Oleh : I Made Dwija Suastana

Tanggal 1 Juni 1945 merupakan tonggak lahirnya Pancasila yang sebagaimana diketahui, konsep dan rumusan awal “Pancasila” pertama kali dikemukakan oleh Ir.Soekarno sebagai dasar negara. Sejak tahun 2017, tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari libur nasional untuk memperingati hari lahirnya Pancasila. Secara ideal, Pancasila dharapkan sebagai pemersatu bangsa. Hal ini dikarenakan secara konseptual, Pancasila memiliki ‘roh’ yang menjadi perekat bangsa sampai saat ini.

Bangsa-bangsa di duniapun mengakuinya. Ini terbukti ketika pada 30 September 1960 silam di Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat terjadi peristiwa penting yang bukan saja dialami oleh Indonesia tetapi juga oleh dunia. Pada hari itu, Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno atau yang biasa akrab disapa Bung Karno berkesempatan menyampaikan gagasan di depan para pemimpin-pemimpin negara di PBB. Pidato yang berjudul To Buid The World A New (Membangun Dunia Kembali) dengan durasi sekitar 90 menit itu telah menggemparkan dunia. Dalam pidato tersebut yang paling mencengangkan adalah gagasan Presiden pertama RI tersebut untuk mencantumkan Pancasila ke dalam piagam PBB. Menurut Soekarno piagam PBB sudah ketinggalan zaman untuk memecahkan persoalan-persoalan dunia. Tanpa ragu-ragu, Soekarno menguraikan filosofi Pancasila di hadapan para pemimpin dunia yang hadir dalam sidang. Soekarno menganjurkan agar nilai-nilai dari dasar negara Indonesia itu diterima oleh semua anggota PBB.

Pertanyaan menggelitiknya adalah apakah Pancasila telah diterima sepenuhnya di tempat lahirnya sendiri? Apabila kita tengok ke belakang, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) baik tahun 1948 dan 1965 berusaha melakukan coup terhadap republik Indonesia, belum lagi peristiwa pemberontakan DI/TII di Jawa Barat tahun 1949, sampai kini ancaman neo-radikalisme melalui media-media sosial, upaya penerapan paham agama tertentu ditengah kebhinekaan bangsa Indonesia , sekaligus menjadi jawaban bahwa, Pancasila belum mendarah-daging dan membumi dalam arti yang sebenar-benarnya. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 saat ini memiliki tugas yang tidak ringan. Diakui, berbagai upaya yang sesuai dengan konteks kekinian pun telah dilakukan oleh BPIP. Misalnya BPIP telah turut mengadopsi teknologi informasi zaman now dengan memiliki berbagai platform media sosial yang dapat diakses dengan mudah.

Memang, upaya membumikan nilai-nilai Pancasila ditengah berbagai persoalan yang dihadapi bangsa terutama ketika saat ini bangsa kita tengah berjuang mengatasi wabah corona virus diseases (Covid -19), memerlukan usaha yang lebih keras dan sungguh-sungguh setiap komponen bangsa. Peran serta aktif tokoh-tokoh masyarakat, lembaga-lembaga tradisional dalam memberikan penyadaran terutamanya kepada oknum di masyarakat yang memiliki tafsir keliru dalam memandang falsafah luhur Pancasila. Sejatinya, apabila kita telah mengakui nilai-nilai Pancasila adalah final dan mengikat seluruh bangsa Indonesia, maka segala perdebatan tentang Pancasila harusnya telah selesai.

*Gotong Royong Hadapi Covid 19 dengan Local Genius*
Saat ini, bangsa kita dan juga bangsa-bangsa di dunia tengah menghadapi wabah corona virus diseases (covid 19). Indonesia sebetulnya memiliki modal dasar yang kokoh hadapi berbagai wabah dan bencana. Nilai-nilai luhur nenek moyang seperti gotong-royong, tatanan organisasi desa tradisional seperti desa adat, nagari, rukun warga dan berbagai istilah lainnya, merupakan potensi efektif bangsa yang telah diberdayakan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pembentukan Satgas Gotong-royong dari pusat sampai daerah-daerah menjadi lokomotif penggerak upaya-upaya penanganan dan pencegahan covid 19 disamping wabah penyakit lainnya. Masalah utamanya apabila dikaitkan dengan semangat momentum kelahiran Pancasila adalah, sikap mental bangsa yang mau tidak mau harus berubah.

Di beberapa wilayah, masih saja terjadi kesenjangan dalam pemerataan penanganan, disinkronisasi informasi penanganan Pekerja Migran Indonesia dan masalah distribusi bantuan lainnya. Ini menandakan kita bangsa yang sepertinya ‘malu’ belajar kepada para pendahulu yang tercatat dalam sejarah menangani berbagai situasi sulit termasuk mewabahnya berbagai penyakit di masyarakat. Sebut saja sejarah Calon Arang yang begitu populer di Jawa Timur dan Bali. Kisah Calon Arang yang diperkirakan muncul pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1006 – 1042 M) di Jawa Timur. Terlepas dari berbagai intrik yang terjadi pada masa itu, Mpu Bahula yang merupakan murid Mpu Bharadah menjadi problem solver dari paglebug yang diakibatkan ulah Calon Arang, secara cerdik Mpu Bahula berhasil mengambil kitab yang sering dibaca Calon Arang. Dari situ kemudian ditemukan penangkal wabah dan keadaan kerajaan disebutkan normal kembali. Dari sudut pandang modern, apa yang dilakukan oleh Mpu Bahula dikatakan cerdas secara intelektual, karena wabah penyakit yang terjadi beliau berhasil atasi dengan mempelajari sumber pustaka asal dari wabah pada saat itu. Diyakini Mpu Bahula telah melakukan research dan eksperimen yang cukup sehingga wabah dan penyebab wabah dapat ditanganinya.

Masyarakat tradisional Indonesia telah mewarisi banyak kearifan lokal yang terkait dengan upaya pemeliharaan kesehatan.Sebuah contoh dari Aceh, dalam rumah adat Krong Bande Aceh, mensyaratkan keberadaan unsur air menjadi pilar penting dalam upaya leluhur menjaga kesehatan. Pada bagian utama tangga rumah Krong Bande terdapat gentong besar berisi air. Air dalam gentong tersebut digunakan untuk mencuci kaki dan tangan tamu yang hendak masuk rumah. Penempatan gentong air tersebut juga memiliki nilai filosofis, setiap tamu hendaknya memiliki niat baik terhadap pemilik rumah. Tradisi minum jamu yang lestari sampai sekarang tentu tidak berdiri sendiri. Sumber-sumber olahan jamu banyak ditemukan dalam naskah-naskah kuno seperti serat Centhini yang ditulis sekitar tahun 1814, Serat Primbon Jampi Jawi Jilid I serta Serat Primbon Jampi Jawi Jilid II yang ditulis pada masa Sultan Hamengku Buwono II banyak menyebutkan tentang jamu. Ini menandakan leluhur nusantara telah banyak mewariskan upaya mereka di masa lampau dalam menghadapi berbagai wabah.

Apabila kita tengok kembali pidato Bung Karno pada sidang PBB di New York 30 September 1960 silam, dengan menyampaikan gagasan beliau yang berjudul, “To Build the World a New” Membangun tatanan dunia yang baru, lompatan berfikir Bung Karno ini sungguh fenomenal karena disana digaris bawahi bagaimana PBB berperan strategis dengan harapan bahwa PBB menjadi lembaga milik dunia bukan milik kelompok negara tertentu. Organisasi dibawah PBB yakni World Health Organization (WHO) jangan sampai menjadi semacam lembaga survey yang menyampaikan angka-angka statistic nyata tapi semu. Dikatakan demikian karena peran konkrit WHO tidak kelihatan dalam upayanya menemukan solusi terhadap berbagai wabah yang terjadi di dunia. Sehingga sampai detik ini kita melihat kurva positif covid 19 di sebagian negara-negara di dunia terus menanjak naik. Lain halnya dengan Vietnam, fighting spirit dan ketangguhan sikap mental bangsa Vietnam menjadikan mereka sampai saat ini sebagai negara dengan tanpa kasus kematian akibat covid 19. Bagaimana dengan Indonesia yang dikenal memiliki nilai-nilai luhur sebagai antivirus pandemi covid 19? Sebagai bangsa yang besar kita harus ber-kontemplasi, bahwa keberhasilan penanganan wabah covid 19 ini senyatanya mulai dari diri kita, mau tidaknya menengok kebelakang sebagai cermin, sehingga negara Pancasila ini mampu menjadi pemenang, sebagai keberhasilan generasi yang akan diwariskan ke generasi berikutnya. Selamat hari lahir Pancasila, semoga Bangsa Indonesia lahir sebagai pemenang.

Tentang Penulis

Penulis adalah seorang akademisi dan aktivis Sosial