Klungkung ( Metrobali.com )
Kabupaten Klungkung tidak bisa dikatakan bebas dari kemiskinan. Semakin kita telusuri ke bawah banyak warga miskin yang masih tercecer. Sepertinya Pemerintah Daerah khususnya Klungkung hanya menerima laporan yang sering kita dengar istilah singkatnya ABS ( Asal Bapak Senang ). Seperti apa yang  Metrobali.com temukan dibawah.

Dia adalah I Ketut Budiasa 28, asal Banjar Lekok, Sampalan Kelod, Dawan, Klungkung yang herus berjuang dengan segala keterbatasanya. Warga miskin yang juga cacad tersebut benar benar berjiwa pantang menyerah. Sekalipun dengan keterbatasan yang ada tetap berusaha untuk tegar dalam menghadapi kerasnya kehidupan ini. Budiasa pun tetap bekerja layaknya orang normal. Dia hidup dan berjuang sebagai tukang pecah batu padas. Dengan kaki yang pincang tidak menjadi hambatan untuk bisa bekerja untuk menghidupi keluarganya.

Lokasi kerjanya pun di tengah Sungai Unda yang sangat beresiko. Terlebih saat musim hujan sekarang ini terkadang air bah tiba tiba datang dan siap mengancam nyawanya. Namun karena ini merupakan satu satunya keahlian yang bisa lakukan membuat terpaksa setia dengan pekerjaan yang sudah ditekuni sejak beberapa tahun lalu.

Sementara upah dari pekerjaannya sebagai tukang pecah batu juga tidaklah terlalu besar. Namun itu pun tetap dia lakoni untuk menghidupi tiga orang anak dan istrinya. Selain itu Budiasa juga masih punya tanggungan, dimana kedua orang tuanya yang sudah tua.
Saat Metrobali menemuinya, lelaki tersebut nampak sedang mengayunkan martirnya menghantam batu batu padas untuk dia pecahkan. Sementara ongkos yang dia terima pun tergolong sangat kecil yakni per truknya hanya mendapatkan Rp 200 ribu. Sedangkan untuk mendapatkan satu truk batu dia harus bekerja selama seminggu dari pagi sampai sore. Sementara saat musim hujan sekarang ini dia mengaku sedikit was was. Karena bekerja di tengah sungai.

“Saya takut kalau air tiba tiba besar,” ujarnya. Untuk itu dia harus tetap waspada sekalipun harus konsentrasi memecah batu. Begitu deru air bah datang dia pun harus berlari menjauh. Hal ini diakuinya sudah menjadi santapan sehari hari suami dari Ni Wayan Ariani.
Sementara dilokasi dia bekerja juga harus mengangkut batu batu yang berhasil dia pecah ke pinggir sungai dengan mempergunakan karet ban.

Budiasa harus menarik karet ban yang berisi batu tersebut melalui arus sungai Unda yang cukup deras. Dia juga harus mempu mengangkat batu batu besar yang diambil di tengah sungai. Ini pun dia harus berjuang melawan arus sungai terlebih dulu.
Sedangkan saat musim hujan seperti ini dia mengaku banyak kendala diantaranya air bah yang dating tiba tiba. Akibatnya dia pun harus kucing kucingan dengan cuaca untuk bias bekerja. Untuk mendapatkan hasil satu truk dia harus berendam nyaris seharian di sungai dari pagi hingga sore. Dia pun hanya istirahat makan siang di rumah. Dan itu pun baju masih dalam kondisi basah. Usai makan dia kembali bekerja berendam disungai sambil mengayunkan martilnya untuk memecah batu.

Tiba di rumah pun Budiasa tidak mau hanya berpangku tangan. Begitu tiba sekalipun masih capek karene bekerja keras dia tetap membantu sang istri membuat Canang untuk tambahan penghasilan. Selaian itu dia juga harus memberikan pakan ternak babi peliharaanya. Rumah yang ditermpati sangat sederhana dengan atap seng. Keluarga ini juga tidak mendapat bantuan bedah rumah. Tidak itu saja Beras Raskin yang juga seharusnya menjadi haknya juga tidak dia dapatkan. Namun Budiasa mengaku tetap tegar menjalani hidup dan tidak mau hanya mengantungkan hidupnya kepada bantuan orang lain.

Untuk itu dia bersama dengan sang istri harus memutar otak untuk kerja sampingan. Selaian membuat Canang juga membuat peralatan upacara seperti Tamas untuk dia jual ke Pasar Galiran. Dari hasil jualan Tamas dan Ceper tersebut dia mengaku bias mendapatkan sekitar Rp 10 ribu per hari. “Ya cukup untuk yang saku anak anak,” ujar pria yang hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar tersebut.

Sementara semua kerja kerasnya tersebut juga demi anak anaknya yang paling besar sudah duduk dibangku SMP dan masih TK serta satu anaknya yang masih balita (satu tahun). Ternytaa dari hasil kerja kerasnya tersebut dia mengakui tidak cukup untuk membeli susu anak nya yang paling kecil. Akibatnya dia pun sering memberikan anaknya yang paling kecil tersebut dengan air beras sebagai penganti susu.
Sementara itu Budiasa juga tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. Hal ini diakui sang ibu Wayan Sengkeg 70 yang mengaku tinggal di pondok tersebut sudah lima tahun. Sebelumnya dia mengaku berpindah pindah karena tanah yang ditempati adalah tenah Negara. Sebab yang bersangkutan tidak punya tanah. Dan dia berharap tanah yang dia tempati sekarang ini di pinggir sungai sekalipun tanah Negara berharap agar bisa dia tempati sekalipun hanya untuk tempat tinhgal.

Budiasa sendiri mengalami cacad pada kaki kiri yang ukuranya lebih kecil. Dan dia adalah anak kembar buncing ( kembar laki dan perempuan ) sementara kembaranya juga mengalami cacad bisu. Kembaranya ini sekarang sudah bekerja jadi tukang sapu di Desa sehingga bisa membantu ekonomi keluarga.

Sementara itu Kades Sampalan Kelod Kadek Suriani mengakui ada 98 KK warganya yang masih hidup dibawah garis kemiskinan. Namun hanya beberapa saja yang kondisinya cukup parah termasuk Budiasa ini. Namun demikian dirinya mengaku terus berupaya untuk membentu seperti PNPM dan Bedah rumah. Sementara untuk bedah rumah ada sedikit kendala karena tidak punya tanah. “Ya dia berharap ada bantuan…termasuk anak anaknya agar tetap bisa sekolah,” ujar Perbekel. Dia juga berharap ada bantuan bedah rumah karena gubuk yang diytempati keluarga ini sudah tidak layak huni. SUS-MB