DALAM beberapa waktu terakhir hubungan antara publik Indonesia dan Malaysia memanas karena klaim sejumlah budaya Indonesia oleh negeri tetangga itu. Kasus yang terakhir melibatkan Tari Pendet Bali, dimana Pemerintah Indonesia menuntut penjelasan dan permintaan maaf Malaysia. Apa cukup dengan itu?
Atas fenomena tersebut, sejumlah kalangan mengungkapkan bahwa rasa nasionalisme dapat diwujudkan dalam suatu Undang-undang untuk melindungi kekayaan budaya nasional, sehingga tidak sebatas pada aksi protes dan marah-marah. Untuk itu, keterlibatan segenap komponen adat dan budaya, dalam penyusunan dan pelaksanaan UU Perlindungan Budaya menjadi suatu keharusan.
“Nasionalisme dapat kita wujudkan dalam suatu UU yang melindungi kekayaan budaya kita. Hingga saat ini kita belum memiliki UU yang mengatur tentang hal itu, serta sekaligus sebagai konsep dalam mengatasi keterpingiran rakyat (Bali)” kata Nyoman Dhamantra, dalam “Serasehan Budaya”, yang di dampingi Gede Budastra (DPRD Bali) dan Wayan Tagel (DPRD Gianyar. Acara berlangsung di Wantilan Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar,  sabtu, 5 Mei 2012. Pertemuan ini sebagai lanjutan acara Forum Penyerapan Aspirasi, di Balai Budaya Gianyar, Jum’at, 4/5.
Kita ketahui bersama, pada saat ini DPR RI tengah menyiapkan konsep dan segera akan membahas Rancangan Undang-undang Perlindungan Budaya (RUU PB). Didasari asumsi, apabila ada suatu kerangka hukum nasional yang melindungi kekayaan budaya Indonesia maka akan lebih mudah dalam memberikan perlindungan terhadap kekayaan budaya.
Lebih lanjut, Nyoman DhamantRa mengatakan hingga saat ini upaya membentuk suatu kerangka hukum nasional untuk melindungi budaya terbentur pada penentuan pihak yang berhak atau memiliki kewenangan untuk mendaftarkan suatu budaya atas namanya. “Masalah di dalam negeri, termasuk di Bali, kalau produk budaya didaftarkan maka nanti siapa yang mewakili atau didaftar atas nama kelompok mana, harus dibahas tuntas,” katanya.
Dalam pandangan Agung Asmara, ketua Majelis Madya Desa Pekraman (MMDP) Gianyar mengatakan, berbeda dengan paten dan hak kekayaan intelektual yang merupakan hak-hak individual, maka kekayaan budaya tidak selalu dapat diklaim secara individual. Sehingga, harus dipikirkan format kelembagaan dalam perlidungan kekayaan budaya Bali, dan sekaligus sebagai media dalam mengatasi keterpinggiran rakyat.
“Sesungguhnya negara-negara berkembang menginginkan ada suatu forum untuk melindungi kekayaan budaya atau pengetahuan tradisional namun belum berhasil, karena ada resistensi dari sejumlah negara besar yang mengambil keuntungan dari itu. Disini akar ketidakadilan berkembang yang harus segera diatasi, dan menjadi konsep pemberdayaan masyarakat melalui ekonomi kreatif”, kata Wayan Mupu, menambahkan.
Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa sebaran budaya adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan budaya yang tidak terhingga merupakan salah satu negara yang aktif mempromosikan budaya nasionalnya.
Sebagai dampak dari promosi dan sebaran budaya melalui pariwisata,  banyak bangsa yang mengenal dan mengagumi kebudayaan Indonesia, terlebih dengan Bali. “Tidak mungkin kita hindarkan, atau  lambat laun muncul klaim-klaim sepihak atas produk budaya Bali untuk keperluan bisnis, dan hal ini harus dihentikan”, tegas Nyoman Dhamantra.
Sehingga,  perlu adanya suatu kerangka hukum nasional untuk melindungi warisan budaya bangsa, selain upaya multilateral mendorong pengakuan terhadap kekayaan pengetahuan tradisional dan budaya, yang aktif didorong di segenap belahan negeri, khususnya di Bali. “Disini, peran kepemimpinan menjadi kunci dalam upaya perlindungan budaya, yang sekaligus mampu mensejahterakan rakyat, setidaknya di wilayahnya,” kata Nyoman Dhamantra, mengakhiri Serasehan Budaya.  SUT-MB