Foto: Pembukaan Seminar “Kawin Pada Gelahang” yang digelar di Hotel Nirmala Denpasar, Sabtu pagi (23/11/2019) serangkaian menyambut HUT ke-55 Partai Golkar.

Denpasar (Metrobali.com)-

DPD Partai Golkar Bali merayakan HUT ke-55 Partai Golkar dengan acara yang tidak biasa yakni mengangkat kearifan lokal menjadi sebuah diskursus dan diskusi publik, khususnya yang berkaitan dengan sistem perkawinan “Pada Gelahang” di Bali.

“Kawin Pada Gelahang” ini diangkat menjadi tema dalam seminar yang digelar di Hotel Nirmala Denpasar, Sabtu pagi (23/11/2019) serangkaian menyambut HUT ke-55 Partai Golkar.

Seminar dibuka Plt Ketua DPD Partai Golkar Bali Gde Sumarjaya Linggih yang  diwakili Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (Okaka) DPD Partai Golkar Provinsi Bali Dr. I Nengah Dauh Wijana.

Didampingi pula Ketua Panitia Dewa Made Suamba Negara, Bendahara Umum DPD Partai Golkar Provinsi Bali Komang Takuaki Banuartha serta pengurus dan Ketua DPD dan PLT Ketua DPD PartaiGolkar Kabupaten/Kota se-Bali.

Seminar menghadirkan narasumber dari kalangan pakar hukum adat, tokoh adat dan LSM dan pihak pemerintah.Seperti pakar hukum adat Bali Prof. Dr. I Wayan P Windia, SH., M.Si.,yang membawakan materi “Mengenal Perkawinan Pada Gelahang di Bali.”

Lalu Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Dr. Drs. IGusti Made Ngurah, M.Si., dengan materi “Peranan Desa Adat dalam Perkawinan Pada Gelahang.”

Pembicara lainnya yakni Kepala Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Denpasar Dra. Pande Made Sri Artatik, M.Si., dengan materi “Pencatatan Perkawinan.”

Selanjutnya Ketua LSM Bali Sruti Dr. Ir. Luh Riniti Rahayu, M.Si., menyampaikan materi “Mengenal Perkawinan Pada Gelahang. Pembicara lainnya yakni  salah satu pelaku perkawinan Pada Gelahang Ni Luh Nilawati, S.H, M.M.

Ketua Panitia Dewa Made Suamba Negara mengungkapkan seminar ini digelar atas inisiatif BakumHAM DPD Partai Golkar Bali. Tujuannya agar HUT Golkar tidak hanya seremonial tapi ada kegiatan nyata dan bermanfaat bagi masyarakat khususnya pula dalam hal pelestarian kearifan lokal.

Salah satunya adalah seminar yang berangkat dari fenomena perkawinan menurut adat Bali yakni “Kawin Paksa Gelahang” ini. “Lewat  seminar ini kami ingin  memediasi gagasan Prof Windia tentang Kawin Pada Gelahang agar lebih dipahami masyarakat,” ujar Dewa Suamba.

“Simpulan dan benang merah hasil seminar ini akan  disosialisasikan ke masyarakat sebagai pegangan bagaimana menjalankan Kawin Pada Gelahang,” pungkas Dewa Suamba.

Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (Okaka) DPD Partai Golkar Provinsi Bali Dr. I Nengah Dauh Wijana mengungkapkan seminar ini juga membedah aspek hukum “Kawin Pada Gelahang” dan bagaimana agar dalam implementasinya dapat berjalan lancar.

“Walau dari dulu idenya sudah ada, masyarakat masih banyak yang belum paham betul Kawin Pada Gelahang ini. Maka ini perlu dibedah dan disosialisasikan lagi,” ungkap Dauh Wijana yang juga akademisi ini.

Dalam konteks perkawinan vang dilangsungkan oleh umat Hindu di Bali, istilah “Pada Gelahang” mengandung makna perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama Hindu dan hukum adat Bali.

Dimana “Pada Gelahang” ini tidak termasuk perkawinan biasa (dikenal pula dengan sebutan “kawin ke luar”) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (dikenal pula dengan sebutan kawin kaceburin atau “kawin ke dalam”).

Dalam perkawinan “Pada Gelahang” suami dan istri tetap berstatus kapurusa di rumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban dua tanggung jawab dan kewajiban (swadharma).

Yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga istri dan juga meneruskan tanggung jawab keluarga suami, sekala maupun niskala, secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu, tergantung kesepakatan pasangan suami istri beserta keluarganya.

Menurut pakar hukum adat Bali Prof. Dr. I Wayan P Windia, SH., M.Si., hingga Agustus 2019, ada 100 pasangan yang melakukan perkawinan Pada Gelahang. Ada sejumlah alasan mengapa orang memilih bentuk perkawinan Pada Gelahang.

Misalnya tidak mungkin memilih bentuk perkawinan biasa atau perkawinan nyentana, karena masing- masing calon pengantin lahir sebagai anak tunggal.

“Bisa juga karena pasangan tidak mau putus pacaran ataupun masing-masing orang tua tidak mau putung atau tidak memiliki keturunan,” ungkap Prof Windia.

Lalu bagaimanakah hukum adat Bali dan hukum nasional mengatur mengenai perkawinan Pada Gelahang ini?

Menurut Prof Windia pada umumnya awig-awig tertulis desa adat belum mengatur mengenal perkawinan pada gelahang. Namun keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman, 15 Oktober 2010 mengatur mengenai hal ini.

Disebutkan bahwa “Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan”.

Namun secara hukum positif atau hukum nasional, UU Perkawinan tidak mengenal istilah perkawinan biasa, perkawinan nyentana, dan perkawinan Pada Gelahang.

Namun ada yurisprudensi yang bisa dijadikan rujukan. Sebagaimana terungkap dalam Putusan Kasasi MA No. 1331 K/Pdt/2010, tanggal 30 September 2010.

Putusan ini mengabulkan permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: 1. Dra. Ni Made Lely Nawaksari, 2. Ni Nyoman Sri Rahayu Madya, dan 3. Gubernur Pemerintah Provinsi Bali CRunati Pemerintah Kabupaten Karangasem, Cq Kepala Dinas Kependudukan Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kabupaten Karangasem tersebut.

Putusan kasasi MA ini membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 27/Pdt 2009/PT.Dps tanggal 18 Agustus 2009 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 273/Pdt.G/2008/PN.Dps tanggal 06 Nopember 2008.

Putusan kasasi MA ini juga menyatakan hukum bahwa perkawinan dengan status sama-sama Purusa adalah sah menurut hukum dan menyatakan hukum bahwa Akta Perkawinan Nomor 130/MG/1990, tanggal 31 Desember 1990 adalah sah menurut hukum.

Putusan kasasi di atas diperkuat dengan Putusan PK MA Nomor 603 PK/Pdt/2012, Tanggal 24 Desember 2013.

Sementara itu Puncak HUT ke -55 Partai Golkar akan diisi silaturahmi keluarga besar partai Golkar di Bali setelah  berlangsunnya Munas Golkar di Jakarta. Ini akan dilakukan juga dalam bentuk Megibung atau tradisi makan bersama untuk mempererat kebersamaan. (dan)