Oleh: I Gde Sudibya

Pemerintah sudah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk memasuki era kenormalan baru, new life era,  yang kemudian menjadi populer dengan era normal baru. Era untuk kita  tetap menjadi produktif tetapi tetap aman dari Covid-19.

Bentuk kebijakan, sebut saja ” berkompromi” dengan virus ini, untuk melakukan pemulihan ekonomi, berbarengan dengan pelaksanaan ketat protokol kesehatan. Bentuk kebijakan, sebut saja menciptakan simetri antara upaya pemulihan ekonomi berbarengan dengan upaya penekanan transmisi penularan dengan tingkat risiko kesehatan yang minimal.
Dalam pengambilan kebijakan publik, upaya untuk “mendamaikan”, menciptakan kompromi di antara 2 kepentingan yang berbeda, lazim disebut dengan trade off ( konflik ), sangat dikenal. Trade off di sini antara lain upaya pemulihan ekonomi yang bisa menaikkan risiko pandemi dengan upaya pembatasan sosial untuk menekan pandemi, dengan risiko menekan upaya pemulihan ekonomi.
 Jadi kita memasuki era normal baru, dengan kemungkinan risiko seperti yang dimaksud. Yang perlu diupayakan dan juga dijaga, tidak saja oleh pemerintah tetapi oleh masyarakat secara keseluruhan, upaya pemulihan ekonomi berjalan, pada saat yang bersamaan, curve pandemi terus turun, melandai dan kasus positif pada tingkatnya yang minimal dari perspektif epidemiologi.
Profil ekonomi di masa pandemi
Prediksi pemerintah akibat pandemi, pada skenario berat pertumbuhan ekonomi tahun ini pada pusaran 2,7 %, sedangkan pada skenario lebih berat menjadi minus 0,  4 %. Pada skenario berat saja, pertumbuhan ekonomi sudah tingal separuh dari prediksi sebelumnya ( pada pusaran 5,2 % ).
Dari perspektif kebijakan fiscal upaya penanggulangan ekonomi, memerlukan dana yang amat besar, dengan 3 kategori yakni : perawatan kesehatan, jaring pengaman sosial dan dana talangan ekonomi. Dalam APBN 2020, defisit ditetapkan Rp.307,2 trilliun, setelah pandemi dikoreksi menjadi Rp.852,9 trilliun, dan kemudian dikoreksi lagi menjadi Rp.1,039.2 trilliun. Tambahan defisit Rp.732 trilliun yang ke semuanya ini untuk menanggulangi pandemi Covid-19 dan  risiko ekonomi ikutannya. ( Kompas, 6/6 )

Dari sisi, banyaknya jumlah orang yang kehilangan pekerjaan, membengkaknya angka pengangguran, Ketua Kadin Rosan Perkasa Roeslani dalam wawancaranya dengan majalah Tempo (1-7/6), angka pengangguran akibat pandemi sudah melebihi 6 juta orang, dengan rincian yaitu perusahaan dalam Organda: 1.4 juta orang, industri tekstil: 2.1 juta orang, indutri alas kaki sekitar: 500 ribu orang, perusahaan di lingkungan assosiasi jasa pengamanan sekitar 800 ribu orang dan industri pharmasi sekitar 200 ribu orang.

Menyimak profil ekonomi di atas 3 bulan pasca pandemi:  tekanan besar terhadap pertumbuhan ekonomi, beratnya beban fiscal pemerintah, dan membengkaknya angka pengangguran dengan implikasi sosial yang dibawakannya, dari perspektif ekonomi, upaya rintisan pemulihan ekonomi melalui kebijakan normal baru, adalah kebijakan yang sangat layak untuk dilakukan.
Risiko Pandemi
Dalam persiapan pemerintah menyiapkan kebijakan  menyongsong normal baru, ternyata curve pandemi di tingkat nasional masih fluktuatif dengan trend menaik. Angka positif per tanggal 6 Juni sebesar 993 orang, angka penularan tertinggi selama bulan Mei – 6 Juni. ( Kompas 7/6 ). Kita bisa lihat data berikut: 1/5: 423 orang positif. 2/5: 292 orang. 11/5: 233. 21/5: 973 orang. 26/5: 415 orang. Dan 6/6: 993 orang.
Menurut Kompas: jumlah positif tertular per 6/6: 30.514 orang, dari specimen: 394.068, dengan angka kematian 1801 orang.
Sehingga kalau kita hitung prosentase positif yakni  7,7 % dan rasio kematian: 5,9 %. Dengan catatan, melonjaknya angka positif tertular, diduga karena semakin massifnya test PCR dan test cepat molekuler. Kondisi ini terjadi di banyak negara. Aksiomanya: makin massif test dilakukan, dalam kondisi sekarang, makin banyak kasus positif yang ditemukan. Contohnya: kasus di AS. Ini berarti, kesimpulan sederhananya: risiko pandemi di tingkat nasional masih tergolong tinggi.
Dengan menyimak penjelasan singkat di atas, dari perspektif strategi manajemen, untuk pencapaian sasaran normal baru yakni kemanfaatan maksimal dari pemulihan ekonomi dan risiko minimal dari penyebaran pandemi, kebijakan normal baru mempersyaratkan : Pertama, wilayah yang curvenya belum melandai, seperti: DKI Jakarta dan Jatim, normal baru tidak diperlakukan di seluruh wilayah provinsi, tetapi dipilih Kabupaten/Kota yang telah memenuhi persyaratan aman dari sisi epidemiologi.
Kedua,  bagi wilayah yang ekonominya sangat tergantung kepada satu industri, misalnya Bali, dengan industri pariwisatanya,  industri ini sangat tergantung kepada: image dan trust, sebelum kebijakan normal baru , didahului dengan  test massif dengan uji petik yang kredibel.
Ketiga, ada fleksibilitas dalam penerapannya, kebijakan yakni dengan ” buka-tutup”, kalau kondisi wilayah ( kabupaten/kota ) dinilai sudah aman, normal baru dijalankan,  kalau muncul risiko baru, wilayah yang bersangkutan ditutup kembali. Meniru Korea Selatan menghadapi gelombang kedua pandemi.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi,  konsultan strategi manajemen.