Denpasar (Metrobali.com) –

Puri Ubud di daerah perkampungan seniman Kabupaten Gianyar, Bali, kembali akan menggelar ritual pengabenan (pelebon) berskala besar (utama).

Pelebon dilakukan sebagai penghormatan terakhir terhadap almarhum Cokorda Istri Sri Tjandrawati (58), istri dari penglingsir (tokoh) Puri Ubud, pada hari Jumat, 1 November 2013, Ritual pelebon itu menggunakan menara pengusungan jenazah (bade) bertingkat sembilan setinggi 25 meter, kini mulai dikerjakan melibatkan warga setempat secara gotong royong yang setiap harinya antara 50-100 orang.

Sementara lembu, tempat pembakaran jenazah dibuat dengan ketinggian 7,5 meter sebagai penghormatan terakhir terhadap almarhum, Tjokorda Istri Sri Tjandrawati dari Puri Saren Agung Ubud.

Menggunakan menara pengusungan jenazah (bade) bertingkat sembilan dengan total ketinggian mencapai 25 meter dan lembu tempat pembakaran jenazah merupakan tradisi pelebon di Puri Ubud, tutur tokoh Puri Ubud Tjokorda Gde Budi Suryawan.

Pertengahan Mei lalu juga menggelar ritual pengabenan untuk penghormatan terakhir terhadap almarhum Tjokorda Ngurah Wim Sukawati (90), putra sulung mantan Presiden Negara Indonesia Timur (NIT) Tjokorde Gde Raka Sukawati.

Almarhun semasa hidupnya itu pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Swis 1975-1979 dan kini siap-siap untuk kembali menggelar kegiatan serupa.

Persiapan ritual pengabenan skala besar (utama) kali ini sedang dirampungkan melibatkan ratusan warga masyarakat dari Desa Pekraman (Adat) Ubud seperti Banjar Sambahan, Ubud Kelod, Ubud Kaja, Taman Kelod, Bentuyang, Kutuh kelod dan banjar Kutuh Kaja.

Material yang digunakan sepenuhnya dari bahan lokal dengan tenaga sukarela secara bergilir dari ke 14 banjar di lingkungan Desa Adat Ubud.

Kerangka bade yang sudah rampung itu dilengkapi dengan ornamen, sehingga tampak megah, menarik, unik dan mengandung unsur seni.

Ornamen kelengkapannya bentuknya menyerupai berbagai jenis binatang yang penggarapannya akan rampung dua-tiga hari sebelum kegiatan puncak.

Rangkaian ritual pelebon tersebut dimulai sejak 15 Oktober lalu ketika jenazah tiba di Puri Ubud yang disemayamkan di Gedong.

Pada hari Kamis 24 Oktober 2013 diadakan ritual “Nanceb” yang bermakna mulai mempersiapkan seluruh keperluan ritual dan segala hal bisa berjalan lancar, tanpa adanya halangan.

Setelah itu dilanjutkan ritual “Nunas Tirta” yakni memohon air suci di Pura Kahyangan Tiga Ubud dan “Nunas Surat Kajang”, menyusul Sabtu 26 Oktober 2013 upacara “Ngingsirang layon” memindahkan jenazah ke Bale Gede (ruangan terbuka).

Rangkaian ritual menyusul pada hari Minggu (27/10) ke Pura Dalem Puri dan Pura Dalem Ubud yang bermakna untuk memohon ke hadapan Sang Hyang Widhi yang berstana untuk melepaskan arwah almarhum untuk menjalani ritual.

Hiasan berbagai bunga Rangkaian ritual ngaben itu memang sangat banyak, setiap hari selama dua minggu itu selalu padat, termasuk di antaranya ritual “Ngreka Kajang” di Pamerajan Agung, “kajang” yang didapat dari pedanda (pemimpin ritual) dan kawitan dihias dengan berbagai jenis bunga-bungaan.

Perwujudan manusia yang terbuat dari uang kepeng, dan “kuangen” itu ditaburi minyak wangi dan bunga yang harum, setelah menjalani ritual “Ngening Ring Beji” di Campuhan Ubud.

Selain itu juga mengambil air suci (tirta) di Sungai Campuhan, lalu memandikan jenazah menggunakan beragam simbol agar nantinya mendiang bisa dikembalikan kepada unsur-unsur panca maha buta.

Almarhum Tjokorda Istri Sri Tjandrawati yang akrab disapa Cok Sri Bulan lahir di Ubud pada 19 September 1954 dari pasangan Tjokorda Gde Putra Sudharsana (Puri Saren Kangin) dan Tjokorda Istri Putra Asmari (Puri Saren Kauh).

Cok Sri Bulan memiliki seorang kakak yakni Tjokorda Gde Budi Suryawan, mantan Bupati Gianyar yang kini anggota DPRD Bali.

Pada upacara puncak pelebon 1 November 2013 jenazah diberangkatkan dari Puri Agung Ubud dimulai sekitar pukul 12.30 Wita. Jenazah akan diusung dengan bade (menara kremasi) bertingkat sembilan setinggi 25 meter menuju tempat kremasi jenazah di Pura Dalem Puri Peliatan yang berjarak sekitar 900 meter ke arah timur.

Bade bertingkat sembilan sebagai tempat pengusungan jenazah Tjokorda Istri Sri Tjandrawati dibuat dari batang pohon pinang dan rangkaian bambu, lengkap dengan pernak-pernik bunga emas untuk menggotong dari halaman puri Ubud menuju setra (kuburan) tempat kremasi.

Upaya menggotong bade itu membutuhkan ribuan tenaga warga setempat secara estafet, sepanjang jalan yang dilewati pada kegiatan serupa sebelumnya yang menjadi “lautan manusia”, termasuk wisatawan mancanegara yang secara khusus datang untuk menyaksikan pelebon berskala utama yang hampir tidak ditemui di belahan negara lainnya.

Demikian pula pengabenan yang pernah dilakukan Puri Ubud pada pertengahan 2008 hampir seluruh hotel di perkampungan seniman Ubud dan sekitarnya penuh, diperkirakan tidak kurang 350.000 wisatawan asing menyaksikan kegiatan yang unik dan langka itu.

Bahkan prosesi unik, langka dan menarik saat itu mendapat perhatian besar dari pers di berbagai belahan dunia yang mengirim wartawan maupun kameramen untuk meliput secara khusus pelaksanaan upacara penghormatan terakhir terhadap sesupuh Puri Ubud yang semasa hidupnya sangat aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.

Semua itu berkat karya seni menara pengusungan jenazah yang menjulang tinggi yang mempunyai nilai magis digotong ke Setra Desa Adat Ubud yang berjarak 900 meter ke arah timur Puri Ubud.

Ubud yang dikenal sebagai perkampungan seniman, wilayahnya tidak begitu luas, dulunya merupakan sebuah kerajaan kecil, dikitari sawah menghijau, air mengalir jernih di sungai, pesona desa yang indah.

“Para Dewata” menakdirkan sebagai tempat yang penuh kegemilangan, alamnya menyimpan kekuatan gaib serta memiliki “benang merah” terhadap perkembangan agama Hindu di Pulau Dewata.

Perkampungan seniman Ubud dalam perkembangannya kini menjadi “satu titik desa dunia”, tempat manusia-manusia dari berbagai ras di dunia bertemu, menikmati keindahan alam dan tradisi masyarakat setempat, termasuk prosesi pelebon/ngaben yang diwarisi secara turun temurun.

“Dikenalnya Ubud sekarang di mancanegara merupakan sebuah anugerah dan berkah yang dapat memberikan kehidupan dan kesejahteraan kepada masyarakat setempat,” ujar Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati, seorang pewaris kalangan bangsawan Puri Ubud yang juga Ketua PHRI Bali sekaligus mantan Bupati Gianyar. (Ant)

Zita Meirina