Penjor terhalang pohon dan dipasang ditempat jalur padat lalu lintas
Suasana Hari Raya Galungan/dokumentasi
Denpasar, (Metrobali.com) –
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Sudiana mengimbau kepada warga dari 28 desa terdampak Gunung Agung agar tak kembali ke rumah mereka untuk merayakan hari raya Galungan yang jatuh pada tanggal 1 November 2017. Menurut Sudiana, merayakan Galungan di pengungsian sama sekali tak mengurangi makna hari raya suci yang dirayakan tiap enam bulan sekali itu.
‎”Jangan ragu melaksanakan Galungan di pengungsian. Secara makna sama dengan di tempat (rumah) masing-masing,” tegas Sudiana di Denpasar, Sabtu 28 Oktober 2017. PHDI, Sudiana melanjutkan, telah mengeluarkan surat edaran mengenai tata cara melaksanakan Galungan di pengungsian. Salah satunya adalah tata cara meletakkan persembahan di pengungsian sebagai salah satu sarana doa bersama.
Hal lainnya yakni memenjor (memasang janur kuning). Menurutnya, bagi warga yang masih mengungsi cukup dua penjor saja yang dipasang yakni, di pintu masuk dan keluar pengungsian. Biasanya, warga Bali akan memasang penjor di tiap-tiap rumah masing-masing. “Penjor cukup di kiri dan kanan saja tempat pintu masuk dan keluar pengungsian. Selanjutnya warga boleh melaksanakan persembahyangan ‎di Pura desa setempat pengungsian. Silakan berkoordinasi dengan prajuru desa adat setempat,” saran Sudiana.
‎Kemudian, bagi pengungsi yang memiliki klan sama dengan warga di sekitar lokasi bisa menggelar persembahyangan di sana, tentu berkoordinasi terlebih dahulu dengan prajuru adat desa setempat. “Semua ini tidak akan menghilangkan makna jika melaksanakan Galungan di pengungsian,” tutur dia.
Ia mengimbau agar warga tak kembali ke desanya masing-masing yang masuk zona bahaya Gunung Agung. “Larangan oleh pemerintah untuk tidak masuk ke zona bahaya Gunung Agung masih berlaku sampai sekarang. Kami mengimbau masyarakat pengungsi tidak pulang ke rumah, ikuti aturan yang dianjurkan pemerintah, sehingga tidak menimbulkan kerugian apapun jika terjadi sesuatu,” ujarnya.
Soal sarana persembahan, Sudiana menilai bagi pengungsi bisa disederhanakan alias cukup satu untuk semua warga pengungsi. “Pelaksanaan Galungan di pengungsian sarananya bisa sederhana, tapi tidak mengurangi makna sesungguhnya,” ulas dia.
‎Yang paling penting dari perayaan Galungan menurut Sudiana adalah menyangkut perubahan perilaku dan pola pikir warga. “Tidak hanya sekadar persembahan, tapi juga Galungan menyangkut perubahan perilaku dari yang tidak baik menjadi baik, dari buruk menjadi baik, miskin jadi kaya, sedih jai gembira, susah jadi bahagia, berseteru jadi damai, sakit jadi sehat,” kata dia.
“Pemahaman itu yang mesti kita maknai, tidak hanya dilaksanakan di rumah, dalam keadaan darurat bisa dilaksanakan di pengungsian. Ini juga semua karena keinginan Tuhan,” tutur dia.
Merayakan Galungan di pengungsian pernah dilakukan umat Hindu Bali ketika Gunung Agung meletus tahun 1963. Saat itu, Gunung setinggi 3.142 mdpl itu meletus dua hari sebelum Galungan atau saat Penyajahan Galungan.
“Dulu tahun 1963 banyak yang merayakan Galungan di pengungsian. Saat itu pas Penyajahan Galungan meletusnya. Mereka melaksanakan Galungan di pengungsian. Tidak pantang melakukan Galungan di pengunsian, karena dulu pernah ada. Sama seperti yang merantau ke Jakarta, Papua dan lain-lain. Mereka merayakan di luar desanya. Yang terpenting perubahan perilaku dan pola pikir kita berubah ke arah yang lebih baik,” demikian Sudiana. (Laporan Bobby Andalan)