MetroBali

Selangkah Lebih Awal

Publik Tantang Kandidat Capres-Cawapres

Presiden terpilih Joko Widodo (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto (kiri) usai pertemuan tertutup di Jakarta, Jumat (17/10/2014). Pertemuan kedua tokoh itu antara lain membahas langkah-langkah perbaikan bangsa ke depannya. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Rei/Spt/14.)

Jakarta (Metrobali.com)-
Dua pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden RI bersama seluruh pimpinan partai pendukung telah mendeklarasikan dan menandatangani kesepakatan kampanye damai dalam Pemilu 2019.

Deklarasi kampanye damai tersebut digelar oleh Komisi Pemilihan Umum tentu saja bukan sekadar selebrasi semata. Janji kampanye damai adalah poin terpenting untuk memastikan pesta demokrasi lima tahunan berjalan jujur dan adil.

Dalam pengertian awam, kampanye yang damai adalah kampanye yang sesuai dengan aturan main. Dalam implementasinya, para kandidat fokus mengedepankan program dan gagasannya masing-masing, serta menihilkan pernyataan atau perilaku yang menjatuhkan lawan politik.

Fakta yang terjadi sejak awal penetapan capres-cawapres, ada saja pemberitaan media berisi pernyataan elite partai pendukung yang berupaya menjatuhkan lawan politik.

Tidak ada larangan dalam perundang-undangan, bagi capres-cawapres atau timnya untuk melakukan kampenye negatif, dengan mengungkap kekurangan lawan politik, selama mengacu pada data dan fakta.

Persoalannya, mampukah publik bersikap dewasa atas kampanye negatif yang ditampilkan elite politik bangsa ini.

Tidak semua masyarakat mengerti “drama politik”. Kampanye negatif yang disaksikan bisa dibawa ke dalam perasaan atau dalam istilah kekinian, “baper”, lantas menuai konflik di akar rumput.

Politik bisa saja dipahami sebagian elite sebagai seni mengelola kemungkinan. Sering kali kita dengar pernyataan elite politik mengenai cairnya dinamika politik, atau perubahan dalam politik yang dapat terjadi dalam hitungan menit bahkan detik.

Segala kemungkinan yang muncul, sekecil apapun itu, jika “dikelola”, sekejap bisa mengubah peta politik.

Tapi kemungkinan yang bisa digunakan tentu ada batasnya. Jika berbicara kampanye negatif, secara umum batasannya boleh saja tentang ketersediaan data dan fakta.

Selama ada data dan fakta, maka kemungkinan tersebut boleh dikelola demi mencapai kemenangan dalam pemilu.

Namun hal ini patut dikaji ulang. Masih teringat dalam benak, bagaimana kedigdayaan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) runtuh karena kasus “penistaan” agama yang dialamatkan kepadanya.

Dalam kasus itu terdapat fakta pernyataan Ahok yang mengutip sebuah ayat dalam kitab suci. Fakta itu kemudian “dikelola” lawan politik sebagai sebuah kampanye negatif atau mungkin juga sebagai kampanye hitam untuk menggiring persepsi publik.

Hasilnya, Ahok “porakporanda”, kalah dan masuk bui. Sementara di akar rumput, masyarakat menjadi tersekat-sekat.

Kasus tersebut menunjukkan, betapa politik tak cukup sebagai seni mengelola kemungkinan. Politik harus menjadi “taman bermain” mereka para negarawan.

Anti-Kampanye Negatif

Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, sudah mengintruksikan kepada tim atau badan pemenangannya untuk tidak menggunakan kampanye negatif selama perhelatan Pilpres 2019.

Jika instruksi itu dipahami dengan cerdas, artinya tidak ada satupun anggota tim pemenangan yang boleh menguak kekurangan lawan politiknya. Mereka hanya akan fokus bersuara tentang keunggulan pasangan yang didukungnya saja.

Tapi lagi-lagi, kampanye negatif sulit dihindari. Ada saja anggota tim kedua pasangan capres-cawapres berlomba meraih simpati publik, dengan jalan membangun persepsi atas buruknya lawan politik.

Publik layak bertanya-tanya atas ketegasan capres-cawapres dalam menjaga instruksinya tersebut.

Setidaknya, pasangan capres-cawapres bisa mendelegasikan ketua tim kampanye atau badan pemenangan untuk mengevaluasi setiap tindak tanduk anggotanya yang masih berkampanye negatif.

Atau mungkin segelintir anggota tim atau badan pemenangan kedua pasangan tidak memahami makna anti-kampanye negatif?

Boleh jadi instruksi anti-kampanye negatif dipahami sebagai anti-kampanye hitam, sehingga segelintir anggota tim pemenangan masih berupaya menguak kelemahan lawan politik meskipun sudah dilarang berkampanye negatif.

Padahal kampanye negatif dan kampanye hitam memiliki makna yang berbeda.

Kampanye hitam merupakan kampanye berlandaskan fitnah atau kabar bohong yang belakangan ini dikenal dengan sebutan hoaks.

Kampanye hitam jelas saja dilarang. Ada sanksi pidana, yang diatur dalam perundang-undangan, bagi setiap individu yang menjadi pelakunya.

Pada Pilpres 2014 silam, kampanye hitam mendera salah satu capres saat itu, di mana Joko Widodo dituding sebagai keturunan Partai Komunis Indonesia.

Kampanye hitam kembali digunakan pada PIlpres kali ini, ketika muncul situs fitnah bertajuk Skandal Sandiaga yang menyerang cawapres Sandiaga Uno.

Penggunaan kampanye hitam hendaknya tidak lagi diistilahkan sebagai sebuah jalan pintas. Kampanye hitam lebih layak disebut sebagai sebuah jalan haram untuk dilalui.

Yang jelas, jika berkaca pada kasus-kasus pemilu sebelumnya, baik kampanye negatif dan kampanye hitam keduanya bisa memicu konflik di tengah fanatisme publik terhadap pasangan kandidat.

Menantang Kandidat

Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi mengusulkan sekaligus “menantang” kandidat capres-cawapres beserta timnya untuk memperbanyak narasi-narasi kampanye yang bermuatan positif.

Yusa mendorong pada kandidat capres-cawapres beserta timnya mengedepankan keunggulan program-program yang diusungnya ketimbang mencari-cari kelemahan lawan politiknya.

Tantangan terhadap kandidat juga diserukan pengamat politik Emrus Sihombing. Ia menantang kedua pasangan kandidat untuk saling membela lawan politiknya manakala lawan politiknya itu didera isu hoaks.

Apabila Jokowi-Ma’ruf didera isu hoaks atau fitnah, maka pasangan Prabowo-Sandiaga harus berinisiatif membela. Begitu juga sebaliknya, Jokowi-Ma’ruf membela Prabowo-Sandiaga jika lawannya itu didera isu hoaks.

Menurut Emrus, hal ini dapat menjaga masyarakat di akar rumput tetap tenang tanpa terpolarisasi.

Emrus juga menantang kedua pasangan kandidat melakukan pertemuan bersama satu sama lain setiap satu pekan, sekadar bersilaturahmi.

Tampil berkala di depan publik dengan suasana kebersamaan ditengah kompetisi Pilpres 2019, tentu saja akan menciptakan suasana sejuk bagi para pendukung.

Tantangan ini selayaknya dilontarkan publik kepada seluruh kandidat. Beranikah para kandidat proaktif menjaga situasi politik tetap kondusif dengan melakukan hal-hal sederhana.

Sumber : Antaranews.com