Yahya Harahap

Jakarta (Metrobali.com)-

Saksi ahli M. Yahya Harahap yang dihadirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang lanjutan praperadilan Jero Wacik menyatakan bahwa sifat “lex specialis” dalam UU KPK harus lebih diutamakan daripada sifat “lex generalis” dalam KUHAP.

“Kalau berjumpa dengan dua peraturan undang-undang di mana yang satu bersifat ‘lex generalis’ dan satunya ‘lex specialis’, dan dua-duanya mengatur hal yang sama maka yang berlaku adalah ‘lex specialis’,” ujarnya saat memberikan keterangan dalam sidang praperadilan Jero di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (24/4).

Menurut dia, UU KPK bersifat “lex specialis” karena kehadiran UU tersebut bertujuan untuk mengatur secara khusus terkait tindak pidana korupsi yang sebelumnya tidak diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP yang sifatnya “lex generalis”.

“Salah satunya adalah aturan tentang proses penyelidikan dan penyidikan yang sebenarnya sudah termuat dalam Pasal 102-136 KUHAP,” tutur Yahya.

Isi Pasal 102-136 tersebut dituangkan kembali secara khusus dalam Pasal 36 Ayat 1 UU KPK yang berbunyi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Pengecualian dalam kalimat terakhir itu menjadikan pemberlakuan UU KPK wajib didahulukan.

“Ketentuan atau yurisdiksi di dalam UU (KUHAP) itu harus dikesampingkan,” ujar Yahya.

Sebelumnya dalam sidang perdana di PN Jakarta Selatan, Senin (20/4), kuasa hukum Jero menggunakan Pasal 111 ayat 1 RUU KUHAP sebagai dasar dalil permohonannya.

Disebutkan bahwa objek penetapan tersangka di dalam “ius constituendum” yaitu dalam RUU KUHAP telah diakomodir dan menjadi salah satu norma yang merupakan bagian dari kewenangan lembaga “Hakim Komisaris” (praperadilan di dalam RUU KUHAP diganti dengan lembaga Hakim Komisaris).

“Dalam konteks perlindungan hukum terhadap tersangka dari segala tindakan upaya paksa, tidak diragukan lagi bahwa penetapan tersangka baik secara legal ‘justice’, ‘social justice’, dan moral ‘justice’ dapat diterima sebagai objek praperadilan,” ujar salah satu kuasa hukum Jero, Hinca Panjaitan.

Namun, anggota Biro Hukum KPK Yadyn menilai RUU KUHAP belum bisa dijadikan sumber hukum positif untuk memasukkan bab penetapan tersangka dalam objek praperadilan.

“Quad nonpenetapan tersangka dianggap sebagai objek kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan maka secara hukum kewenangan tersebut hanya dapat diterapkan setelah RUU KUHAP (ius constituendum) disahkan dan diundangkan menjadi UU (KUHAP), sehingga berlaku sah sebagai hukum positif (ius constitutum),” ucapnya.

Jero Wacik dalam dalil permohonan yang disampaikan oleh kuasa hukumnya di PN Jakarta Selatan, Senin (20/4) meminta hakim mengadili dan menyatakan tidak sah atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam dua kasus korupsi yang ditangani KPK.

Pada 6 Februari 2015, KPK mengumumkan Jero Wacik sebagai tersangka dalam dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan anggaran di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada 2008-2011.

Dugaan kerugian negara diperkirakan sekitar Rp7 miliar akibat penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan anggaran tersebut.

Sebelumnya KPK sudah menetapkan Jero sebagai tersangka dugaan korupsi dalam bentuk pemerasan dalam sejumlah kegiatan di Kementerian ESDM terkait jabatan Jero Wacik sebagai Menteri periode 2011-2013 sejak 2 September 2014 lalu.

Dalam kasus tersebut KPK menyangkakan Jero Wacik dengan pasal 12 huruf e atau pasal 23 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 421 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar. AN-MB