mangku-pastika

Denpasar (Metrobali.com)-

Rapat koordinasi lanjutan yang dilaksanakan untuk ketujuh kalinya oleh Pemprov Bali terkait pembahasan polemik UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa belum menghasilkan keputusan akan mendaftarkan desa dinas ataukah desa adat.

“Saya kira waktunya kita mengakhiri pertemuan ini tanpa kesimpulan. Media yang hadir pasti bertanya kesimpulannya, kesimpulannya adalah tanpa kesimpulan,” kata Gubernur Bali Made Mangku Pastika usai memimpin rapat koordinasi pembahasan UU tersebut yang berlangsung hingga lima jam di Denpasar, Kamis (17/7).

Menurut dia, Pemprov Bali melalui Biro Hukum sebagai “leading sector” bersama biro-biro yang lain membentuk tim kecil untuk kembali duduk bersama dulu membahasnya sebelum melibatkan tim besar seperti hari ini.

Sampai saat ini Pemprov Bali sebagai fasilitator pertemuan ini belum bisa menyimpulkan hasil pertemuan. Pastika berpandangan keputusan yang diambil nantinya menyangkut masa depan Bali sehingga harus menampung pemikiran-pemikiran rakyat melalui wakil-wakilnya seperti DPRD, Majelis Utama Desa Pakraman, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, akademisi dan lembaga tradisional lain.

“Dalam memutuskan ini, harus kita libatkan semua, saya tidak berani memutuskan sendiri persoalan seperti ini, ini menyangkut masa depan Bali,” ujarnya.

Ia menambahkan, sementara belum memutuskan apakah desa dinas ataukah desa pakraman (desa adat) seperti aspirasi yang berkembang dalam pertemuan, sebaiknya didaftarkan keduanya dulu.

Pastika berpandangan, kalau dicermati penjelasan pasal 6 UU Desa, hal ini tidak salah, karena dijelaskan jika tidak terjadi tumpang tindih antara desa dinas dengan desa adat maka bisa didaftarkan keduanya.

Persepsi ini disepakati bahwa keduanya tidak tumpang tindih, karena sudah berjalan berdampingan sejak dahulu dan fungsinya memang berbeda. “Yang satu mengurusi adat, budaya dan agama dan yang satu mengurusi pemerintahan dan pembangunan,” katanya.

Mantan Kapolda Bali itu mengatakan, pemerintah pusat harus memahami kearifan lokal yang ada di Bali ini dan daerahnya tidak bisa disamakan seperti daerah lain. Apabila usulan ini ditolak pusat, Bali bisa mengajukan “judicial review” karena memang pada praktiknya tidak bisa dilaksanakan.

“Banyak aturan hukum yang tidak bisa dilaksanakan yang penyusunannya tidak sesuai aspirasi rakyat dan tiba-tiba sudah ada. Seperti UU Anti Pornografi yang tidak bisa kita laksanakan ,” ujarnya.

Ia tidak menampik bahwa UU ini berbeda, karena jika tidak didaftarkan maka selain tidak mendapatkan penganggaran dari pusat juga desa-desa yang ada di Bali tidak terdaftar di negara ini.

Terkait aspirasi MUDP apabila semua upaya tertutup dan kemungkinan untuk mendaftarkan desa adat, menurut Pastika hal itu bisa saja tetapi harus dipersiapkan dengan baik.

Dalam kesempatan itu hadir Bupati Buleleng, Bupati Badung dan Wakil Bupati Karangasem, sementara Bupati Klungkung, Bupati Tabanan, Bupati Bangli, Bupati Gianyar, Bupati Jembrana , dan Walikota Denpasar yang diharapkan datang, absen di pertemuan tersebut.

Dalam pertemuan tersebut paparan dimulai oleh Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Bali dilanjutkan dengan pendapat dan tanggapan dari Bupati Buleleng, Bupati Badung, Wakil Bupati Karangasem dan perwakilan dari Bupati Tabanan. Dari MUDP paparan diawali oleh Ketua MUDP Provinsi Bali dan dilanjutkan oleh Petajuh (Wakil Ketua) MUDP Provinsi Bali.

Sementara Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali Made Arjaya dan Ketua Komisi IV Nyoman Partha menyampaikan juga pendapatnya serta para akademisi yang diwakili Prof Dewa Atmaja, Wiasa Putra dan akademisi lainnya.

Staf ahli bidang hukum dan politik IB Kumara menyampaikan pendapatnya bahwa secara umum UU in memang memerlukan pemikiran yang jernih untuk membahasnya sehingga mendapatkan jalan yang terbaik dan lahirnya UU ini juga sebagai acuan bagi semua unsur di Bali untuk dapat memperjuangkan otonomi khusus (otsus) untuk Provinsi Bali. AN-MB