Asap rokok sangat mengganggu terutama bagi mereka yang tidak merokok, namun cukainya menjadi salah satu tumpuan penerimaan pemerintah (foto: ilustrasi).

 

Dunia sudah memiliki Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sejak 2003. Indonesia turut menginisiasi, tetapi belum menandatanganinya sampai saat ini. Meski begitu, dampaknya kian dirasakan mereka yang bertumpu pada sektor ini.

 

Merokok tak bisa lagi dilakukan di sembarang tempat saat ini. Banyak daerah memiliki aturan ketat. Yang terbaru, Peraturan Menteri Perhubungan No 12 tahun 2019 sudah diteken. Denda Rp750 ribu berlaku bagi mereka yang merokok sambil berkendara.

Bagi petani tembakau, semakin banyaknya aturan pembatasan merokok adalah tambahan cobaan yang harus dihadapi. Sejak FCTC digaungkan pada 2003, sebenarnya petani tembakau sudah paham, bahwa masa depan komoditas utama mereka tak selamanya cerah. Wening Swasono, Sekjen Asoasiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengatakan, pemerintah berlaku tidak adil pada mereka. Tembakau terus ditekan, tetapi cukai Industri Hasil Tembakau (IHT) digadang-gadang untuk menambal keuangan Negara.

Seorang petani merawat tanaman tembakaunya di Temanggung, Jawa Tengah. (foto: dok APTI)
Seorang petani merawat tanaman tembakaunya di Temanggung, Jawa Tengah. (foto: dok APTI)

September 2018 lalu, Jokowi menandatangani Peraturan Presiden mengenai penggunaan dana cukai rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Layanan ini memiliki defisit sekitar Rp10 triliun, dan cukai rokok diandalkan untuk menambal kekurangan itu. Meski ada sejumlah protes, langkah itu tetap diterapkan untuk menanggulangi terganggunya layanan kesehatan bagi pengguna BPJS.

Satu hal yang aneh, aparatur pertanian negara terus meminta petani mengganti tembakau dengan tanaman lain. Padahal itu bukan perkara mudah. “Tembakau itu spesifik , ditanam pada musim tertentu ketika lahan tidak cukup air. Dan tidak ada tanaman lain yang bisa ditanam. Kalau diganti jagung, hasilnya belum sepadan,” kata Wening.

Wening memberi sejumlah alasan mengapa petani tidak mau meninggalkan tembakau. Namun, menurutnya, yang paling menentukan adalah faktor keuntungan.

“Dulu petugas Dinas Pertanian meminta supaya menekan produksi tembakau, mengalihkan ke tanaman lain, tetapi petani tidak mau. Karena dari analisis usaha, keuntungan tembakau itu per hektar bisa mencapai Rp20 juta, sementara padi hanya R 8 juta, jagung hanya Rp3 juta, dan cabe Rp4 juta,” ujar Wening.

Hamparan tanaman tembakau di lereng gunung di Temanggung, Jawa Tengah. (foto: APTI)
Hamparan tanaman tembakau di lereng gunung di Temanggung, Jawa Tengah. (foto: APTI)

Menurut data APTI, Indonesia memiliki lahan tembakau seluas 206.514 hektar i di 15 provinsi. Mayoritas lahan itu berada di Jawa, sisanya di Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Barat. Dari lahan seluas itu, total produksi tembakau dalam setahun mencapai 198.295 ton.

Produksi Rokok Tertekan

Mayoritas produksi tembakau petani diserap oleh pabrik rokok. Tahun 2017, seluruh pabrikan rokok membutuhkan tembakau 332 ribu ton. Impor tembakau dilakukan untuk menutup kekurangan itu. Indonesia sulit untuk meningkatkan produksi karena lahan tembakau membutuhkan topografi khusus.

John Mosman, Direktur PT Putra Patria Adikarsa mengakui, aturan yang ditetapkan pemerintah berdampak pada industri rokok. Mosman memimpin sebuah perusahaan di Kulonprogo, Yogyakarta, yang memproduksi rokok bagi Sampoerna, perusahaan milik Phillip Morris International. Sampoerna sendiri sejak 1994 mengembangkan skema Mitra Produksi Sigaret (MPS). Dalam skema ini, hingga sekarang ada 38 pabrik rokok di Jawa yang berproduksi untuk merk-merk di bawah Sampoerna.

“Memang ada pengaruh. Dari awal pembukaan pada 2004 ada 1.500 karyawan, sekarang berkisar antara 800 sampai 900 orang saja. Sebagian memang ada pengaruh dari pengaturan kawasan merokok. Yang kedua, mungkin pengaruh cara kerja. Dulu lambat, sekarang mereka sudah tambah kecepatan, produksi per jamnya jauh meningkat sehingga tidak butuh karyawan sebanyak dulu,” ujar Mosman.

Pekerja Mitra Produksi Sigaret (MPS) di Yogyakarta. (foto: VOA/Nurhadi)
Pekerja Mitra Produksi Sigaret (MPS) di Yogyakarta. (foto: VOA/Nurhadi)

Pabrik-pabrik dalam skema MPS memproduksi rokok kretek menggunakan tangan alias tanpa mesin. Bisnis padat karya ini banyak membantu kabupaten-kabupaten tertentu yang memiliki keterbatasan sumber daya alam, untuk membuka lapangan pekerjaan. Dari 38 MPS yang sudah ada, rata-rata pada awalnya mampu menampung sekitar 1.500 karyawan di satu lokasi.

Mosman mencatat, perusahaan yang dipimpinnya menurunkan jumlah produksi sekitar 10-20 persen. Angka pastinya berubah-ubah sesuai pesanan yang diberikan oleh Sampoerna. “Secara umum, sebagai pengelola tenaga kerja di sini yang mengerjakan rokok, tentu aturan-aturan itu ada pengaruhnya. Khawatir itu wajar,” tambah Mosman.

Berharap Cukai Tak Naik

Dari sisi cukai, industri rokok cukup lega setelah akhir tahun lalu pemerintah memastikan tidak akan menaikkannya pada 2019 ini. Sebelumnya, rata-rata setiap tahun pemerintah menaikkan angka cukai sekitar 10 persen. Keputusan tersebut didasarkan keyakinan, bahwa kenaikan cukai akan berdampak negatif bagi industri ini.

Namun, dalam sebuah diskusi awal Maret 2019 lalu, Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, sempat mewacanakan kenaikan cukai rokok. Hasbullah Thabrany, anggota TKN dalam diskusi itu menyatakan, Jokowi-Ma’ruf akan menaikkan cukai rokok untuk menurunkan angka perokok Indonesia. Selain itu, cukai rokok di Indonesia adalah salah satu yang paling rendah di dunia. Singapura mematok cukai 90 persen dan Thailand 84 persen. Menurut Hasbullah, target Jokowi ke depan cukai rokok di atas 57 persen.

Mayoritas petani mengeringkan rajangan tembakau di bawah sinar matahari. (foto dok: APTI)
Mayoritas petani mengeringkan rajangan tembakau di bawah sinar matahari. (foto dok: APTI)

Cukai adalah salah satu beban berat bagi industri rokok di Indonesia. Kukuh Kristiyanto, dari Sampoerna Retail Community mengatakan, di Indonesia cukai merupakan sumber dana segar bagi pemerintah. Di sisi lain, bagi pelaku industri, cukai berdampak melebar hingga ke soal tenaga kerja. “Perhitungan yang ada, dari setiap kenaikan cukai sebesar 10 persen, maka akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja di perusahaan rokok sekitar 3.000 orang,” kata Kukuh.

Jika benar pemerintah tidak akan menaikkan cukai tahun ini, kata Kukuh, itu merupakan berita yang menggembirakan bagi pelaku industri. “Kita lega, rileks serta terimakasih. Tapi kuatir juga, jangan-jangan tahun depan naik dua kali lipat,” tambahnya sambil tertawa.

APTI sendiri mengklaim, setidaknya ada 6,1 juta orang memperoleh manfaat ekonomi langsung dari industri rokok. Mereka terdiri dari 2 juta petani tembakau, 2 juta peritel rokok, 1,5 juta petani cengkeh dan 600 ribu pekerja industri tembakau. Pada 2017 lalu, pemerintah menangguk Rp 147 triliun dari cukai rokok. (ns/uh)
Sumber : VOA Indonesia