endek

Sosok Muhammad Rido Firdaus bisa berbangga karena hasil desain motif kain endek atau kain ikat tradisional Bali mampu menyabet juara dalam “Lomba Cipta Kreatif”.

Remaja yang kini duduk di bangku kelas X SMAN 3 Denpasar ini mengaku ikut perlombaan untuk mendesain motif endek adalah pertama kali.

Ia tidak menyangka kalau desainnya terpilih menjadi juara “Lomba Cipta Karya Kreatif” dalam kategori “Cipta Desain Motif Endek” yang diadakan Pemkot Denpasar belum lama ini.

Rido Firdaus menuturkan bahwa desain yang dibuat ini adalah karyanya yang pertama dalam mendesain motif endek. Untuk menyelesaikan, dia hanya membutuhkan waktu satu pekan.

Awalnya dia sama sekali tidak mengerti apa itu motif endek. Karena rasa penasaran dan ingin tahunya, dia pun mulai berselancar di dunia internet. Mulai mem-“browsing” apa itu kain endek, bagaimana motifnya dan cara pembuatannya, hingga akhirnya dirinya mempunyai rasa ketertarikan terhadap kain endek karena menurutnya endek adalah kain yang memiliki motif yang bagus dan berbeda dengan kain lainnya.

Berawal dari itulah dia memutuskan untuk mengikuti lomba dan mencoba untuk mengkreasikan idenya dalam sebuah desain.

“Desain motif endek ini saya beri judul ‘Future of Culture’ yang awalnya berjudul ‘Barong’,” tutur remaja kelahiran Jawa Timur itu.

Bahkan, dia tidak mengira. Setiap orang yang melihat desainnya tentu akan bertanya-tanya, mengapa desain “Barong” tidak terlihat dengan jelas? Untuk pertanyaan ini, dia memiliki jawaban yang jelas, yaitu karena “Barong” dalam endek ini sudah dimodifikasi menjadi gambaran Barong berbeda. Namun, jika dilihat dengan teliti, motif barong yang ada di desainnya pasti akan diketahui di mana letaknya.

Corak Barong dalam desain ini tidak terlihat karena bentuknya dibuat mengkotak. Alasannya, karena Firdaus ingin menceritakan tentang Barong yang berwujud robot sehingga lekuk-lekuk bentuknya pun berubah jadi mengotak.

Menurut dia, motif ini memiliki makna yang berhubungan dengan dampak negatif dari globalisasi.

“Dampak negatif itu terlihat dengan mulai pudarnya kebudayaan dari suatu daerah, khususnya Bali,” ucap pria kelahiran 19 Januari 1999 ini.

Rido Firdaus lebih lanjut mengatakan bahwa perkembangan teknologi yang pesat mulai menggantikan tugas manusia dan menjadikannya lebih ringan.

“Bayangkan saja jika Barong asli sudah tidak ada dan digantikan dengan Barong robot yang tidak memerlukan tenaga manusia. Tentunya tidak akan menarik jika yang kita tonton lempengan besi menari. Somoga saja ini tidak akan penah terjadi,” ujarnya.

Dari inspirasi tersebutlah membuatnya mengubah judul desain endek yang awalnya berjudul “Barong” menjadi “Future of Culture”. Satu hal yang dia anggap unik dalam desain ciptaannya ini adalah dibagian penggabungan, saat motif barong tersebut digabungkan terbentuklah sebuah motif baru yaitu motif kepala garuda.

Desain endek ciptaannya ini Firdaus berharap siapa pun yang mengenakannya agar selalu ingat pentingnya menjaga dan melestarikan budaya agar terhindar dari kepunahan. Karena budaya merupakan suatu aspek penting yang memberikan ciri khas pada suatu daerah.

Kain Sarat Cerita Motif yang dituangkan kain endek atau kain tenim khas Pulau Dewata bukan hanya estetika keindahan semata, melainkan juga mempunyai pesan yang bercerita tentang budaya.

“Endek dalam motif tersebut bukan hanya sekadar membuat motif, melainkan kalau orang Bali, itu dia tahu, ada patra. Ini patranya seperti apa? Jadi, desainnya seperti apa?” kata Wali Kota Denpasar Ida Bagsu Rai Dharmawijaya Mantra.

Ia mengatakan bahwa motif atau patra itu merupakan sebuah cara pandang sehingga berbagai patra dituangkan pengerajin endek untuk mengapresiasi seniman sehingga menambah khazanah dan menciptakan sebuah karakter. Dengan kondisi itu, sangat disayangkan jika endek ini tidak ditingkatkan penggunaannya.

Sekitar 10 tahun lalu, kata dia, kain endek hampir mati suri di Bali, khususnya di Kota Denpasar karena masih minimnya jumlah pengrajin dan masih relatif susahnya menjual endek.

“Sebenarnya, endek di Bali juga ada. Akan tetapi, kalau kami bercerita di Denpasar, dari lima industri endek yang kami miliki, kalau kita lihat setiap tahunnya, itu menurun,” katanya.

Hal tersebut terjadi karena waktu itu mungkin pola pikir warga Bali, khususnya Denpasar, memandang endek hanya sekadar untuk artistik atau seni semata.

“Mungkin kita artikan endek itu hanya untuk seni saja, dan tidak dijadikan ekonomi kreatif. Untuk itu, kita lihat kenapa endek itu harus kita kembangkan dan perluas pemasarannya,” ujar mantan Ketua DPD Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bali.

Jika dikaji tentang sejarah kain endek, kata Rai Mantra, kain tenun khas Bali atau Denpasar ini sudah ada sejak 400 tahun silam. Penggunaan endek awalnya hanya digunakan untuk orang-orang keraton.

“Hal ini perlu kita lihat bahwa perjalanannya sama juga dengan batik. Jadi, ini diperkenalkan atau digunakan di keraton-keraton.” Untuk lebih memperkenalkan endek kepada masyarakat, kata Rai Mantra, Pemerintah Kota Denpasar melakukan berbagai upaya, salah satunya merekrut desainer ternama untuk menjadikan endek sekelas batik. AN-MB