Jakarta (Metrobali.com)-

Dalam empat tahun ini, pemerintah telah membangun infrastruktur di seluruh Tanah Air. Proyek infrastruktur tersebut ada yang dibangun untuk mendukung pertanian dan perkebunan di banyak wilayah.

Presiden mengatakan, pemanfaatan hasil pembangunan tersebut membutuhkan proses yang tidak instan. Hal itu diutarakan Presiden saat meresmikan pembukaan Rapat Koordinasi dan Diskusi Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Tahun 2019 di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa, 19 Maret 2019.

“Jadi kalau orang menginginkan langsung bisa swasembada, bisa langsung ketahanan kita meloncat naik, enggak akan mungkin seperti itu. Perlu proses, perlu tahapan-tahapan,” ujarnya.

Presiden mengingat betul upaya yang dilakukan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga jagung yang cukup membutuhkan waktu. Bahkan, Kepala Negara sempat menerima banyak keluhan para petani terkait hal tersebut di masa awal pemerintahan.

“Saya baru dilantik dua bulan sudah dimarahi para petani. Ya enggak apa. Pak, gimana Bapak sebagai presiden? Jagung jatuh harganya di Rp1.400-1.600 di sini. Kita produksi itu Rp1.800. Jagungnya gede-gede, tapi kita rugi,” tuturnya.

Melalui sejumlah penelusuran, diketahui bahwa pada 2014, Indonesia membuka keran impor bagi komoditas jagung hingga mencapai 3,6 juta ton. Hal itulah yang membuat harga jagung di tingkat petani mengalami penurunan hingga merugi.

“Impor jagungnya oleh Menteri Pertanian langsung direm total. Data yang saya punya di 2018 kemarin impor kita hanya 180 ribu ton. Sebelumnya hampir 3,6 juta ton,” ucapnya.

Pemerintah juga menetapkan harga pokok penjualan (HPP) komoditas jagung hingga petani mendapatkan keuntungan. Hal itu ditetapkan melalui Peraturan Presiden dengan mengambil rata-rata harga jagung di semua daerah.

“Apa artinya? Produksi petani itu semakin meloncat naik karena memang harganya memungkinkan petani untuk dapat keuntungan. Siapa yang mau menanam kalau hanya untuk rugi,” kata Presiden.

“Tapi seperti ini membutuhkan proses,” imbuhnya.

Upaya yang sama saat ini tengah diupayakan pemerintah untuk banyak komoditas pertanian lainnya. Utamanya komoditas-komoditas yang masih dibutuhkan impor untuk memenuhi kebutuhan.

*Infrastruktur dan Perubahan Pola Pikir*

Perbaikan sektor pertanian juga dilakukan dengan jalan pembangunan waduk untuk keperluan pengairan. Presiden menjelaskan, hingga awal tahun 2015, Indonesia hanya memiliki 231 bendungan. Itupun tak sepenuhnya dimanfaatkan untuk sektor pertanian.

“Kalau kita bandingkan dengan Tiongkok, mereka memiliki waduk 110.000. Kita hanya 231. Artinya masih kurang waduk kita ini,” ucapnya.

Dari jumlah waduk tersebut, diperkirakan baru 11 persen saja wilayah pertanian yang terairi oleh waduk-waduk itu. Selama beberapa tahun ke belakang, pemerintah intens membangun tambahan bendungan sejumlah 65 bendungan baik yang sudah terbangun maupun yang masih dalam tahap pembangunan.

“Kalau yang 65 itu rampung baru mengairi 20 persen (lahan pertanian). Masih jauh sekali kita ini. Jangan membayangkan ketahanan pangan, kedaulatan, swasembada, kalau ini belum terselesaikan,” tuturnya.

Selain itu, Kepala Negara mengungkapkan bahwa untuk memajukan sektor pertanian Indonesia, dibutuhkan perubahan pola pikir dari para pelaku pertanian. Dirinya meminta para pelaku untuk mulai mengalihkan perhatiannya pada nilai tambah yang bisa didapatkan pascapanen.

“Saya ingin agar ada sebuah perubahan pola pikir kita bahwa keuntungan di pertanian dan perkebunan yang paling besar justru di pascapanennya,” ujarnya.

Maka itu, Presiden kembali mengingatkan pentingnya mekanisasi dan modernisasi pertanian dengan memberikan perhatian ekstra pada pengemasan dan _branding_ bagi produk-produk komoditas pertanian yang dihasilkan.

Di antara modernisasi yang dimaksudkan tersebut di antaranya ialah proses pengeringan dan penggilingan dengan menggunakan alat-alat modern hingga pengemasan yang baik sehingga dapat langsung dipasarkan ke konsumen akhir.

“Kalau kita teruskan seperti ini (pola lama) sampai kapanpun pertanian kita enggak akan maju. Harus berani mengubah pola pikir kita baru kemudian kita memilih komoditas-komoditas yang lain selain padi dan jagung yang memiliki nilai tinggi,” tandasnya.

Jakarta, 19 Maret 2019
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden