todung_mulya_lubis     sarwono_kusumaatmadja
Jakarta (Metrobali.com)-

Sebanyak 34 tokoh berpengaruh di Indonesia menyampaikan pendapat dan masukan kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang sedang menyidangkan perkara Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Bailout Bank Century dengan terdakwa Budi Mulya. 

Pendapat dan masukan dalam bentuk “Amicus Curiae terkait kasus FPJP dan Bailout Bank Century” diserahkan oleh Todung Mulya Lubis, Natalia Soebagjo, dan Sarwono Kusumaatmadja, sebagai perwakilan dari para tokoh yang tergabung dalam “Sahabat Pengadilan” kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Gusrizal, untuk diserahkan kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara.

“Kita sudah daftarkan amicus curiae,” kata Todung di PN Jakarta Pusat, Kamis (10/7/2014) usai menyerahkannya kepada Ketua PN Jakarta Pusat.

Todung menyampaikan pendapat dan masukan kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta karena pihaknya ingin majelis hakim bersikap adil terhadap kasus penyelamatan Bank Century. Hal ini mengingat penyelamatan Bank Century merupakan kebijakan yang harus diambil oleh pejabat Bank Indonesia untuk mengantisipasi krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008.

“Ya, kita cuma ingin memberikan perspektif kepada majelis hakim. Kita setuju dengan pemberantasan korupsi tapi kita melihat ada gejala bahwa pengadilan ini mengadili kebijakan. Nah kebijakan itu kan satu hal yang harus diambil oleh pejabat apalagi dalam keadaan krisis yang muncul, apakah itu saat krisis ekonomi, politik dan sebagainya,” terangnya.

Todung berpendapat, kebijakan itu bukan tindak pidana dan mengkriminalisasi suatu kebijakan itu sesuatu hal yang salah. Menurut dia mengkriminalkan suatu kebijakan itu mempunyai dampak yang sangat serius.

“Dampak yang sangat serius misalnya terhadap pejabat lain yang membuat kebijakan-kebijakan. Mereka pada takut. Nah, padahal pertimbangan-pertimbangan dalam membuat kebijakan itu, pertimbangan-pertimbangan yang menurut pembuat kebijakan ada dasarnya,” paparnya.

Menurutnya, bila menilai kebijakan post factum setelah kebijakan itu di buat, orang mudah menyalahkan dan menilai kebijakan itu tidak tepat. Padahal, kebijakan memang harus dibuat karena ketika krisis itu ada dan harus mengambil keputusan, maka seorang pejabat harus mengambil keputusan, kalau tidak dia bisa disalahkan seumur hidupnya.

“Dia kan tidak mau disalahkan seumur hidupnya. Karena ini menyangkut ekonomi negara, menyangkut sistem perbankan Indonesia. Jadi menurut saya ini bahayanya,” ucapnya.

Oleh karena itu, dalam hal ini pihaknya ingin meminta pertimbangan majelis untuk berlaku adil dalam perkara Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Bailout Bank Century dengan terdakwa Budi Mulya.

“Tolong melihat kepentingan bangsa yang lebih besar. Jangan hanya terpaku pada pendekatan formalistik,” jelasnya.

Sedangkan untuk kasus Budi Mulya itu, Todung menilai kasus itu murni kasus gratifikasi. Namun, jika kebijakan bailout dan penyelamatan Bank Century dipersalahkan akan menyebabkan dampak pada semua keputusan-keputusan yang kita ambil dalam menyelamatkan aset-aset negara.

“Untuk kasus Budi Mulya ini silakan. Tapi kalau persoalan kebijakan bailout penyelamatan Bank Century itu dipersoalkan, ini akan menyeret semua pejabat BI.  Dan ini akan menimbulkan dampak terhadap semua putusan-putusan yang kita ambil dalam menyelamatkan aset-aset negara. Karena ketika dikatakan oleh pengadilan tidak ada krisis ekonomi nanti,” paparnya.

Todung mengungkapkan jika kebijakan bailout dan penyelamatan Bank Century dipersalahkan akan menyebabkan dampak pada semua keputusan-keputusan yang kita ambil dalam menyelamatkan aset-aset negara.

“Ketika pengadilan tidak mengatakan ada krisis ekonomi, nanti semua aset tidak berjalan, indonesia tidak seperti negara-negara lain yang memberlakukan blangkeet gurantee,” terang Todung.

Menurut Todung, selama suatu kebijakan dibuat tidak ada niat jahat, menguntungkan pribadi maka hal itu tidak bisa di pidana.

Sedangkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja mengharapkan pengadilan tindak pidana korupsi dapat mempertimbangkan pendapat dirinya dan para tokoh lain dalam perkara Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Bailout Bank Century dengan terdakwa Budi Mulya.

“Mudah-mudahan masukan ini jadi bahan pertimbangan bagi majelis hakim, kalau keputusannya keliru maka dampaknya sangat besar,”harapnya.

Sementara itu,  penyampaian pendapat dan masukan kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta  tersebut disampaikan oleh para tokoh dalam bentuk Amicus Curiae atau “Sahabat Pengadilan” (friends of the court), yang lazim dipraktikkan dalam tradisi common law.

Dalam hal ini, Pengadilan diizinkan menerima dan mempertimbangkan adanya pihak ketiga independen yang menyampaikan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar sehingga Majelis Hakim dapat memeriksa dan mengambil keputusan yang benar dan adil. 

Amicus Curiae dalam prakteknya juga telah diakui dan diterapkan dalam masyarakat hukum Indonesia, diantaranya dalam Perkara Peninjauan Kembali MA antara Time Inc. Asia, Et. Al melawan H.M. Suharto tahun 1999; Peninjauan Kembali MA antara Erwin Ananda melawan Negara Republik Indonesia (Kasus Playboy) tahun 2011; perkara di PN Tangerang antara Prita Mulyasari melawan Negara Republik Indonesia (Kasus Prita) tahun 2009; perkara di PN Makassar antara Upi Asmaradhana melawan Negara Republik Indonesia tahun 2009.

Adapun para tokoh yang mendukung Amicus Curiae ini adalah tokoh-tokoh publik yang selama ini dikenal memiliki integritas dan memperjuangkan upaya melawan korupsi. Mereka pun berasal dari berbagai latar belakang profesi diantaranya Ahli Hukum, Perbankan, Ekonomi, Kebijakan Publik, Akademisi, Tokoh Masyarakat, Pegiat Anti Korupsi, Praktisi, dan Advokat. 

Mereka di antaranya Todung Mulya Lubis, Natalia Soebagjo, Hikmahanto Juwana, Goenawan Muhammad, Sofyan Djalil, Sofian Effendy, Sarwono Kusumaatmadja, KH Salahuddin Wahid, Franz Magnis Suseno, Darmin Nasution, Albert Hasibuan, Arifin Panigoro, Emil Salim, Abdillah Toha, dan Denny Indrayana.  RED-MB