Saat tiga mantan menteri keuangan bicara soal krisis

Dokumentasi pekerja menyelesaikan pembangunan konstruksi jalan tol Tanjung Priok, di Jakarta Utara, Jumat (18/12). Belanja modal pemerintah memberi porsi sangat besar pada perekonomian nasional. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta (Metrobali.com)-
Tiga mantan menteri keuangan di berbagai kabinet berbeda, Boediono, Chatib Basri dan Sri Mulyani,  berbicara soal krisis dalam seminar “Tantangan Pengelolaan APBN Dari Masa Ke Masa”, di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11).

Dari mereka bertiga, semuanya menyandang gelar sarjana strata 3, hanya Boediono yang bukan alumnus Universitas Indonesia, melainkan Universitas Gadjah Mada, dan hanya Basri yang tidak pernah menjadi menteri koordinator bidang perekonomian.
Dari masa jabatan sebagai menteri keuangan, maka Boediono menempati posisi itu pada Agustus 2001-Oktober 2004, Mulyani pada Desember 2005-Oktober 2009, dan Basri pada Mei 2013-Oktober 2014.

Menurut Boediono, krisis itu diibaratkan gempa, yang tidak bisa diprediksi akan terjadi kapan, di mana, dan seberapa besar. Yang terpenting persiapan pemerintah menghadapi krisis yang bisa datang kapanpun.

“Elemen-elemen kejut akan tetap ada. Kita harus siap saja menghadapi elemen itu. Namun kita harus mempertajam kemampuan kita melihat ke depan, bukan hanya enam bulan atau setahun, tapi beberapa tahun ke depan,” ujar Boediono.

Boediono menuturkan, harus ada semacam upaya pertahanan yang sistematis untuk meminimalisir dampak krisis tersebut, karena krisis itu sendiri tidak bisa dideteksi dan dicegah begitu saja.

“Kita perbaiki struktur ekonomi kita. Kalau tidak seimbang, maka akan gampang sekali digoyahkan. Memang jangka panjang, tapi harus diupayakan,” katanya.

Selain itu, Boediono juga menekankan betapa penting koordinasi antar institusi yang bertugas mengatasi krisis, terutama saat krisis itu sendiri sedang terjadi. Oleh karena itu, diperlukan prosedur operasional standar yang jelas.

“Koordinasi dalam keadaan krisis semakin sulit, saat normal saja sulit. Biasanya semua kembali ke zona nyamannya masing-masing,” ujarnya.

Mulyani juga mengungkapkan hal senada. Menurut dia, ketika krisis terjadi, seorang pemimpin akan benar-benar diuji sejauh mana ia memiliki keberanian dan kemauan untuk melawan zona nyamannya sendiri.

“Kalau dalam kondisi krisis, pengambil kebijakan melawan zone kenyamanan, itu bagian paling sulit. Bagaimana melawan intuisi mengamankan diri sendiri,” ujarnya.

Sementara itu, Basri menekankan pentingnya kerja sama yang baik dalam forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan.

Ia juga menekankan pentingnya komunikasi yang baik, apakah itu terhadap dunia internasional, terhadap publik, dan juga kepada Parlemen.

“Kita tidak mungkin bisa memprediksi krisis. Saya sendiri selalu meminta untuk dilakukan uji tekanan, apakah kita bertahan atau tidak,” ujar Basri. Ant