Ngurah Karyadi, saat menyerahkan buku saku Empat Pilar Bangsa kepada Jero Bendesa Kelan, Made Sugitha, Senin 277 disaksikan Nyoman Dhamantra

Ngurah Karyadi, saat menyerahkan buku saku Empat Pilar Bangsa kepada Jero Bendesa Kelan, Made Sugitha, Senin (27/7) disaksikan Nyoman Dhamantra

Mangupura (Metrobali.com)-

Sesungguhnya, negara dan bangsa merupakan dua konsep berbeda. Antara negara dan bangsa terdapat hubungan saling terkait dan saling melengkapi, dalam dinamika sosial masyarakat kita. Demikian catatan Made Sugitha, Jero Bendesa Kelan dan sekaligus Anggota Fraksi PDI-P DPRD Badung, saat membuka acara Sosialisasi Empat Pilar dan Reses Anggota DPR RI, Nyoman Dhamantra, Senin 27 Juli 2014, di Bale Banjar Kelan, Tuban, Badung.

Dalam kesempatan tersebut, Ngurah Karyadi, selaku pembicara menyebutkan bahwa, sebagai ”konsepsi politik”, negara adalah sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka, dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik, yang tersebar dalam berbagai partai dan organisasi politik, dengan kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan.

Sementara, sebagai konsepsi budaya, bangsa Indonesia, berkaitan dengan suatu komunitas bersama yang dibayangkan, atau Imagine Comunity seperti diungkap Benedick Anderson,  dalam satu wadah: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Satu kesatuan seperti dirumuskan Sutasoma dalam Negara Kertagama, yang hendak di wujudkan Majapahit oleh Gajah Mada melalui sumpah Palapa. Gagasan yang menjadi semangat pembebasan dari jajahan (Belanda), oleh para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan lain-lainnya. Hal tersebut dituangkan dalam: Pancasila, UUD 1945,  NKRI, dan  Bhineka Tunggal Ika, atau biasa di sebut Empat Pilar Bangsa.

Persoalannya, lanjut Karyadi, mengapa Empat Pilar Bangsa, sebagai dasar,  falsafah dan prinsip kebangsaan, kenegaraan, serta kewarganegaraan perlu disosialisasi dan diperkuat? Hal ini terkait keprihatinan, mengingat nilai-nilai tersebut kian hari kian terkikis, dan menjauh dari tujuan kemerdekaan NKRI. Bahkan justru semakin menjauh lagi, setelah dikobarkannya Reformasi, Mei 1998. Memang, sejumlah undang-undang (regulasi) seperti UU Otonomi Daerah (UU No. 22/1999), dan Perimbangan Keuangan (UU 23/1999), sampai UU Desa (UU No. 6/2014), serta berbagai kebijakan pro-rakyat tidak serta merta memperbaiki keadaan.

“Sepertinya, segenap regulasi dan kebijakan tersebut hanya melepas kepala, namun ekor tetap dipegang, serta memindahkan persoalan pusat ke daerah. Terbukti dengan berbagai kasus korupsi yang kini membelit para gubernur, bupati dan bahkan kepala desa, dan sekaligus membuat masyarakat tidak mandiri dan ketergantungan,” tandas Ngurah Karyadi.

Lebih jauh, Nyoman Dhamantra menyebutkan,  sejumlah persoalan membelit negara dan bangsa Indonesia. Diantara yang terpenting sebagai berikut: Pertama, problem politik. Hal ini terkait dengan keberlangsungan manajemen negara pasca kolonial yang belum mampu menegakkan kedaulatan rakyat dan hukum, dalam memberikan keamanan, ketertiban dan keadilan bagi warganya. Menurut Dhamantra, orang lebih nyaman berlindung di balik “kelompok eksklusif” (tribalisme), seperti mengedepan dalam berbagai regulasi (UU, Perda dan sejenisnya) syari’ah, seperti UU Pornografi, UU Produk Halal dan sejenisnya.

Kedua, persoalan ekonomi, yang bersumber dari manajemen negara yang salah urus, dengan menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumber daya di rumah tangga kebangsaan. “Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaannya sendiri, individu akan segera berpaling ke sumber-sumber lokalitas sebagai upaya menemukan rasa aman dan adil,” katanya, mengingatkan.

Ketiga, kita belum siap menerima keragaman. Padahal, keragaman bangsa bisa menjadi kekayaan jika negara mampu menjalankan fungsinya sebagai—meminjam Mohammad Hatta—”panitia kesejahteraan rakyat,” bukan sebaliknya mendukung investor.
“Saya bersama sejumlah Bendesa, LSM dan kelompok warga, sejak tahun 2012  membentuk Forum Perjuangan Hak Bali(FPHB). FPHB menjadi panitia bersama dalam merintis jalan Indonesia baru dari Bali,  mengatasi keterpinggiran orang Bali, serta tidak menempatkan pendatang sebagai beban. FPHB mendesakkan Revisi UU Pembentukan Propinsi No. 64/1958, dan UU 23/1999 Jo UU No. 33/2004 tentang Dana Bagi Hasil, atau Perimbangan Keuangan, yang bersumber dari sumber daya budaya, mengingat pariwisat Bali bersumber dari budaya, yang sampai saat ini disubsidi rakyat, “kata Dhamantra, mengingatkan.

Keempat, kita terlalu fokus pada pembangunan dari, oleh dan untuk pusat. Jakarta sebagai ibu kota negara terlalu dijadikan pusat segalanya. Karena itu, tingkat angkatan kerja, kejahatan, dan frustrasi selalu meningkat dari tahun ke tahun. Jakarta jadi magnet yang mencuri kelebihan daerah, dengan segala regulasi dan kebijakanya.

“Semua potensi Bali seakan dipaksa bekerja untuk Jakarta, termasuk apa yang terjadi di Kelan, Tuban, seperti disampaikan penanya. Bandara Ngurah Rai misalnya. didesain dan diadministrasikan dari Jakarta, sementara warga dinistakan dan dipinggirkan. Di samping itu, kasus monumental seperti Bakrie Nirwana Resort (BNR) di masa Orde Baru, atau kini dengan rencana reklamasi teluk Benoa (TWBI), merupakan contoh nyata fenomena dominasi Jakarta. Melalui revisi UU Provinsi diharapkan bisa menghentikan semua itu, dan sekaligus dapat melindungi kearifan budaya dan produk rakyat,” jelas Nyoman Dhamantra. JAN-MB