teluk benoa 1

Denpasar (Metrobali.com)-

Revitalisasi Teluk Benoa Bali mendapat perhatian serius. Pada seminar yang menghadirkan para pakar kampus ternama yakni Prof Dr. Ir, Dietriech Geoffrey Bengen ahli pengelolaan pesisir Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr. Herman Wahyudi ahli geoteknik Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) dan Ir Dedi.Tjahjadi Abdullah Dpl HE ahli sumber daya air Institut Teknologi Bandung (ITB) itu dibedah untung rugi revitalisasi Teluk Benoa.

Ketua Panitia I Gusti Agung Eka Darmadi, mengungkapkan tujuan seminar mengambil tema “Revitalisasi Teluk Benoa dalam Kejenuhan” dimaksudkan untuk memberi persepektif kepada masyarakat atas kontroversi reklamasi yang selama ini terjadi.

“Tentunya dari persepektif akademis itu memberikan ruang terjadinya dialog, perbedaan pemikiran, dalam upaya melihat persoalan secara obyektif,” kata Eka, Selasa 9 November 2014.

Dalam pengamatan Prof Dietriech, Pulau Pudut yang kini diributkan memang telah terjadi perubahan signifikan dari sisi kondisi alamnya dibanding era tahun 1990 akhir.

Apalagi setelah adanya pembangunan Jalan Tol Bali Mandara, telah banyak mengubah habitat seperti tumbuhan lamun yang menyerap karbondikosida. Tumbuhan yang hidupnya terendam air itu, kini menghadapai ancaman jika terjadi air surut.

Demikian juga keberadaan pohon bakau atau mangrove yang semakin tergerus serta nelayan yang semakin sulit menangkap ikan meskipun ada yang memakai motode karamba.

Belum lagi dari sisi keindahan ketika air surut di sekitar jalan tol, sehingga lama kelamaan tumbuhan dan satwa lainnya semakin merana.

Ancaman lain adalah pengendapan dari sungai dan sampah yang semakin parah. Bukan saja menjadikan pendangkalan yang semakin cepat, juga ancaman terjadinya erosi atau abrasi di Pulau Pudut.

“Pendangkalan itu makin lama membuat hutan mangrove, makin sulit tumbuh, sehingga perlu upaya mengembalikan kembali fungsi lingkungan, sosial budaya Pulau Pudut. Tak kalah pentingnya mempertahankan keberadaan hutan mangrove,” tuturnya.

Kata dia, faktanya pendangkalan akibat sedimentasi dan abrasi Pulau Pudut dari luas awal sekira 8 hektar kini tinggal menjadi 1.055 hektar.

Pendangkalan Teluk Benoa itu berasal dari sungai atau atas dan bukan dari laut. Bukan hanya sedimen, masalah lain muncul seperti sampah yang jumlahnya cukup banyak.

“Sampah-sampah itu mempercepat pendangkalan dan berkontribusi mempercepat kematian mangrove, itu sudah pasti, revitalasasi itu mengembalikan sungai,sampah diangkat, supaya air masuk tetap mengalir,” terang Prof Dietriech.

Teluk Benoa bukanlah danau melainkan eustaria yang langsung berhubungan dengan alam laut. “Ini bukan kayak gelas, bukan kolam, saya masukin sesuatu kemudian airnya naik,” tambah dia.

Karenanya, revitalisasi Teluk Benoa menjadi alternatif yang harus dilakukan secara terpadu memperhatikan aspek sosial budaya, lingkungan, ekonomi, kelembagaan dan kekuatan Teluk Benoa lainnya.

Revitalisasi, lanjutnya, memberikan manfaat ekologi berupa pemulihan alur, pelimpasan air laut dan penambahan areal terbuka hijau. Bagi masyarakat dan pemerintah daerah akan memperoleh manfaat sosial budaya serta manfaat ekonomi.

Dia memberi batasan misalnya, revitalisasi jangan sampai mematikan muara sungai karena merupakan potensi pengembangan mangrove.

Dia juga memberi syarat ketat untuk revitalisasi pemanfaatan Teluk Benoa seluas 1.832 hekatre untuk kepentingan pariwisata, pemukiman nelayan, pelabuhan, karamba, tambak hingga pembesaran kepiting.

“Untuk luasan lahan yang optimal dimanfaatkan sekira 700 hektar yang direvitalisasi 40 persen untuk area terbuka hijau dan 60 persen untuk area pemanfaatan,” imbuhnya.

Untuk membuat ruang terbuka hijau, ada yang dikeruk dan ada yang dibuat lahan. Hasil kerukan itu bisa dimanfaatkan dalam bentuk menyidiakan lahan dalam pulau-pulau.

Pulau-pulau itu memiliki dua manfaat pertama secara lingkungan bisa menciptakan tumbuhnya lamun dan mangrorove. Masyarakat bisa memanfatkan untuk kegiatan sosial budaya dan ekonomi.

“Revitalisasi adalah memulihkan di dalamnya ada dua pulau. Pulau yang direklamsi tidak hanya sosial budaya tetapi bisa menjadi penyangga untuk memitigasi jika terjadi bencana,” sambungnya.

Jangan lupa di reklamasi Teluk Benoa yang dilakukan itu ada Pulau Pudut yang memiliki nilai tinggi yang kini telah mengalami abrasi.

Dengan demikian, dengan adanya revitalisasi dimaksudkan untuk mengembalikan Pulau Pudut menjadi Pulau Budaya tetapi juga yang secara lingkungan meskipun pulau kecil punya keunikan yang itu harus dikembalikan.

Pendek kata, revitalisasi Teluk Benoa bisa dilakukan, untuk menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaat ekologi dan sosial ekonomi.

Dalam revitalisasi itu akan ada perluasan mangrove dan tentunya lapangan kerja dan akanb mengembalikan seperti sedia kala dan memiliki nilai.

Sementara dalam pandangan Prof Herman, rencana penimbunan reklamasi Teluk Benoa, tidak akan berdampak seperti ancaman banjir, sedimentasi maupun erosi.

“Salah satu pulau yang direklamasi direncanakan dalam bentuk timbunan reklamasi yang cukup tinggi dan fasilitas penunjang lainnya sebagai aera tempat pelarian masyarakat dari gelombang tsunami,” tandasnya.

Keberadaan mangrove juga dalam jarak aman karena berjarak 100 meter dari zona mangrove dengan pulau yang direklamasi.

Ancaman pendangkalan akibat sedimentasi lumpur dan sampah yang bisa mematikan habitat mangrove, juga harus direvitalisasi. Jika tidak, akan terus meningkat ketinggiannya dan kawasan mangfrove bervegetasi di sekitarnya akan terancam.

“Hal itu disebabkan, air yang mengalir masuk untuk mengghidupkan mangrove akan tertahan oleh ketebalan dan ketinggian dari endapan lumpur yang akan berdampak ke muara sungai dan menyebab banjir,” sambung Prof Dei Tjahjadi.

Setelah direvitalisasi dan direkalmasi sedimentasi lumpur harus tetap dipelihara dan di tiap sungai akan dibangun saringan sampah.

“Setelah direvitalisasi dan reklamasi makan kondisi yang ingin diciptakan di Teluk Benoa saat surut, komunitas nelayan dan water sport tetap bisa melakukan aktivitasnya selama 24 jam sehari,” tandas Dedi. JAK-MB