DM plus KometAnggota DPR RI, Nyoman Dhamantra, didampingi Anggota DPRD Tabanan, Nyoman Arnawa, alias Komet saat melakukan Reses dan  Sosialisasi Empat Pilar

Denpasar (Metrobali.com)-

Masalah Reklamasi Benoa, terkait dengan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011, menjadi sorotan Anggota Komisi VI DPR RI, Nyoman Damantra dalam Reses dan Sosialisai Empat Pilar Bangsa, dalam masa sidang ke III, Tahun 2016. Dimana menurutnya, reklamasi berpotensi menggoyahkan, atau bahkan memporak porandakan pondasi, atau Empat Pilar Bangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinekaan. Hal ini tidak boleh dibiarkan, dan perjuangan rakyat semesta atau “puputan” perlu digemakan terus menerus.

Hal tersebut disampaikan dalam “Simakrama” di Desa Sam-sam Kerambitan, Tabanan, Minggu 20 maret 2016, yang dihadiri segenap Dadia (perikatan kekeluargaan), Kepala Desa, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Dalam kesempatan tersebut  dilakukan penyerahan Buku 4 Pilar kepada perwakilan masyarakat desa, tokoh dadia dan pemuda.

Lebih jauh, Nyoman Dhamantra menduga bahwa dalih revitalisasi yang dijadikan ‘kemasan kapitalisasi’ di dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Pada peraturan perundang-undangan itu, pasal 101A huruf (d) angka (6) misalnya, tertuang bahwa kegiatan revitalisasi dapat diselenggarakan dengan cara reklamasi paling luas 700 hektar. Dari pasal tersebut nampak adanya pemahaman kontradiktif dan “nyaplir” antara revitalisasi, reklamasi dan restorasi. Sekaligus berpotensi meminggirkan, atau menggusur rakyat dari “bumi, air dan kekayaan alam yang ada didalamnya,” seperti diatur dalam pasal 33 UUD 1945.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Nyoman Dhamantra, menyebutkan bahwa revitalisasi memiliki definisi “proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali”. Pemaknaan kata “menghidupkan dan menggiatkan” merujuk pada nilai, fungsi, dan kondisi fisik masa lalu dan masa kini sebuah obyek konservasi. Secara keilmuan, ketika obyek konservasi yang dimaksud adalah Teluk Benoa, maka nilai, fungsi, dan kondisi fisiknya sebagai “Campuhan Agung”-lah yang direvitalisasi, atau direstorasi. Bukan dengan cara reklamasi, karena dalam reklamasi mengandung makna, ‘merebut kembali (reclaiming), menambah, atau merubah nilai, fungsi, dan kondisi fisiknya secara total’.

“Merujuk pada kata ‘revitalisasi’, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari perihal konservasi, yang menjadi ‘jiwa’ dari revitalisasi. Dalam melakukan konservasi terhadap suatu obyek, hal paling awal yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh obyek tersebut. Sehingga, suatu obyek yang akan memperoleh perlakuan konservasi memiliki nilai-nilai, antara lain:  emotional (emosional), cultural (budaya), dan use (manfaat), yang sudah melekat pada hak-hak rakyat tanpa membeda-bedakan asal-usul dan kekayaan,” tegas Dhamantra.

Jelasnya, kata Dhamantra, masing-masing nilai yang terkandung di dalam obyek yang akan mendapatkan perlakuan konservasi, memiliki sub-sub nilai yang satu sama lain saling terkait, tanpa menghilangkan esensi di dalam konservasi. Nilai emosional mengandung sub nilai yang terkait dengan identitas, kesinambungan, spiritual dan simbolis. Sementara nilai budaya memiliki sub nilai, meliputi nilai kelangkaan, ekologi, keindahan, teknologi dan keilmuan, serta dokumenter. Adapun nilai manfaat, sub nilainya meliputi nilai fungsi, pendidikan, sosial, politik dan etnik, serta ekonomi rakyat.

Dengan kata lain, pengejawantahan reklamasi atau revitalisasi dalam PP 51/2014, bukan dalam tingkat intervensi minimal (minimum degree of intervention), yang meliputi preservasi, restorasi, konsolidasi, rehabilitasi, reproduksi, rekonstruksi, revitalisasi, dan demolisi. Namun sebaliknya, intervensi luas, yang menggusur atau mengabaikan hak-hak masyarakat Bali, baik secara emosional, manfaat dan budaya. Sehingga harus dihentikan, karena mengancam eksistensi rakyat Benoa, dan Bali secara keseluruhan.

Menutup Simakrama, Nyoman Dhamantra mengajak segala elemen masyarakat Bali harus bersatu padu dalam perjuangan ini, sebagaimana perjuangan para pendiri bangsa di masa lalu. Perjuangan mesti dapat memperkuat empat pilar bangsa, bukan sebaliknya. Strategi yang telah ditentukan adalah skenario kondisi masa depan Bali, serta menuntut agar Bali memperoleh perlakuan/intervensi yang paling minim, dan memperoleh nilai tambah ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, serta tanpa mengurangi nilai emosional, manfaat dan budaya bagi Bali. NK-MB