kabinet jokowi

Jakarta (Metrobali.com)-

Walaupun Presiden Joko Widodo belum memberikan tanda-tanda segera mereshuffle Kabinet Kerja yang dipimpinnya bersama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, perhatian masyarakat terhadap kemungkinan pergantian segelintir menteri semakin besar.

Hal itu antara lain akibat munculnya pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. “Kalau sampai ada menteri yang sudah dipilih dan dilantik masih melakukan hal-hal yang tidak mendukung kebijakan Presiden secara terbuka apalagi mengecilkan arti Presiden, maka saya yakin Bapak Presiden sudah dapatkan data siapa menteri yang tidak loyal,” kata Tjahjo Kumolo kepada wartawan di Jakarta, Minggu (28/6).

Mantan sekretaris jenderal DPP PDIP ini memang tidak menunjuk “hidung” menteri yang dianggapnya mengecilkan arti pentingnya Presiden, akhirnya pada Senin, muncul juga penjelasan dari orang yang disangka atau didakwa mengeluarkan pernyataan tersebut. Dia adalah Rini Soemarno yang duduk sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara.

Rini menyatakan kalimat-kalimat yang muncul di media sosial itu tidak mencerminkan kata-kata yang biasa dia gunakan. Dan juga menegaskan bahwa biar bagaimanapu dia tetap harus menghormati Jokowi. Media sosial seakan-akan menyatakan bahwa Rini siap direshuffle dari Kabinet Kerja asalkan Presiden secara terbuka menjelaskan mengapa hal itu sampai terjadi.

“Perang pernyataan” antara Tjahjo dengan Rini itu menarik perhatian karena biar bagaimanapun juga lelaki itu adalah salah satu orang kepercayaan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri sedangkan Rini pernah menjadi menteri perindustrian dan perdagangan saat Megawati menjadi presiden. Bahkan pada saat kampanye pilpres tahun 2014, Rini nampak jelas sering mendampingi putri Proklamator Bung Karno itu dalam berbagai acara.

Namun setelah duduk di Kabinet Kerja sekarang ini, kemudian muncul isu bahwa Rini belum pernah menemui Megawati sekalipun. Terhadap isu semacam ini, tentu masyarakat sulit melihatnya sebagai sebuah kebenaran atau kebohongan.

Namun sejak menjadi Menteri BUMN, Rini sering digunjingkan sebagai menteri yang kebijakan dan langkah-langkah di lapangannya tidak sesuai dengan ide dasar sang Presiden masa bakti 2014-2019.

Entah kebetulan atau tidak, pada hari Senin (29/6), Kepala Negara menerima mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Ma’arif dan dalam pertemuan itu dibahas berbagai masalah nasional termasuk kemungkinan dilakukannya reshuffle.

Syafii Ma’arif pun kemudian berkata, “Carilah menteri yang bisa membantu Presiden. Jangan yang menjadi beban”. Entah apa yang dimaksud dengan “menjadi beban ” itu. Namun masyarakat kini sedang didera berbagai masalah misalnya menjelang Idul Fitri mendatang ini. Harga berbagai kebutuhan pokok mulai dari beras, cabai merah, daging ayam dan daging sapi terus melonjak harganya. Kemudian ada keputusan pemerintah untuk mengimpor berbagai komoditas seperti bawang merah.

Sementara itu, tahun ajaran baru sudah di depan mata, sehingga para orang tua sudah harus siap-siap “mengorek-ngorek” kantong mereka sampai ke bagian dalam karena ada anaknya yang masuk TK, SD, SMP, SMA atau yang sederajat hingga perguruan tinggi. Belum lagi masyarakat mendengar hampir tiap hari terjadi tindak kejahatan mulai dari pemalakan hingga pembunuhan sadis seperti yang terjadi di Bali dan Ciledug, Tangerang.

Di tengah-tengah kehidupan yang kian memusingkan kepala itu, masyarakat tetap mendapat informasi tentang gonjang-ganjing di lingkaran satu Jokowi yakni pergantian beberapa menterinya.

Kebiasaan mantan wali kota Solo dan mantan gubernur DKI Jakarta itu untuk memberikan jawaban yang “pelit” atau singkat jika ditanya wartawan tentang hal-hal yang bersifat politis atau strategis juga mengakibatkan rakyat sulit menduga-duga tentang berbagai kemungkinan yang bakal terjadi pada hari-hari mendatang.

Ketika ditanya tentang rehuffle, Joko Widodo baru-baru ini hanya berkata singkat, “Nanti ada waktunya”. Akibat dari kalimat semacam ini, masyarakat termasuk politisi, pengamat politik semakin menunggu nunggu apakah pergantian segelintir menteri itu jadi atau tidak jadi dilakukan, siapa menteri barunya dan apakah pergantian itu bermanfaat atau berguna bagi kehidupan masyarakat atau tidak KIH ditambah KMP? Belum lagi selesainya pertanyaan entang pergantian menteri, kini muncul isu baru mengenai perlu masuknya politisi dari kelompok Koalisi Merah Putih (KMP) ke dalam Kabinet Kerja yang kini didominasi Koalisi Indonesia Hebat alias KIH. Koalisi Indonesia Hebat antara lain mencakup PDIP, Hanura, PKPI, PKB serta Nasdem sedangkan di dalam Koalisi Merah Putih antara lain terdapat Gerindra, PPP serta Golkar. Sementara itu, Partai Demokrat masih disebut sebagai penyeimbang atau “di tengah-tengah”.

Sekretaris Jenderal DPP Partai Nasdem Patrice Rio Capella mengungkapkan bahwa bisa saja Koalisi Merah Putih bergabung dengan Koalisi Indonesia Hebat untuk sama-sama duduk di Kabinet Kerja-nya Jokowi-Jusuf Kalla..

“Koalisi Merah Putih bisa masuk Kabinet Kerja,” kata Patrice Rio Capella baru-baru ini. Kok tiba-tiba ada gagasan untuk memadukan atau menyatukan kedua kelompok ini? Pemerintah masih menghadapi kesulitan jika mau membawa sebuah masalah ke Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR, karena Senayan dikuasai Koalisi Merah Putih sehingga misalnya apabila ada rancangan undang-undang versi pemerintah maka dengan mudah bisa “diganjal” atau dihalangi oleh KMP. Tentu saja, hal itu bisa menghambat program kerja pemerintah termasuk rakyat.

Karena itu, tidak heran kini muncul gagasan supaya Golkar dan kawan-kawan bisa bergaung dengan PDIP, Nasdem dan lain-lainnya dalam kabinetnya Jokowi-Jusuf Kalla. Peluang ini semakin terangkat terutama setelah masyarakat melihat bahwa Jokowi yang merupakan kader PDIP telah bertemu beberapa kali dengan Prabowo Subianto yang merupakan Ketua Umum DPP Partai Gerindra untuk membahas masalah-masalah penting di negara ni.

Apa untungnya jika kedua kelompok ini bersatu? Jika kedua kelompok ini bersatu, maka pemerintah yang dikuasai KIH bisa dengan mudah membawa persoalan mereka untuk dibahas di Senayan. Sementara itu, KMP bisa menempatkan beberapa kadernya di Kabinet Kerja sehingga bisa disebut tidak ada lagi kelompok “oposisi” di Tanah Air. Dengan demikian bisa dihilangkan sementara waktu “perkelahian” atau perseteruan di antara kedua kelompok ini.

Namun tentu saja, latar belakang gagasan bergabungnya KMP bersama KIH dalam Kabinet Kerja masih perlu dipelajari lebih dalam lagi terutama karena masing-masing kelompok mempunyai pemikirannya masing-masing atau target politik yang berbeda- beda sehingga tidak mudah dipersatukan.

Rakyat pada dasarnya tidak mempersoalkan atau mempertanyakan partai-partai politik mana saja yang duduk dalam pemerintahan atau kabinet atau siapa yang menjadi oposan. Yang paling pokok bagi orang awam adalah karena sebagian besar mereka hanya lulusan SD atau yang sejenisnya adalah kehidupan sehari-hari mereka tercukupi, anak-anak mereka bisa sekolah setinggi mungkin dan tidak ada resesi atau yang sejenisnya.

Rakyat biasa tidak ingin dipusingkan siapa yang menguasai pemerintah atau sebaliknya siapa yang menjadi lawan atau kelompok oposisi, tidak ada lagi korupsi atau gratifikasi, tidak ada lagi tawuran, atau kejahatan yang membahayakan jika orang-orang kecil.

Karena itu, masyarakat cuma bisa berharap yang menjadi menteri adalah orang-orang yang terbaik, serta wakil-wakil rakyat yang duduk di Senayan memang benar-benar mampu menjadi utusan rakyat di parlemen dan tidak melakukan KKN lagi. AN-MB