Pura Luhur Uluwatu-1

Deburan ombak dahyat yang menjadi “sorga dan idaman” bagi peselancar yang tangguh dan mapan bermain di atas papan di tengah gulungan ombak samudera dapat disaksikan dengan jelas dari kawasan suci Pura Uluwatu, Jimbaran, Kabupaten Badung.

Tempat suci umat Hindu yang tergolong besar (Sad Kahyangan) itu lokasinya menjorok ke tengah laut, yang sangat stragetis yakni di tepi tebing yang sangat terjal, sehari-harinya ramai dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri.

Batu karang berwarna abu-abu dan agak kehitam-hitaman adalah lokasi tempat berdirinya pura yang dibangun pada abad XI sebagai tempat suci umat Hindu memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Rudra, yakni Dewa Penguasa Arah Barat Daya pada delapan penjuru mata angin.

Kawasan Pura Uluwatu, sekitar 30 km selatan Kota Denpasar, atau 15 km arah selatan Bandara Ngurah Rai Bali kini menjadi objek wisata pavorit di Pulau Dewata, yang mendapat kunjungan wisatawan terbanyak kedua setelah kawasan wisata Tanah Lot, Kabupaten Tabanan.

Sesuai data Dinas Pariwisata provinsi Bali, jumlah wisatawan yang berkunjung ke lokasi Pura uluwatu selama 2013 tercatat 820.999 orang terdiri atas 498.070 turis asing dan 322.929 tamu domestik, sedangkan Tanah Lot mencapai tiga juta orang.

Pengunjung kondisi alam yang menakjubkan di hamparan Uluwatu memang bertambah terus sebab sebelumnnya tercatat 803.567 orang. Banyak turis asing minta ke Uluwatu, tutur Pengamat Pariwisata Bali, Dewa Nyoman Putra.

Pura Uluwatu memiliki daya tarik tersendiri, karena batu karang yang ada ditumbuhi semak-semak yang dijaga oleh ratusan kera-kera jinak dan dilindungi oleh masyarakat sekitarnya, tutur Nyoman Putra yang berprofesi sebagai Pemandu Wisata sejak belasan tahun.

Tempat suci umat Hindu itu berdiri megah di ketinggian 97 meter di atas permukaan laut berpijak pada anjungan batu karang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut, di ujung barat daya Pulau Bali, yang menjadikan daya pikat setiap turis yang berkunjung ke sini.

Lokasi pura ini dinilai sangat indah dan menakjubkan, karena berada di atas tebing yang lanngsung menghadap ke laut lepas. Suasana ini membuat suasana Pura Uluwatu yang didirikan sekitar abad sebelas semakin terkesan kesakralannya.

Tebing yang curam dan tinggi di pura ini merupakan tempat yang tepat untuk menyaksikan matahari terbenam di upuk barat. Turis tentu senang bisa menyaksikan suasana matahari terbenam yang dipadukan dengan hamparan laut serta ombak yang mendebur-debur.

“Sungguh luar biasa sanset di Uluwatu,” komentar wisatawan asing yang sempat meninjau lokasi itu sebagai mana ditirukan Dewa Nyoman Putra, sebab dalam suasana matahari semakin merendah, semburan cahaya ke kuning-kuningan menjadikan pemandangan semakin syahdu.

Wisatawan mancanegara yang pernah berkunjung ke objek wisata andalan Kabupaten Badung, setelah Pantai Kuta itu umumnya merasa puas menikmati panorama alam yang menakjubkan itu dengan tenggelamnya matahari.

Pelancong sambil beristirahat disuguhkan dengan tarian yang dibawakan para seniman Bali. Pagelaran yang ditampilkan di pangggung terbuka itu berupa tarian kecak, yang sakral namun juga menghibur. Pagelaran ini sengaja diadakan untuk wisatawan di areal Pura Uluwatu setiap hari setelah tenggelamnya matahari, demikian Putra.

Wajib Kenakan Selendang Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke objek wisata Pura Uluwatu antara lain berasal dari Eropa, Amerika, Australia, kawasan Asia Tenggara maupun dari berbagai daerah di Indonesia.

Mereka yang mengunjungi tempat suci Pura Uluwatu sekaligus objek wisata itu wajib mengenakan kain dan selendang yang sudah dipersiapkan petugas di pintu masuk.

Pelancong begitu turun dari kendaraan yang mengantarnya bergegas menuju tempat pembayaran tiket masuk, sebagai syarat mengunjungi objek wisata tersebut.

Wisatawan yang mengenakan selembar kain dan seutas selendang, yakni pakain ringan adat Bali itu dengan diantar pemandunya dari Biro Perjalanan Wisata (BPW) maupun pramuwisata setempat, berjalan kaki sejauh 500 meter dari tempat parkir.

Perjalanan yang membutuhkan waktu sekitar 15 menit menuju Pura Uluwatu yang masuk wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan , Kabupaten Badung itu “disambut” oleh puluhan kera jinak, penghuni hutan yang berlokasi di sekitar tempat suci itu.

Dalam perjalanan menuju lokasi objek wisata Uluwatu, para turis akan dapat menyaksikan kejinakan puluhan kera yang berlonct-loncat di dahan pohon peneduh di sekitar kawasan wisata yang berjarak sekitar 10 kilometer Selatan, Garuda Wisnu Kencana tersebut.

Wisatawan yang menikmati keindahan peninggalan masa lampau itu, sembari mengabadikan dirinya berlatar belakang deburan ombak Samudra Indonesia yang tampak membiru dari atas tebing dan sewaktu-waktu berubah menjadi putih.

Para turis yang melakukan kunjungan wisata ke kawasan wisata Uluwatu pada sore hari selain dapat menyaksikan kebolehan dari penghuni kawasan hutan di tempat suci itu, tebing yang indah, objek yang dahsyat tetapi juga dapat menyaksikan pementasan tarian Kecak dari sejumlah seniman masyarakat di desa Pecatu (desa yang berlokasi di sekitar Pura Uluwatu).

Sejarah Pemberian nama Uluwatu didasari atas berdiri pura di ujung batu karang yang menjorok ke laut. Pura itu diperkirakan didirikan, pada abad XI masehi atau sezaman dengan Mpu Kuturan (salah seorang suci umat Hindu) mendirikan Pelinggih Meru (tempat pemujaan) di Pura Besakih, Kabupaten Karangasem.

Pada zaman belakangan yaitu pada abad XVI Dang Hyang Nirartha (salah seorang suci umat Hindu) yang terkenal dengan sebutan “Pedanda Sakti Wawu Rauh” moksa di tempat itu, setelah beliau selesai mengadakan Dharma Yatra (perjalanan suci) di Bali, Lombok dan Sumbawa.

Peristiwa moksanya Dang Hyang Nirartha di sana disebut “Ngeluhur”. Untuk mengenang jasa Dang Hyang Nirartha sebagai pendeta besar yang menyempurnakan ajaran agama Hindu di Bali, dibuatlah pelinggih pokok berupa Meru Tumpang Tiga (tempat pemujaan bertingkat tiga) yang berfungsi untuk memuja kebesaran Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa dalam aspek Rudra (Siwa Mahakota).

Sementara itu, di Pura Uluwatu terdapat beberapa peninggalan purbakala sekaligus merupakan data yang cukup potensial untuk menyusun sejarah budaya daerah Bali.

Secara garis besarnya kepurbakalaan yang terdapat di Pura itu, dapat digolongkan menjadi dua macam yakitu “Artefak”(semua benda yang merupakan hasil garapan manusia baik sebagian maupun selurunya sebagai hasil penggubahan sumber alam oleh tangan manusia).

Sedangkan “Fitura” (artefak yang tidak dapat dipindahkan atau dilepaskan dari matrixnya).

Peninggalan purbakala yang tergolong artepak di Pura Uluwatu adalah arca “Bhatara”, dua buah patung dan empat buah arca “Ganeca”, sedangkan yang tergolong Fitura adalah sebuah candi bersayap sebuah paduraksa (candi kurung), sebuah prasada (candi) dan sebuah bangunan gedong.

Arca Bhatara yang disebut Arca Ratu Bagus Jurit dikatakan pula sebagai perwujudan Dang Hyang Nirartha. Oleh masyarakat setempat arca tersebut dianggap sebagai manifestasi Tuhan yaitu Siwa Mahadewa dan kadangkala dianggap sebagai Dewa Rudra.

Arca tersebut dapat digolongkan sebagai arca perwujudan seorang tokoh yang mempunyai fungsi sebagai media pemujaan bagi seorang tokoh yang berjasa dalam masyarakat.

Arca Ganesa yang ditempatkan di depan pintu masuk berfungsi sebagai “Dwarapala” (penjaga pintu masuk). Hal itu sesuai dengan mitologi India bahwa Ganesa diberi tugas oleh Dewa Siwa untuk menjaga istananya.

Fungsi lain dari Ganesa adalah sebagai dewa penyelamat atau penolak rintangan marabahaya. Artefak yang cukup menarik adalah benda berbentuk “palung batu” yang menyerupai “Sarkopah”.

Oleh masyarakat setempat benda itu disebut perahu sebagai simbul sarana transport yang digunakan oleh Dang Hyang Nirartha. Peninggalan purbakala yang berfifat menumental seperti candi bentar bersayap, paduraksa fungsinya sebagai pintu masuk umat Hindu untuk bersembahyang. AN-MB