Nyepi4

RIBUAN simpatisan baik yang fanatik ataupun bayaran dari belasan partai politik peserta pemilihan umum (pemilu) legistatif kini sedang menikmati relasi kuasa atas egoisme keakuannya dalam kampanye pesta demokrasi 2014. Bahkan, para juru kampanye (jurkam) dari ratusan calon legistatif seakan tak mau kalah berpacu dengan waktu berebut ruang untuk mengobral janji idiologis dari visi misinya. Berbekal kegaduan informasi dalam aneka rupa seni visual dan bahasa simbol sebagai magnet andalannya untuk menyentuh empati publik, terutama pemilih potensial atau konstituennya. Demi upaya mendulang suara kemenangan bagi kursi kekuasaan saat pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS), tepatnya pada 9 April 2014.

Secara teoritis akademis ilmiah proses pemilihan umum (pemilu) idealnya memang dikonstruksi untuk membangun kehidupan demokrasi sebagai upaya bersama menentukan kebijakan kepemimpinan bangsa dan negara terhadap penguatan pelayanan publik dan pemerintahan yang tidak korup, bersih dan jujur. Demi kepentingan kemaslahatan publik yang lebih baik, menyejahterakan, dan berkeadilan. Sayangnya, dalam realitas nyatanya justru acapkali dicap masih sangat jauh dari harapan publik. Bahkan cenderung berakibat sebaliknya, senantiasa hanya memihak dan memperjuangkan kepentingan personal maupun kelompok atau golongan dalam ekologi politiknya semata.

Secara gamblang dapat disimak dari terungkapnya berbagai kasus korupsi dan suap di berbagai kelembagaan negara dan pemerintahan selama ini. Hal ini tentunya menunjukkan bahwa kolaborasi dari persekongkolan jahat antara birokrasi dan politisi sudah menjelma menjadi kanker ganas di tubuh demokrasi negeri ini. Bahkan, kapitalisme media telah mengubah kehidupan berdemokrasi dengan hingar-bingar kegadungan informasi yang semakin bergejolak. Hadir sebagai pisau bermata dua, yang secara bersamaan acapkali tanpa ragu dalam kepastian berupaya menghadirkan kesejukan sekaligus kekerasan visual yang hanya dibangun atas dasar pencitraan publik.

Menyikapi fenomena itu, meskipun dalam pandangan publik sejatinya pemilihan umum selalu dianggap sebagai sebuah agenda lima tahunan yang acapkali hadir berlawanan dengan visi demokratisasi pemerintahan yang tidak korup, akan tetapi seluruh bagian dari prosesnya mutlak harus tetap dilaksanakan sesuai agendanya, sebagai salah satu alternatif terbaik dalam mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih bermartabat dan beradab secara mendunia.

Menariknya, pesta demokrasi dalam tahun politik ini berada di tengah gejolak perayaan ritual kehidupan spiritual ajaran Hindu terkait hari suci Nyepi, yang diawali prosesi melasti atau melis atau mekiyis serta diselingi tradisi modernitas berupa arak-arakan pawai atau parade ogoh-ogoh saat malam pengerupukan, sehari menjelang brata penyepian, 31 Maret 2014. Lantas, seperti apa kita harus memaknai filsafat ajaran Hindu dari hari suci Nyepi tersebut di antara hingar-bingar pesta demokrasi dalam tahun politik saat ini?

Pemilu yang Metaksu

Dengan kekuatan tatanan nilai adiluhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal semestinya perilaku kehidupan saat ini senantiasa dituntut harus mampu menyelaraskan ruang dan waktu secara beradab dan bermartabat. Artinya, kepemimpinan bangsa dalam lembaga birokrasi maupun politik pemerintahan harus dikonstruksi atas dasar kepentingan demokrasi yang menyejahterakan dan berkeadilan. Dengan kata lain, mitos egoisme keakuan dari kepemimpinan bangsa mutlak harus dihilangkan dalam kehidupan demokrasi di negeri ini.

Integritas diri kepemimpinan bangsa dalam globalisasi kekinian harus dapat membangun kehidupan kultural, Ashadi Sinegar (2003), yakni ruang kebebasan dan netralitas untuk kemandirian, basis rasionalitas dan kecerdasan untuk mengembangkan kultur toleransi dan antikekerasan dalam interaksi sosial, serta orientasi derajat kemanusiaan untuk memaknai kehidupan yang dimuliakan dan eksistensi ketajaman rohani dan spiritual berbasis budaya kreatif dan inovatif.

Beragam praktik kecurangan dan ketidaksungguhan dalam penguatan pelayanan publik yang prima dan penyimpangan anggaran yang telah menjadi tradisi di berbagai instansi birokrasi pemerintahan baik di pusat maupun daerah harus mendapatkan perlawanan serius dan tersendiri dari khalayak publik, terutama pemangku kekuasaan dalam media massa baik cetak maupun elektronik, serta media sosial lainnya. Demi memperjuangkan agenda dan membela kepentingan demokrasi untuk membangun kemaslahatan publik yang menyejahterakan dan berkeadilan.

Dalam konteks ini, segala wujud zona kenyamanan atas ketidakteraturan dan kesemrawutan infrastruktur, monopoli aksebilitas publik serta ketimpangan aneka ketentuan dan aturan hukum yang tidak mencerminkan keadilan secara kecerdasan intelektual harus disulap ke arah perbaikan yang positif secara konkrit melalui gerakan perubahan yang komprehensif dari kepemimpinan bangsa dan politik demokrasi global kekinian. Demi upaya menjaga kesucian dari kekuatan ruh dan taksu kebudayaan bangsa yang mendunia.

Kepemimpinan bangsa dituntut harus menciptakan kesadaran dan tanggungjawab yang mampu membangun harmonisasi diri dengan Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, serta membangun harmonisasi dengan sesamanya, dan membangun harmonisasi dengan alam lingkungan sekitarnya. Sehingga, tercapailah penyucian terhadap bhuwana alit (mirocosmos) dan bhuwana agung (macrocosmos) yang memberkati kemuliaan dalam kehidupan berdemokrasi secara masif dan sistemik serta berkelanjutan.

Untuk itulah, dalam coblosan nanti setiap warga pemegang hak pilih diwajibkan agar menyalurkan aspirasi politiknya secara cerdas demi pemilihan umum berkualitas. Meskipun, dalam realitasnya hak pilih tersebut hanya sebatas pemilu saja, mengingat sejatinya praktik kekuasaan sepenuhnya telah menjadi kehendak dari para elite penguasa pemangku kebijakan sebagai pemenang kursi demokrasi.

Menyikapi dinamika itulah, perayaan hari suci Nyepi, tahun baru saka 1936 sebagai upaya menciptakan kedamaian, ketenangan, kesejukan, dan kejernihan dalam pemikiran modern yang berwajah penghematan energi, pengurangan emisi, dan pemanasan global dalam tahun politik ini dapat menjadi momen kontemplasi kepemimpinan bangsa dengan kekuasaan bersahaja dan bijaksana di tengah gejolak kekisruhan informasi politik demokrasi kekinian.

Intinya, perayaan hari suci Nyepi harus dijadikan titik nol (awal) menuju perubahan yang lebih baik. Artinya setiap warga tidak boleh memilih kandidat pemimpin atau kandidat wakil rakyat hanya sekadar atas dasar popularitas atau alasan-alasan kedekatan suku, agama, ormas, atau kekerabatan, melainkan harus mampu menanggalkan preferensi pribadi, perasaan suka atau tidak suka, dan harus sungguh-sungguh memilih atas dasar kualitas, kapasitas, kapabilitas, serta integritas terbaik dan kecerdasan dari kesadaran intelektualnya.

Sementara itu, para kandidat pemimpin atau wakil rakyat dituntut harus mampu menunjukkan integritas terbaiknya, dan sungguh-sungguh berupaya senantiasa tampil terdepan dan peduli dalam memperjuangkan aspirasi warga demi membela kepentingan kemaslahatan publik untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih baik. Guna menghapus stigma disfungsi pelayanan publik seperti selama ini, yang cenderung hanya melayani kepentingan partikular kelas elite kekuasaan mampu kepentingan personal kaum birokrat semata.

Dengan demikian, pemilihan umum sudah semestinya harus dapat mengonstruksi sebuah kepribadian konkrit dengan kepekaan sosial yang tinggi, dan keteguhan jiwa untuk menghormati dan menghargai kebhinekaan realitas publik atas tradisi kehidupan kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal dalam kepemimpinan bangsa. Komitmen ini tentunya harus mendapatkan pengawasan bersama dari berbagai kalangan masyarakat agar dapat terwujud sesuai harapan publik secara konkrit dan berkesinambungan. Guna mencegah kongkalikong antara kandidat, panitia, pengawas dan para saksi pemilu, supaya kesuguhan warga dalam menyalurkan hak pilih dari aspirasi politiknya tidak menjadi sia-sia.

Sehingga, upaya kerja nyata komisi pemilihan umum (KPU) sebagai pengawal utama dari proses berdemokrasi mampu menciptakan pemilihan umum yang metaksu, memuliakan nilai kemanusiaan dan toleransi kebhinekaan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai puncak pergulatan dari peradaban kepemimpinan bangsa yang bersahaja dan bijaksana secara global, mendunia. Ini artinya, jika semua pihak dengan sukarela menyadari hak dan kewajiban atau swadarma-nya secara bertanggungjawab niscaya segala wujud keharmonisan dalam kehidupan ini akan dapat terwujud atau tercapai sesuai harapan publik.

Sinergi Tradisi

Proses demokrasi senantiasa diawali dengan pesta kampanye dan diakhiri ritual coblosan kartu suara kemenangan dalam pemilihan umum. Begitu pula, perayaan hari suci Nyepi, diawali pesta melasti/melis atau mekiyis yang diselingi arak-arakan ogoh-ogoh, dan diakhiri ritual brata penyepian atau silent day. Segala proses itu baik pesta demokrasi (pemilu) maupun hari suci Nyepi tentunya merupakan wujud nyata sebuah sinergi tradisi dari persiapan untuk menciptakan kehidupan yang damai dan harmonis secara rohani dan spiritual dalam kepemimpinan bangsa demi perjuangan dan membela kepentingan kemaslahatan publik yang lebih baik, menyejahterakan dan berkeadilan.

Dalam konteks inilah, semua pihak dituntut harus mampu menguasai diri atau mengendalikan sad ripu (enam musuh) dalam dirinya mulai dari nafsu, lobha, marah, mabuk, sombong, dengki, dan iri hati, supaya mampu mencapai kesucian hidup serta melaksanakan dharma untuk menyeimbangkan adharma sebagai benteng jati diri dan humanisme kehidupan berdemokrasi. Artinya, perlawanan publik terhadap proses demokrasi kepemimpinan bangsa dalam proses pemilihan umum 2014 saat ini harus mampu memotong atau mengikis mentalitas mendasar dari kuasa birokrasi pemerintahan yang tidak efektif dan cenderung feodalistik serta senantiasa melakukan sabotase terhadap langkah kritis dan bernas proses reformasi demokrasi.

Upaya konkrit terhadap konstruksi kepemimpinan bangsa ke depan merupakan langkah strategis dalam mengimplimentasikan beragam alternatif dari solusi kebijakan yang selama ini telah dicap publik menghambat terwujudnya pemerintahan yang tidak korup, bersih dan jujur. Demi mencapai tujuan bersama dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik, menyejahterakan dan berkeadilan secara lebih beradab dan bermartabat. Sehingga, kehidupan demokrasi tercipta menjadi tradisi yang saling bersinergi dalam menciptakan kepribadian yang berkarakter dan berdaya saing global sesuai tatanan nilai adiluhung kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal.

Sebagai akhir kata, saya mengucapkan selamat merayakan hari suci Nyepi, dan selamat mencoblos pilihan terbaiknya. Semoga pikiran yang jernih datang dari segala arah dan semua mahluk berbahagia. WB-MB