otonomi daerah

Jakarta (Metrobali.com)-

Suara untuk menyempurnakan sistem otonomi daerah setiap tahun selalu terdengar karena kekhawatiran sulitnya mengendalikan kepala daerah untuk tetap fokus pada pembangunan dengan semangat “good governance” atau tata kelola pemerintahan yang baik.

Sejak reformasi, telah dua kali disahkan Undang-Undang (UU) tentang Pemerintahan Daerah, yaitu UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 yang telah beberapa kali diubah terakhir melalui lahirnya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

UU No. 32 Tahun 2004 telah menata pembagian urusan pemerintahan yang makin jelas antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Diterapkanlah konsep urusan secara konkuren antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Setiap urusan dibagi berdasarkan kriteria tersebut melahirkan urusan yang ditangani oleh pihak pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Proses pemilihan kepala daerah dari semula menjadi kewenangan DPRD menjadi dipilih langsung oleh rakyat menyebabkan beralihnya pertanggungjawaban kepala daerah pula, yang tadinya kepada DPRD menjadi kepada rakyat. Konsep Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) kepada DPRD menjadi konsep Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD. Akirnya LKPJ bukan menjadi instrument untuk melakukan politik impeachment, tetapi lebih berfungsi sebagai semacam progress report kepala daerah kepada DPRD.

Sebuah langkah terobosan diusulkan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono di tahun terakhir kekuasaannya dengan mengusulkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemerintah Daerah yang akan menggantikan UU No 32 Tahun 2004.

RUU itu diserahkan bersamaan dengan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) dan RUU tentang Desa pada 4 Februari 2014.

Tujuan pengajuan RUU itu adalah memperbaiki berbagai kelemahan dari UU No. 32/2004 terkait dengan konsep kebijakan desentralisasi dalam negara kesatuan, ketidakjelasan pengaturan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan hubungan antara pemerintah dengan warga dan kelompok madani.

Rangkap Jabatan Tanpa banyak perdebatan, Rapat Paripurna DPR akhirnya mengesahkan RUU Pemda. Namun sebelum disahkan, DPR dan pemerintah sepakat mencabut satu pasal tentang larangan rangkap jabatan kepala daerah di partai politik. Aturan yang tertuang dalam Pasal 76 ayat 1 huruf 1 itu sebelumnya sudah disepakati pada rapat pengambilan keputusan tingkat pertama di Komisi II DPR.

“Jadi Pasal 76 ayat 1 huruf i dihapus. Dengan begitu, Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah disahkan menjadi Undang-Undang,” kata Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar, Priyo Budi Santoso selaku pimpinan sidang.

Pencabutan larangan rangkap jabatan itu diusulkan Fraksi PDIP dan diperkuat Fraksi PKB.

Dua partai itu beralasan rangkap jabatan tidak menjadi masalah karena kepala daerah dipagari dengan berbagai pasal larangan termasuk memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan partai.

Selain itu, larangan rangkap jabatan tidak relevan dengan pilkada di DPRD karena parpol kemungkinan mengajukan kader terbaiknya yang biasanya menjabat sebagai petinggi parpol.

Pelarangan itu sangat disayangkan karena sebenarnya siapun berhak untuk dicalonkan sebagai kepala daerah, namun bagi mereka yang menjabat petinggi parpol bisa mengundurkan diri sebelumnya. Atau kalau lebih fleksibel bisa dibuat mundur sementara sehingga begitu berhasil menang dan kemudian dilantik sebagai kepala daerah, barulah mengundurkan diri.

Sangat disayangkan tidak ada sorotan LSM terhadap pencabutan pasal itu, karena arus besar perhatian masyarakat masih soal cara pemilihan kepala daerah, langsung atau tidak langsung.

Rangkap jabatan selama ini telah membuat kepala daerah mempunyai dua konsentrasi yaitu bekerja untuk konsolidasi partai dan bekerja sebagai pemimpin di daerah dengan masyarakat yang berbeda warna politiknya.

Ini merupakan satu noda di RUU Pemda dari serangkaian terobosan baru untuk memperbaiki pelaksanaan otonomi daerah.

Ada 22 isu strategis yang masuk yaitu pembentukan daerah otonom, pembagian urusan pemerintahan, daerah berciri kepulauan, pemilihan kepala daerah, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah atau Musyawarah Pimpinan Daerah, perangkat daerah, kecamatan, aparatur daerah, peraturan daerah, pembangunan daerah, keuangan daerah, pelayanan publik, partisipasi masyarakat, kawasan perkotaan, kawasan khusus, kerja sama antardaerah, desa, pembimbingan dan pengawasan daerah, tindakan hukum terhadap aparatur daerah, dan inovasi daerah.

Tentang aturan baru berupa tindakan hukum bagi aparatur daerah, RUU ini mengatur kepastian hukum dalam landasan bertindak bagi pejabat daerah dalam mengelola proyek-proyek pembangunan yang justru kegiatan itu diharapkan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah. Aturan itu diperlukan karena selama ini banyak pejabat enggan mengelola proyek-proyek daerah.

Aturan untuk memotivasi munculnya inovasi baru dalam pelayanan publik adalah dibukanya ruang inovasi sepanjang inovasi itu tidak menimbulkan kerugian negara, tidak mengandung konflik kepentingan, dan bertujuan memenuhi kepentingan umum.

Perubahan Fundamental Ada perubahan fundamental pada RUU itu dimana pemerintahan provinsi akan memiliki kewenangan lebih kuat terhadap bupati dan wali kota di daerah agar tidak ada kebijakan yang tumpang-tindih dengan UU dan peraturan pemerintah pusat.

Gubernur memiliki dua fungsi, yaitu sebagai kepala pemerintahan daerah otonom dan wakil pemerintah pusat yang ada di daerah. Gubernur bisa mengontrol bupati/wali kota apabila ada kewenangan-kewenangan yang tidak dilaksanakan.

Kalau pemerintah kabupaten/kota tidak taat pada Gubernur maka ada sanksi administrasi dan hukum yang tegas. Gubernur juga mendapat kewenangan untuk memberikan izin pertambangan dan kekayaan alam yang sebelumnya menjadi kewenangan bupati/wali kota. Pengalihan kewenangan itu didasarkan pengalaman dimana selama ini banyak izin pertambangan yang bermasalah dan tumpang tindih.

Demikian juga Gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah juga harus tunduk kepada Presiden.

Presiden bisa memberikan teguran tertulis kepada gubernur yang meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari tujuh hari tanpa izin. Apabila teguran itu tidak digubris, kepala daerah diwajibkan mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh kementerian yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri.

Presiden juga diberi kewenangan untuk menilai kinerja setiap gubernur, bupati dan walikota dan bisa menjatuhkan sanksi administrasi termasuk pemecatan jika menilai kinerja dalam menjalankan pemerintahan semakin buruk.

Pemekaran juga akan mulai “direm” dengan aturan masa uji daerah otonom baru selama lima. Kalau perkembangannya makin memburuk maka akan dikembalikan ke pemerintahan induknya. Kewenangan mengusulkan daerah pemekaran menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri.

Selama ini pembentukan daerah baru berkaitan dengan masalah Dana Alokasi Umum (DAU) sehingga jika muncul pemekaran maka DAU pemerintahan induk akan semakin berkurang, padahal banyak APBD sangat tergantung dari DAU karena keterbatasan penggalian pendapatan asli daerah.

Perubahan fundamental lainnya yaitu terkait status kepala daerah yang tersangkut masalah hukum. Pada Pasal 83 Ayat (1) RUU Pemda menegaskan bahwa kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak kejahatan yang diancam dengan pidana paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.

Aturan sebelumnya kepala daerah yang bermasalah hukum baru bisa diberhentikan sementara ketika telah keluar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Aturan lama itu membuat banyak kepala daerah yang sudah berstatus terdakwa bahkan sudah berada di tahanan masih bisa mengendalikan pemerintahannya.

Perubahan revolusioner dalam menata hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi daerah itu tidak lain agar arah pembangunan bisa lebih fokus untuk menghasilkan pelayanan dan tingkat kesejahteraan rakyat yang lebih baik. AN-MB