Sri Wigunawati
Denpasar (Metrobali.com)-

Guna memberi jaminan perlindungan bagi keberlanjutan dan terjaganya lingkungan dalam pemanfaatan Teluk Benoa, Bali kalangan aktivis mendesak perlunya dibuatkan kontrak sosial.

Menurut Ketua Forum Perempuan Bali Karya, Dewa Ayu Sri Wigunawati, pemerintah daerah di Bali mestinya konsisten dalam melakukan pengawasan atas kebijakan pemanfaatan Teluk Benoa di Kabupaten Badung.

Ditegaskan, pembangunan dewasa ini sama sekali tidak bisa mengabaikan peran perempuan yang memiliki perspektif, bagaimana semua aktivitas pembangunan termasuk di kawasan Teluk Benoa, tidak saja mensejahterakan masyarakat juga mesti menjaga keberlanjutan aspek lingkungannya.

Khusus kondisi di Teluk Benoa, dari amatannya telah terjadi perubahan mendasar dibandingkan dengan 24 tahun silam, saat upaya penghijauan mangrove di kawasan itu gencar dilakukan.

“Kondisi sekarang, saya melihat belum ada keseriusan pemerintah di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar dalam mencegah terjadinya penimbunan di permukaan teluk,” katanya belum lama ini.

Kawasan yang seharusnya air bisa mengalir itu, menjadi tempat buangan sampah dan sisa bangunan. Bahkan, akibat ulah oknum diam-diam telah menggerus luasan lahan mangrove secara perlahan.

“Saya lihat timbunan itu menjorok ke dalam sampai 150 meter dari lokasi, ini salah siapa, tanggung jawab siapa, sampai hutan mangrove yang mestinya dijaga justru tergerus,” katanya mengingatkan.

Dia mencontohkan, ketika media mengangkat pendirian hotel padahal jelas melanggar lantaran mencaplok kawasan mangrove, sempat ditutup kemudian dilanjutkan proses pembangunannya. Belum lagi, dengan pelanggaran lainnya seperti batas ketinggian. Lantas, semua itu ditimpakan kepada siapa.

“Apakah adil, kalau sekarang ada keinginan merevitalisasi yang nantinya bisa membantu upaya pemerintah dengan biaya tidak sedikit, justru tidak mendapat tanggapan positif,” tegas Sekretaris DPD Institut Lembang 9 itu.

Karenanya, dalam pandangan para aktivis perempuan di Bali, sambung Sri, siapapun nanti yang akan melakukan upaya revitalisasi Teluk Benoa, harus diingatkan untuk selalu berpijak pada itikat baik bersama.

“Kita perlu meminta mereka ada semacam kontrak sosial, yang akan memberikan pertanggungjawaban moral. Jangan sampai ada terjadi lagi seperti di Pulau Serangan ataupun kemacetan yang selama ini  menjadi persoalan serius di Bali,” tandasnya.

Harus ada jaminan bahwa revitalisasi yang dilakukan tidak sampai menimbulkan persoalan-persoalan di kemudian hari seperti itu.

Untuk itu, lanjut Sri, perlu ada kontrol sosial. Jika nanti, dilakukan penataan, maka sebagai umat HIndu yang mempercayai karma pala, tentunya apa yang telah dijanjikan dalam kontrak sosial itu, harus benar-benar dilaksanakan.

“Perlu konsistensi dan pertanggungjawaban, bahwa pembangunan destinasi pariwisata di Bali, agar benar-benar membawa kemajuan dan kemanfaatan bagi masyarakat dan daerah,” imbuhnya. JAK-MB