Denpasar  (Metrobali.com)-

Gempuran budaya asing saat ini, yang sangat menurunkan minat generasi muda untuk melestarikan budaya Bali. Hal tersebut terlihat dari rendahnya minat mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan Utsawa Dharma Gita. Hal ini yang mendasari PT. Dirgahayu Valuta menggelar Utsawa Sekar Alit dan Rembug Dharmagita, pada perayaan HUT ke 28, Senin, 24/9, di Pesraman Dirgahayu Swari. Acara ini diselenggarakan sekaligus sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

Gede Ngurah Ambara Putra selaku direktur PT. Dirgahayu, dan sekaligus pembina Pesraman dalam kata sambutanya menyatakan, sebagai destinasi wisata, Bali harus melakukan revitalisasi budaya, dengan melibatkan segenap komponen. Salah satunya, dengan melakukan lomba nyanyian dharma, atau utsawa dengan melibatkan peserta anak-anak dan remaja, kemudian disertai dengan pemaknaan, atau rembug budaya.
“Kita sadari bersama bahwa, minat generasi muda sangat menurun. Hal ini mengingat, kegiatan yang digelar kurang menarik dan cendrung hanya melibatkan generasi sepuh. Untuk itu perlu kemasan baru, sehingga memancing minat generasi muda”, jelasnya.

Utsawa Dharma Gita dilaksanakan dengan katagori anak, remaja dan dewasa (laki/perempuan). Setelah serah terima hadiah pemenang Utsawa, dilanjutkan dengan Rembug Dhamagita, yang diselingi penampilan Sonya, dengan lagu pop Bali. Made Suantina, yang mengantarkan acara rembuk menyatakan, keprihatinan atas kian terpinggirnya kidung, atau kekawin, akibat gempuran budaya pop dan asing lainya.

Menanggapi hal tersebut, Prof. Dr. Made Titib menyebutkan, berdasarkan kitab suci Veda, Utsawa Dharma Gita pada hakekatnya adalah; Phalasruti, Phala- sloka, dan Phalakwaya. Phalasruti mengandung makna pahala dari pembacaan kibat-kitab sruti atau wahyu yang pada umumnya disebut mantra yang berasal dari Hyang Widhi.

“Sloka adalah pahala dari pembacaan kitab-kitab susastra Hindu seperti kitab Itihasa, yakni Ramayana dan Mahabrata. Phalawakya adalah tradisi pembacaan karya sastra Jawa Kuno berbentuk prosa atau parva. Utsawa berarti festival atau lomba. Sedangkan Dharma Gita adalah nyanyian suci keagamaan. Dengan demikian, Utsawa Dharma Gita adalah festival atau lomba nyanyian suci keagamaan Hindu”, tandasnya

Lebih lanjut, Prof. Suarka dari Fakultas Sastra Unud menambahkan, Utsawa Dharma Gita. sebagai kidung suci keagamaan Hindu telah lama berkembang di masyarakat melalui berbagai pesantian,  baik yang ada di Bali maupun luar Bali. Sebelum menasional, Utsawa Dharma Gita dilaksanakan Pemda Bali dalam bentuk lomba kekawin dan kidung. “Namun kini animonya kian menurun, sehingga perlu transformasi baik dalam konsep (ajewere), maupun tampilan, agar mudah di apresiasi generasi muda”, katanya menjelaskan.

Penggunaan Dharma Gita dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan sangat membantu menciptakan suasana hening, hikmat/kusuk yang dipancari getaran kesucian dengan jenis yadnya yang dilaksanakan, sehingga kegiatan tersebut dapat berjalan hening, hikmat/kusuk. Untuk melestarikan dan mengembangkan Dharma Gita dalam pelaksanaan kegiatan di masyarakat, Utsawa Dharma Gita diupayakan berlangsung setiap tiga tahun sekali. “Utsawa Dharma Gita tingkat nasional telah berlangsung delapan kali berturut-turut, Bali selalu juara. Sayangnya, apresiasi dan dukungan pemerintah daerah kian menurun, dan sangat berbeda dengan  bidang olah raga misalnya”, kata Made Sendre, dan diamini Luh Kerthi, selaku sesama pegiat Pesatian

Badan yang sehat mesti disertai dengan jiwa yang sehat. “Men sana in corpore sana, dalam arti harus ada keseimbangan. Sehingga peningkatan sradha dan bhakti sebagai landasan terbentuknya ahlak mulia. Sayangnya upaya pelestarian budaya Bali selama ini telah menjadi beban krame. Hal ini harus di perjuangkan secara bersama, melalui Revisi Undang-undang Provinsi Bali”, ajak Nyoman Dhamantra, sembari memaparkan visi, misi dan perjuangan merebut hak Bali.

Upaya memantapkan kerukunan hidup intern umat Hindu yang serasi dan harmonis, serta sudah tentu kepada sesama umat manusia. Untuk itu, Utsawa dan Rembug Dharma Gita mesti terus menerus kita lakukan. “Dilakukan dalam meningkatkan keterampilan membaca kitab suci Veda atau kidung-kidung keagamaan. Sudah tentu diikuti dengan penerapan ajaran agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari”, kata Gede Ngurah Ambara Putra, di penghujung acara. NK-MB