Mangupura (Metrobali.com)-

Kegamangan kehidupan global semakin menguat bagi masyarakat kecil yang jauh dari pentas politik, teater formalik, dan kekuatan pasar. Rakyat hanya menuai badai kapitalistik global dalam berbagai implikasi inflasi, hutang Negara , korupsi, dan gonjang-ganjing masyarakat Indonesia. Kegelisahan akan rapuhnya sendi-sendi kehidupan berbangsa disikapi dengan penegasan dan penguatan aktualisasi empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Representasi kebangsaan ini akan menjadi pragmatism baru tanpa aktualisasi roh historis dan semangat di balik keempat pilar tersebut. Demikian dikatakan Ketua Panitia PA GMNI Cabang Badung, IGN A Eka Darmadi, Sabtu (31/12).

Dikatakan, harapan rakyat sudah sepatutnya dipertanyakan keadabanya, karena masih berjalan dengan harapan-harapan awam. Realitas kehidupan berbangsa sudah diwarnai oleh pergerakan ekonomi politik dan geopolitik global,sehingga demokrasi menjadi pentas politik lokal dan pasar politik yang diramaikan oleh actor-aktor instan. Kredibilitas lembaga formal dan informal dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis sesaat. Lebih lanjut dikatakan, kegalauan globalisasi hanya ditandai oleh hiruk-pikuk industri pada permukaan virtual yang jauh dari jangkauan wong cilik atau masyarakat kecil sebagai objek pelengkap pembangunan.

Kesadaran kapital dalam menutup kecacatan peradaban kapitalistik global, menandai kesadaran akan terperosoknya manusia ke dalam lubang hitam budaya kapitalistik global. Karakter dan jati diri Indonesia menjadi pertaruhan terkahir dalam pergulatan pemikiran hingga penegasan kembali geopolitik dan ideologi bangsa .

Dikatakan, catatan masyarakat Bali pada akhir tahun 2011, masing menyimpan permasalahan ruang budayat tradisional desa adat yang terbentur masalah-masalah. Terjadi tumpang tindih tafsir Bhisama. Sengketa perbatasan wilayah desa adat. Aset kultural desa adat, hingga representasi desa prakaman dalam apresiasi media dan kolektifitas komunitas.

Bali sudah manifest berubah dan memanas dalam semangat lokalitas-global dari keberadaan sebuah pulau kecil yang damai dan cultural seperti kesaksian Covarrubias pada tahun 1937. Patronase kerajaan pada masa itu digantikan oleh pemerintahan colonial Belanda secara politis dan administrative sudah mencairkan perbedaan dan batas batas wilayah Negara tradisional kerajaan. integritas tokoh masyarakat tradisional pada masa kini justru mendapatkan ruang baru dalam perhelatan pemilukada ketika partai dan ormas – OKP mengalami krisis kepemimpinan dan kaderisasi.

‘’Tidak dipungkiri, ketika landasan ideal Pancasila yang hanya dipresentasikan secara mekanis tanpa aktualisasi roh dan filosofinya secara integrative dan dialektis. Terlebih lagi memotong dialektika sejarahnya secara pragmatis,’’ katanya.

Pergerakan aktifis ormas,OKP, dan mahasiswa teruntuk masalah pragmatis dankegelisahan masa depan pribadi dan kelompok. Hingga perilaku organisasi nampak sama-sama kendor pada semua lembaga kaderisasi bangsa tersebut. Politik praktis yang diliputi ‘ money politic” sudah tidak tabu lagi,korupsi tidak tabu lagi, dan kemiskinan menjadi keniscayaan masyarakat kecil dalam kehidupan global ke depan.

Sementara itu,  pengamat sosial AA Ngurah Arwata mengatakan, pada tataran lokal masyarakat bawah sangat merasakan pengaruh kapitalis dan konsumerisme yang sudah nyata-nyata menguatkan individualism, pragmatism dan anarkasi.

Menurut Agung Arwata telah mengkerdilkan masyarakat adat  pada hubungan pribadi hingga krisis keluarga unit terkecil bangsa. Kepungan kapitalis sebagai koloni-koloni baru sudah menyulut berbgai percepatan perubahan fisik dan perubahan tata guna atau konvensi lahan. SUT-MB