Pura Tirta Wening

Google Map lokasi Pura Tirta Wening

Denpasar (Metrobali.com)-
Ketua Yayasan Giri Purwa Acharya, Suyanto menjelaskan, setelah sirno Ilang Kertaning bumi (1400 M), Majapahit runtuh di kuasai oleh Agama Islam, masyarakat Majapahit meninggalkan Pulau Jawa menuju ke pulau Bali dan pada saat itu yg ada hanya agama Islam.

Setelah masa kemerdekaan Negara Indonesia Hindu hanya diakui di pulau Bali, akhirnya pada tahun 1945 Hindu kembali diakui di NKRI sebgai Agama Negara.

Pada saat itulah para tokoh-tokoh setempat yg sebelumnya juga menganut agama Islam ada yang dari unsur NU, Mohammadiyah namun kejawen dalam artian orang yang masih memegang teguh adat budaya nusantara yg tergabung dalam partai PNI.

Mungkin juga panggilan dari para leluhur akhirnya pada tahun 1965 memutuskan untuk menjadi penganut ajaran baru yang diakui negara yaitu Agama Hindu.

Tokoh-tokoh tersebut yakni Budiharjo (alm), Ali Wahono, Kaseran, Kamto, Dhullah(alm), Mohit(alm), Tumiran, Mujioto(alm), Mbah Gondho dll.

Tokoh-tokoh itu juga penggagas berdirinya “PURA SITUS KAWITAN ALAS PURWO”, akhirnya para tokoh-tokoh tersebut mulai membangun pura yang sangat sederhana dari tumpukan batu merah dan diberi nama “PURA WIDYA SAKTI” pada tahun 1966.

Oleh karena, politik negara dalam situasi panas yaitu terjadi G-30SPKI, maka para tokoh-tokoh tersebut sering didatangi aparat keamanan karena mengadakan suatu pertemuan, padahal itu untuk melaksanakan kebaktian atau sembahyang, bahkan menurut Budi Harjo(alm) sampai 14 kali dipanggil oleh pihak koramil.

Namun mereka tidak menyerah untuk menjdi Hindu, lama kelamaan umat hindu terus bertambah hingga 150 KK.

Sementara itu, pihaknya juga menambahkan, umat Hindu telah tersebar ke desa-desa lain di Kecamatan Tegaldlimo hingga kecamatan lain yang ada di Kabupaten Banyuwangi.

Untuk itu, para tokoh-tokoh tersebut memutuskan untuk membuat pura yang lengkap yakni ada Padmasana, Penyengker, Gapura atau Koriagung walaupun masih sederhana berkat bantuan Ketut Sidra akhirnya Pura WIDYA SAKTI (PURA TIRTA WENING) yang diplaspas oleh IDA PEDANDA GEDE TELABAH dri BALI pda tahun 70-an.

Seiring dengan berjalannya waktu akhirnya muncul pura-pura di desa-desa lainnya di kecamatan Tegaldlimo.

PURA WIDYA SAKTI (PURA TIRTA WENING) dijadikan sebgai pura kecamatan, untuk pusat kegiatan umat Hindu di kecamatan Tegaldlimo.

Dan hari Raya Saraswati sebagai berkumpulnya umat Hindu sekecamatan Tegaldlimo, sekitar tahun 80-an para tokoh-tokoh yang dulu sebgai pendiri pura.

Selanjutnya mengembangkan Hindu, tokoh-tokoh itu yang juga sebagai penggagas dan juga pendiri PURA LUHUR GIRI SALAKA. kecuali Budiharjo Jamto beliau sebagai tokoh  Pura Tirta Wening saat ini.

Ia juga menjelaskan umat di Pura Widya Sakti atau Pura Tirta Wening tinggal 75 KK pada tahun 1987. Sekaligus pada  tahun itu juga dilakukan pemugaran pura dengan ornamen Bali, pada saat itulah nama Widya Sakti berubah nama menjdi PURA TIRTA WENING di puput oleh pemangku setempat. Pemangkunya saat itu Mangku Dhullah dan diteruskan oleh Pemangku Mohhit.

Seiring berjalannya waktu para tokoh-tokoh itu meninggal dunia yakni Pemangku Dhullah, Pemangku Mohhit, Pak Budiharjo, Mbah Harjo jadi ibarat ayam kehilangan induk regenerasi ketokohan tidak berjalan terus kondisi umat semakin berkurang akibat tekanan propokatif dari pihak lain pada saat itu.

Semangat umat dalam menjalankan aktifitas keagamaan mengalami pasang surut, bahkan sekitar tahun 2010 -2011 umat Hindu Pura Tirta Wening tidak melaksanakan “piodalan” pura pada wuku Perangbakat karena kelupaan alasannya.

Untuk itu, pihaknya kembali melakukan pemugaran yang dipelopori Kelian Adat (Sutoyo), Pamong Pura (Tumiran), PHDI Desa  (Kanderi) dan didukung   Pemangku ( Exsan Santoso) termasuk seluruh umat yg masih setia menganut ajaran hindu sampai saat ini.

Dan sampai saat, pihaknya juga telah mendapat dukungan dan kerjasama dengan Mangku Gede Gusti Ngurah Mendra dari Denpasar Bali.

Sementara itu, pembangungan terus berjalan, kondisi umat penuh semangat untuk menjalankan ajaran Hindu bahkan ada penambahan umat baik melalui perkawinan, maupun deng  kesadaran sendiri menyatakan untuk menganut Agama Hindu,

Saat ini jumlah umat sekitar 60 KK dengan dipimpin oleh pemangku Exsan Santoso dan sebagai Kelian Adat, Suyanto, sebagai Pamung Pura Tumiran, PHDI desa Kedungwungu, Kanderi. ARI-MB