Para perempuan Lebanon mengenakan baju pengantin yang dibubuhi pewarna merah darah dalam unjuk rasa memprotes peraturan yang membebaskan pemerkosa jika menikahi korbannya, di Beirut, Lebanon, 6 Desember 16.

Bagi lebih dari 3,3 juta anak perempuan dan perempuan di Amerika, hubungan seks untuk pertama kalinya terjadi bukan karena suka sama suka dan merupakan pengalaman yang traumatis, demikian menurut sebuah penelitian baru.

“Seorang dokter praktik kemungkinan menjumpai beberapa pasien setiap minggu yang mengalami bentuk trauma ini,” demikian menurut para penulis sebuah studi yang diterbitkan minggu ini di jurnal kedokteran JAMA Internal Medicine.

Para penulis mencatat “gerakan #MeToo telah menyoroti seberapa sering perempuan mengalami kekerasan seksual,” tetapi “tidak ada penelitian terbaru yang mengkaji prevalensi seks yang dipaksakan selama pengalaman seksual pertama anak perempuan dan perempuan atau konsekuensi kesehatannya.”

Lima puluh persen anak perempuan dan perempuan yang melaporkan dipaksa berhubungan seks mengatakan mereka dipaksa oleh seseorang yang lebih besar atau lebih tua. Separuh lebih menggambarkan tekanan secara verbal, dan 46 persen mengatakan mereka dibuat tidak berdaya.

Selain itu, sebanyak 22 persen perempuan melaporkan bahwa mereka dibius, 26 persen melaporkan mereka merasa terancam secara fisik atau tersakiti secara fisik sebanyak 25 persen.

Rangkaian persamaan pelakunya adalah gender yang memiliki sedikit perbedaan sosial ekonomi atau ras.

“Hubungan seksual secara paksa dilaporkan oleh perempuan dari semua kelompok ras dan etnis dan sedikit bervariasi berdasarkan status kemiskinan, tingkat pencapaian pendidikan, atau tempat kelahiran,” demikian laporan studi itu.

Dibandingkan dengan perempuan yang secara sukarela menyetujui berhubungan seks untuk pertama kalinya, perempuan yang dipaksa kecil kemungkinannya berkulit putih namun besar kemungkinannya dilahirkan di luar AS, berpendapatan di bawah tingkat kemiskinan dan kecil kemungkinannya berpendidikan perguruan tinggi. [my/pp] (VOA)