Sarasehan kebangsaan bertajuk “Damai Itu Indah. Damai Itu Upaya” yang diselenggarakan komunitas pecinta damai di Denpasar, Jumat, 2 Maret 2018.

Denpasar (Metrobali.com)-

Rasa damai tak bisa diharapkan dari orang lain, tetapi harus dimulai dari hati saya. Ketika hati anda sudah damai, maka seketika itu sebarkan rasa damai itu ke sekeliling anda. Dengan demikian, kita semua akan bisa meraih suasana damai. Kita tidak bisa menuntut orang agar damai kalau hati kita tidak pernah damai. Itulah pernyataan pegiat kedamaian, Peace Makers Indonesia,  Andy Prawira mengawali sarasehan kebangsaan bertajuk “Damai Itu Indah. Damai Itu Upaya” yang diselenggarakan komunitas pecinta damai di Denpasar, Jumat, 2 Maret kemarin.
Andy Prawira ditemani dua narasumber lain yakni Gus Nur (Muhhamad Sayyidil Mursalin) dari Rajawali Nusantara Jaya Binangun dan Ketut Darmika, pegiat Gema Perdamaian. Sarasehan ini dipandu oleh Nyoman Merta Harnaga (Direktur Eksekutif Paiketan Krama Bali) dan Gus Yadi (Soko Tunggal Bali).
Kata Andy Prawira, kalau mau bikin suasana damai di Indonesia, mulailah dari diri saya, diri anda, mari multiplikasi rasa damai dari diri anda ke orang lain. Namun patut diingat, semua harus berlandaskan etika, agama dan budaya. “Saya berharap kita semua sebagai peace makers, mari mulai multiplikasi peace makers agar negeri ini bisa lebih damai” ajak Andy Prawira.
Gus Nur menjelaskan makna Islam (Muslim). Islam yang benar itu adalah Islam yang rakhmatan lil alamin, yakni Islam yang menciptai semua makhluk di bumi, di langit dan diantara bumi dan langit. “Muslim sejati itu adalah muslim yang memahami dirinya sendiri. Barang siapa yang menyebut dirinya muslim dan  memahami dirinya sendiri, maka ia akan memahami Allah-nya (Tuhannya)” tegas Gur Nur. Menurut dia, Indonesia ini selalu ribut karena kita selalu bermain di nama, di agama, di kulit. Kita belum bermain di hakikat. Kita harusnya berusaha mengenal jati diri, mengenal leluhur kita yang demikian hebatnya, kita masih masih selalu berdebat di nama (agama, kulit, suku, ras, golongan). Kita sangat jauh kalah dibandingkan para leluhur kita. Beliau telah mewariskan Candi Borobudur, Prambanan, Pura-pura besar di seluruh Indonesia, sementara kita hanya bisa berdebat merasa paling benar, paling suci dan lain-lainnya. “Pemikiran kita yang sempit inilah yang membuat kita bodoh, tetapi merasa pintar, merasa paling benar dan menuduh umat agama lain salah, orang lain selalu salah” paparnya.
Menurut Ketut Darmika, kedamaian itu bisa terwujud jika manusia mampu melihat aspek spiritual dan jati dirinya yang terdiri dari tujuh lapisan. Menurut Darmika,  damai itu hanya bisa diwujudkan jika setiap manusia mampu mengendalikan pikiran, kata-kata dan tingkah lakunya agar selalu baik dan damai serta menyejukkan. Jika kita mulai menyadari keberadaan lapisan terhalus dari diri manusia yaitu Atman. Ini adalah percikan dari Paramatman (Brahman) atau Tuhan itu sendiri. “Ketika kita telah mampu menyadari keberadaan Atman, maka tidak ada alasan apa pun bagi kita untuk saling melukai hati dan perasaan orang lain, umat lain agama dan sebagainya.
Seorang peserta mengeluhkan kondisi Indonesia yang marak korupsi, bahkan seorang Ketua DPR RI Setya Novanto terlibat korupsi. “Sangat memalukan, seorang ketua DPR RI sebagai symbol negara terlibat korupsi” keluhnya. Ini antara lain disebabkan oleh pendidikan berupa hilangnya mata pelajaran kewarganegaraan dan budi pekerti. Produk pendidikan yang tidak menggembleng karakter dan moral menghasilkan para koruptor. Ia mengusulkan agar pendidikan kembali mengajarkan kewarganegaraan dan budi pekerti.
Sarasehan yang dihadiri ratusan pegiat perdamaian dari berbagai kalangan masyarakat ini diisi dengan ritual, doa dan renungan bersama,  makan bubur merah putih, pembacaan Puisi kebangsaan dan penandatanganan seruan kedamaian bangsa (ram).  RED-MB