Keterangan foto: Joko Widodo dan Prabowo

Denpasar, (Metrobali.com) –

Menjelang Joko Widodo dilantik (kembali) sebagai Presiden RI ke-8 untuk periode 2019-2024, di kolom ini saya menulis catatan dengan judul “Pu(r)nakawan”. Hal ini mengacu pada pertermuan di stasiun MRT dan gambar latarbelakang Gunungan (Bali: Kayonan) dengan Punakawan (Semar, Petruk, Gareng dan Bahong) suatu Restoran Mall saat jamuan Jokowi-Prabowo untuk rekonsiliasi paska pemilu 2019. Sedikit beda di Bali: Tualen, Merdah vs Delem, Sangut, selalu bersebrangan. Berlatar cerita wayang, karena sejumlah faktor yang paralel, serta mudah untuk memahami keinginanya (Kayun).

Pertama, sebagaimana Petruk, yang Punakawan, Jokowi adalah representasi “pemerintah dari, oleh dan untuk rakyat” -Petruk dadi ratu. Ditandai dengan peran besar relawan dalam membalikkan perolehan suara. Kedua, Punakawan yang mengambil alih kekuasaan para kesatria karena situasi krisis. Memang bukan krisis kekuasaan yang mesti berlaku atas naiknya Jokowi, melainkan apa yang anak zaman-now sebut “krisis kreativitas”, khususnya dalam pemerintahan.

Perbedaan lain, jika ingin bermain wayang dengan sistem kastanya, dimana Punakawan dianggap sebagai rakyat berkasta sudra, maka terjadi pengambil alih kekuasaan dari para kesatria secara demokratis. Mengingat, Jokowi adalah pedagang meubel cum “tukang insinyur”, atau weisya. Maka rakyat dari kasta weisya, atau pedagang yang berkuasa. Terlebih dengan anak-anaknya, yang mewarisi bakatnya, sebagai pedagang martabak, pisang goreng, atau kopi -bukan batubara, minyak ataupun saham.

Pemilihan presiden sebelum-sebelumnya, dalam konteks wayang adalah pertarungan antar kesatria. Masuknya Jokowi ke gelanggang adalah fenomena yang sama sekali baru dan berbeda. Nampak dari Kreativitas pemerintahan yang sudah Jokowi tunjukkan sepanjang 2014-2019, mulai dari pembangunan infrastruktur, sampai menjinakkan, atau berdamai dengan para naga, melalu taxs amnesty, ataupun rebut 51 persen saham Freeport. Mirip kisah bayi Parikesit, menjadi raja Hastina dalam cerita wayang paska Bratayuda

Situasi sefikit beda saat Jokowi memasuki pemilihan presiden 2019-2024. Jika pada 2014 Jokowi memasuki gelanggang sebagai media darling yang dicitrakan sebagai Petruk, atau Punakawan/wong cilik, yang (mungkin?) “melawan kemapanan”. Namun di tahun 2019 ini, sebagai “calon presiden, yang sedang menjabat presiden”. Raja balita, atau “kere munggah bale”, yang punya kuasa tentunya. Sudah dilihat sebagai penguasa, setidaknya oleh sesama penguasa..

Sebagai (calon) presiden, menghadapi calon presiden lain, yang bukan wong cilik. Dalam arti pemilihan presiden 2019 kembali terjadi pertarungan antarkesatria. Relawan pendukung Jokowi masih ada dan sedikit-banyak tetap menentukan, tapi faktor koalisi antarpartai jauh lebih berperan ketimbang sebelumnya.

Jokowi saat ini dijagokan “Partai Koalisi Jokowi” dengan segenap visi, misi dan isi-nya. Pencitraan Pu(r)nakawan, atau wakil wong cilik tetap berlangsung, meski agak menurun. Dimana massa mengambang, atau wong cilik itu sendiri sudah terbelah: Cebong vs Kampret -plus golputer. Seperti di Bali punakawan selalu berpihak, atau berseberangan. Ini berarti personifikasi Jokowi sebagai Punakawan sudah tidak cocok lagi. Sebagai gantinya: Wong gede/agung, yang purna-kawan.

Dalam konteks budaya politik wayang (baca: Mahabharata) yang sudah terbumikan begitu rupa, dan tetap diikuti bayang-bayang ceritanya. Posisi wong gede/agung baru, atau New Kids on The Block, menjadikan Jokowi sasaran para naga, terutama naga Tatmala/Tatsaka. Karenanya, demo dan kerusuhan Mei 2019, bisa dilihat sebagai upaya Jokowi membentingi diri dari serangan para naga -seperti Parikesit. Dan sidang Mahkamah Konstitusi pun menjadi semacam upacara “Sarpahoma”, atau yadnya Sarpha, dalam menjinakkan para naga, dengan Jokowi sebagai pemenang.

Kini, paska pertemuan dan jamuan makan “rekonsiliasi”, Jokowi lanjutkan dengan pidato politik: “Visi Indonesia”, dengan tempatkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai prioritas pembangunan. Mungkin terinspirasi dari Janamejaya, anak Parikesit, yang berkuasa setelah suksesnya upacara Sarpahoma, yang mampu mensejahterakan rakyat Hastina. Menempatkan Jana/jnana, atau ilmu pengetahuan sebagai kunci mencapai kemakmuran semesta raya. Mudah-mudahan tidak terpleset, Selamatkan Diri Masing-masing, dan kawan/rakyat kian menjauh dan hanya sebagai latar belakang -seperti rezim-rezim sebelumnya.

*Ngurah Karyadi