KEPASTIAN hukum di negeri demokrasi ini sangat mahal. Selain itu, proses penegakan hukum pun acapkali melanggar hukum. Artinya, menghalalkan segala cara untuk memenjarakan kebenaran dan ketidakadilan atas dalih keamanan dan kenyamanan persekusi etnisitas kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Ironisnya, oknum penegak hukum yang terhormat dari kaum intelektual pun cenderung dicap setia dan sehati dalam upaya memarjinalisasi kepentingan atas hak kebebasan berpikir dan berpendapat serta berekspresi secara publik terhadap perjuangan membela kebenaran dan ketidakadilan.

Akibatnya, hukum yang semestinya menjadi panglima untuk membangun kesadaran berpikir kritis dalam paradigma baru berdemokrasi serta menjaga persatuan dan kesatuan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat semakin karut-marut dan bahkan selalu menjadi sorotan publik internasional. Dalam konteks ini, hukum pun menjelma menjadi dagelan pertunjukan budaya salah kaprah yang cacat moral serta tidak bernalar dan berlogika.

Simak saja seperti halnya beberapa tindakan kekerasan atau anarkitisme dari para kaum mayoritas yang tidak tersentuh hukum hingga kisruh hukum yang menimpa tokoh spiritual lintas agama, Anand Krishna atas kasasi terhadap putusan bebasnya yang kini telah menjadi sorotan publik dunia. Karena, kisruh hukum yang dilakukan oleh para oknum dari Lembaga Penegak Hukum di negeri ini terkait Kasasi terhadap Putusan Bebas Anand Krishna telah diajukan ke Makamah Internasional di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) oleh para pengacara dari Natural World Organization (NWO) dan Humanited Foundation sebagai lembaga internasional yang sangat konsen dengan transparansi publik dan perlindungan HAM.

Para pengacara dari kedua lembaga internasional ini bahkan merasa terkejut dengan perlakuan ketidakadilan hukum yang menimpa Anand Krishna atas kebebasan berpikir kritis, berbicara, berbuat, berekspresi, dan menulis, serta mengambil keputusan untuk perubahan paradigma baru demi upaya mencapai kesejahteraan dan perdamaian dunia. Bahkan, Anand Krishna sendiri sampai melontarkan pernyataan tegas siap melawan perlakuan ketidakadilan hukum atas dirinya dengan mempersilakan aparat hukum menahan jasadnya saja.

“Kami berpendapat bahwa tindakan agresi hukum terhadap Anand Krishna harus segera dihentikan karena melanggar konstitusi dari UUD’45,” tegas Lewis Montaque, Sekretaris Jenderal NWO, sebuah lembaga swadaya masyarakat Internasional yang membela keadilan dan kebenaran dari khalayak publik terutama hak masyarakat kaum minoritas dalam sebuah jumpa pers di Denpasar, belum lama ini.

Menurutnya, Anand Krishna sendiri telah diputus bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri, Jakarta Selatan yang dipimpin oleh Albertina Ho, tanggal 22 Nopember 2011 lalu, tapi Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum (24/7) walaupun sesungguhnya tindakan itu telah bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP. Karena itulah, kini saatnya kita melawan balik untuk mengirimkan pesan terhadap para elite penguasa sebagai pemangku kebijakan negara bahwa sikap seperti ini tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat di negeri ini (Indonesia), termasuk dunia internasional.

Diakuinya, pada dasarnya kami cukup dibikin bingung, kenapa seorang jaksa di Kejaksaan Negeri dan para hakim di Mahkamah Agung berani melanggar hukum acara pidana, yang berarti merampas hak kebebasan seorang warga yang secara konstitusi dapat perlindungan hukum dan kepastian hukum yang diatur dalam UUD’45 negaranya. “Ini berarti telah terjadi upaya memenjarakan hak demokrasi dari kaum minoritas,” sesalnya.

Sementara itu, pengacara hukum internasional dan konstitusi dari Humanited Foundation, Sir John Walsh of Brannagh mempertanyakan keseriusan para aparat penegak hukum di negeri ini (Indonesia) dalam menangani kisruh hukum yang telah terjadi selama ini. Kenapa ? Karena, bagi dia sudah menjadi rahasia umum bahwa oknum aparat hukum di Indonesia cenderung melanggar hukum dalam menegakkan hukum itu sendiri, termasuk kasus yang menimpa tokoh spiritual lintas agama Anand Krishna, misalnya.

]Jadi, katanya, memang sudah saatnya kasus Anand Krishna ini dijadikan acuan awal bagi lembaganya untuk mengadukan ke Makammah International Court of Justice. Dan, agar upaya hukum ini dapat berjalan di atas rasa keadilan dan kebenaran sudah tentunya perlu adanya dukungan dan aksi simpati publik seperti dari lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, praktisi, akademisi, dan budayawan, termasuk khalayak publik secara global, baik lokal, nasional maupun dunia. “Sebagai bagian dari sosial media untuk mengawasi dan sekaligus mengontrol proses hukumnya sehingga lebih transparan dan terbuka,” tegasnya.

Diketahui bahwa, kini sejumlah tokoh masyarakat seperti tokoh spiritual Hindu, Gus Indra Udayana dan Ketua Bali Corruption Watch (BCW), Putu Wirata Dwikora dan budayawan, Raka Santri, serta komponen masyarakat yang lainnya sedang berjuang bersama-sama menggalang dukungan dan simpati publik. Demi perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran atas kisruh hukum yang menimpa Anand Krishna. Sebagai simbolik kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi dan menulis, serta bersikap kritis dalam berdemokrasi. Demi upaya mencapai tujuan kehidupan yang lebih baik, damai dan menyejahterakan.(*)

 Oleh I Nyoman Wija, SE, Ak., M.Si*

*) Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer Sebuah Media Harian Di Bali, yang juga Aktivis Kordem Bali pemerhati Sosial Budaya.