Denpasar (Metrobali.com)-

            Pasamuhan Sabha Pandita PHDI, Minggu (27/10) memutuskan menolak penetapan kawasan Besakih-Gunung Agung dan sekitarnya sebagai KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional), seperti diatur dalam PP No. 50/2011. Keputusan diambil setelah mendengar masukan dari Sabha Walaka serta narasumber, yakni Putu Anom (Dekan Fakultas Pariwisata UNUD), Dr. Putu Rumawan Salain ahli tataruang dari Fakultas Teknik UNUD, serta Prof. Dr. Made Bakta, Ketua Paruman Walaka PHDI Bali. Pasamuhan dipimpin oleh Dharma Adhyaksa Ida Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa dan Wakil Dharma Adhyaksa Ida Pedanda Gde Bang Buruwan Manuaba. Dari Sabha Walaka hadir Putu Wirata Dwikora (ketua), Made Artha (Wakil Ketua), Gde Rudia Adiputra (Wakil Ketua), Nyoman Budi Adnyana (Wakil Ketua), Dra. Sri Astuti (Sekretaris), Wayan Suyadnya (Wakil Sekretaris), Dr. IGN Sudiana (Ketua PHDI Bali) dan Nyoman Kenak (Sekretaris PHDI Bali). Dari Pengurus Harian diwakili Dewa Putu Sukardi dan Yanto Yahya, SH.

            ”Sabha Pandita memutuskan menolak dan meminta Pemerintah merevisi PP No. 50/2011 dengan mencabut nama Besakih-Gunung Agung dari lampiran PP tersebut, setelah mendengar paparan para narasumber yang berkompeten, serta masukan dari Sabha Walaka,” ujar Pedanda Sebali.

Kata Ida Pedanda, Sabha Pandita dan elemen lainnya sepakat akan mengajak Gubernur Bali, DPRD Bali, DPRD Karangasem, maupun elemen-elemen lain di Bali, guna bersama-sama berjuang untuk mencabut kawasan Besakih-Gunung Agung dari PP No.50/2011. Besakih menjadi prioritas dibanding Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan lainnya, mengingat Pura ini  merupakan huluning jagat Bali¸ yang sangat disakralkan oleh umat Hindu. Adapun pura-pura lainnya, baik Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan yang tercakup dalam KSPN, Sabha Pandita mengingatkan pemerintah agar pengembangan KSPN-nya dilakukan sangat hati-hati, mengedepankan Perda RUTRW Bali serta Bhisama PHDI tentang kesucian Pura, dan melibatkan PHDI,MUDP, Desa Pakraman, serta elemen lainnya yang terkait.

            Dalam paparan para narasumber, penetapan Besakih-Gunung Agung sebagai KSPN menabur banyak masalah. Diantaranya, penetapan Besakih-Gunung Agung dan sekitarnya maupun KSPN lainnya yang tidak mendapat dukungan masyarakat karena tidak ada sosialisasi sebelumnya, juga tidak ada penelitian, sebagaimana diatur dalam UU tentang Kepariwisataan Nasional.

            Prof. Bakta menegaskan, ada konflik norma dalam penetapan Besakih-Gunung Agung sebagai KSPN yang fungsi utamanya adalah pariwisata, dengan Bhisama No.11/Kep/PHDI/1994 tentang Kesucian Pura dalam Perda No. 16/2009 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Prov. Bali. ”Karena ada konflik norma, kalau keduanya dibiarkan tetap ada, kecenderungannya yang akan dikalahkan adalah Perda, karena PP lebih tinggi dibanding Perda,” jelas Prof. Bakta.

            Putu Rumawan Salain antara lain memaparkan, bila dicermati secara seksama, seluruh dari 11 lokasi di Bali yang ditetapkan sebagai KSPN dalam PP No. 50/2011, cenderung bermasalah. Sebab seluruh dari 11 lokasi KSPN tersebut tidak jelas delinasinya.

            ”Cobalah dicermati, Besakih-Gunung Agung dan sekitarnya…betapa tidak jelasnya batas dan sekitarnya, bagaimana kalau menjangkau hutan lindung di Gunung Agung? Lalu siapa yang menjamin bahwa kearifan lokal akan dijaga, kalau kewenangan mengeluarkan ijin sebagian diantaranya ada di pusat? Apa pula arti dan sekitarnya dari kawasan Kintamani-Danau Batur dan sekitarnya, apakah ada jaminan bahwa kawasan hutan lindung Kitamani benar-benar dilindungi?” katanya.

Terminologi dan sekitarnya dalam penetapan KSPN tersebut dinilai terlalu longgar dan memberi ruang yang sangat besar untuk melakukan eksploitasi diluar kemampuan untuk melindungi dan melestarikannya. Sebab, secara empiris, sudah banyak contoh, bagaimana pelanggaran terhadap Bhisama dan Perda RUTRW Bali berlangsung di depan mata, tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah. RED-MB