajukan permohonan pengampuan ke Pengadilan Negeri Cilacap dengan meminta sepupu Rodrigo, Angelita Muxfeldt Gularte sebagai pengampu.

Menurut dia, permohonan pengampuan tersebut diajukan karena kondisi kejiwaan Rodrigo tidak cakap hukum.

“Angelita dipilih sebagai pengampu karena orang tua Rodrigo juga mengalami gangguan kejiwaan ‘bipolar disorder’, kakak laki-laki dan kakak perempuannya juga mengalami ‘bipolar disorder’. Beberapa studi menyebutkan bahwa gangguan ‘bipolar disorder’ itu memang genetik,” katanya.

Ia mengatakan bahwa pihaknya punya banyak bukti mulai tahun 1982 hingga 2015, Rodrigo Gularte mempunyai gangguan kejiwaan.

“Hari ini, kami sudah menerima surat panggilan sidang pertama pengampuan yang akan dilaksanakan pada hari Rabu, 6 Mei 2015,” katanya.

Menurut dia, tujuan dari permohonan pengampuan tersebut untuk memastikan bahwa Rodrigo Gularte yang mengalami gangguan kejiwaan tidak dipenjara tetapi dirawat di rumah sakit jiwa.

Ia mengatakan bahwa permohonan tersebut sudah sejalan dengan rekomendasi Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap berdasarkan hasil pemeriksaan yang dipimpin Profesor Suwadi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

“Rekomendasi dari RSUD Cilacap adalah Rodrigo ditempatkan di rumah sakit jiwa,” katanya.

Ia mengatakan bahwa Kedutaan Besar Brasil sudah menyampaikan rekomendasi tersebut kepada Kejaksaan Agung serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Selain itu, kata dia, tim kuasa hukum juga sudah menyampaikan permohonan agar Rodrigo ditempatkan di rumah sakit jiwa jauh hari sebelum terpidana mati itu masuk dalam daftar eksekusi tahap kedua.

Akan tetapi, lanjut dia, permohonan tersebut tidak pernah ditanggapi oleh Kejagung dan Kemenkumham.

“Jadi, Rabu depan kami akan menjalani sidang pertama pengampuan. Harapannya, pengadilan akan menyatakan bahwa Rodrigo memang tidak cakap dan harus dibawa perawatan rumah sakit jiwa, oleh karenanya tidak dapat dieksekusi,” katanya.

Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu merilis 10 nama terpidana mati yang masuk dalam daftar eksekusi tahap kedua yang akan dilaksanakan serentak di Pulau Nusakambangan.

Ke-10 terpidana kasus narkoba yang akan segera dieksekusi terdiri atas Andrew Chan (warga negara Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Serge Areski Atlaoui (Prancis), Rodrigo Gularte (Brasil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Okwudili Oyatanze (Nigeria), dan Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina).

Akan tetapi menjelang pelaksanaan eksekusi, Kepala Pusat Penerangan Umum Kejaksaan Agung Tony Tribagus Spontana mengatakan bahwa terpidana mati asal Prancis Serge Areski Atlaoui ditarik dari daftar eksekusi tahap kedua karena yang bersangkutan menggugat penolakan grasi oleh Presiden Joko Widodo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Menurut dia, eksekusi terhadap Serge Areski Atlaoui akan dilakukan tersendiri setelah adanya putusan dari PTUN.

Dengan demikian, eksekusi tahap kedua hanya dilakukan terhadap sembilan terpidana mati kasus narkoba. AN-MB