Salah satu desa tua di Bali itu masih lestari, dikitari berbagai jenis pepohonan besar dengan hawa sejuk, dan menurut mantan pemimpin masyarakatnya merupakan tempat prasasti gaib berisi petuah raja.

Hutan desa itu seluas 1,2 hektare yang menyatu dengan tanah tegalan milik masyarakat, dilewati oleh sungai dengan jurang terjal menjadikanya sulit dijangkau.

Desa yang jauh dari keramaian kota itu adalah Desa Bulian, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali utara yang berjarak sekitar 17 km timur Kota Singaraja, atau 97 km timur laut Kota Denpasar.

“Di desa tua itulah boleh percaya, boleh tidak, tersimpan sejumlah prasasti berbentuk lempengan tembaga di alam gaib yang antara lain memuat petuah sang raja, agar diantara raja-bagawan (tokoh agama) dan masyarakat tetap menjalin rasa persatuan dan saling menghormati satu sama lain,” tutur salah seorang tokoh masyarakat setempat I Gede Suardana Putra (58).

Mantan Kepala Desa Bulian selama dua periode 1996-2001 dan 2001-2006 itu menjelaskan, prasasti alam gaib itu dalam sejarah pernah tiga kali dipanggil (dipendak secara ritual) untuk kepentingan persatuan dan kesatuan di Nusantara.

Pertama tahun 1936 yang bertujuan untuk mempercepat proses penjajahan Belanda meninggalkan Indonesia, tahun 1941 untuk mempercepat proses Indonesia merdeka, dan terakhir pada Agustus 1999 ketika kondisi memasuki masa reformasi di Indonesia kurang kondusif.

Suardana yang berperan serta dalam pemanggilan prasasti di alam gaib 14 tahun yang silam itu menuturkan, jika masyarakat setempat membutuhkan mengetahui isi prasasti atau untuk upacara keagamaan, prasasti itu akan muncul sendiri dalam kawasan hutan lindung tersebut.

“Pemanggilan prasasti alam gaib yang saat itu sempat disaksikan Dewa Made Beratha yang kala itu menjabat Gubernur Bali, prasastinya berbentuk lempengan tembaga, warna keemasan berukuran sekitar 15 kali 20 sentimeter tersimpan di alam gaib yang awalnya secara kasat mata tidak bisa dilihat,” tutur Gede Suardana.

Jero Mangku, pemimpin upacara keagamaan di Desa Bulian bersama sebelas orang yang telah ditentukan, melakukan meditasi dan persembahyangan di tepi jurang Sungai Buah di kawasan hutan pada tengah malam, tanpa menggunakan penerangan apapun.

“Seandainya Yang Di Atas berkenan, selesai sembahyang prasasti itu akan muncul dengan sendirinya, seperti yang dilakukan pada tahun 1999 itu mendapatkan 17 lempeng prasasti,” jelas suami dari Ni Nyoman Armini itu.

Ayah dari dua putra, dan kakek seorang cucu itu menuturkan, menuju Pura Pingit, yang berjarak sekitar tiga kilometer dari pemukiman penduduk yang masuk kawasan hutan di tepi jurang yang terjal itu, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki, dilakukan pada tengah malam, dengan pantangan tanpa menggunakan lampu atau api dalam keheningan suasana gelap gulita.

Kesebelas orang yang menjemput prasasti sejak awal sudah mempersiapkan diri, yakni selama sebelas hari menjalani puasa (tapa beratha) yakni tidak makan daging dari hewan atau binatang berkaki empat.

“Jika persyaratan skala dan niskala itu sudah dipatuhi, tak lama kemudian secara tiba-tiba sudah ada sejumlah prasasti di sekitar lokasi Jro Mangku menggelar acara ritual yang kemunculannya ditandai dengan terjadinya puting beliung (angin menginus),” tutur Gede Suardana.

Setelah prasasti itu didapat, benda keramat itu selanjutnya dibawa oleh anak-anak seusia sekolah dasar atau yang belum menginjak dewasa serta mengikuti aturan, yakni sebelas hari tinggal dalam kawasan Pura.

Gerbang emas Pura di alam gaib di tengah kawasan hutan lindung tempat menyimpan prasasti, konon dengan pintu gerbang dari emas dilengkapi dengan kolam dan bangunan suci bertingkat lima (meru) dijaga oleh lima ekor naga.

Di tempat itu juga pernah ditemukan genta (bajra) alat yang biasa digunakan pendeta atau pemimpin upacara umat Hindu mengumandangkan mantra-mantra (doa) yang bertahun saka 300 atau abad ke III, sehingga genta itu kini sudah berusia 17 abad.

Genta dan sejumlah prasastri alam gaib itu pernah diteliti oleh Balai Arkeologi Denpasar maupun dosen Fakultas Sastra Univeristas Udayana Prof Dr Suarka. Dengan penemuan genta itu Desa Bulian yang dihuni sejak zaman dulu umumnya diperkirakan lebih tua dari kerajaan Kutai, Kalimantan Timur yang merupakan kerajaan Hindu pertama di Indonesia.

Gede Suardana menjelaskan, konon di Pura dan prasasti di alam gaib itu pernah berdiri Kerajaan Yeh Banyu Buah yang lebih tua daripada Kerajaan Kutai, Kalimantan Timur.

“Namun kebenaran itu masih perlu diperkuat oleh hasil-hasil penelitian yang hingga sekarang diwarisi masyarakat setempat, baik dalam bentuk tempat suci, warisan budaya dan tradisi masyarakat setempat,” tutur Gede Suardana yang kini aktif mengabdi pada Yayasan Sabda Budaya Hindu Bali.

Desa Bulian selain mewarisi Pura Pingit, juga Pura Yeh Basang, Pura Banua, Pura Penyusunan, di samping tiga pura masing-masing Pura Bale Agung, Puseh dan Dalem seperti yang umumnya dimiliki masing-masing desa adat (Pekraman) di Pulau Dewata.

Unik dan langka Sebanyak 17 prasasti alam gaib yang terakhir dipanggil pada tahun 1999 itu untuk memohon keselamatan agar peralihan orde baru memasuki era reformasi itu tetap dalam kondisi kondusif, aman dan nyaman serta masyarakat satu sama lainnya saling menghormati.

Prasasti unik dan langka itu selanjutnya dibaca oleh ahli purbakala dan Balai Arkeologi Denpasar yang diawali dengan rangkaian upacara keagamaan dan persembahyangan bersama melibatkan ribuan masyarakat setempat.

Melengkapi ritual tersebut, dipentaskan tari Baris Gede dan tari Rejang, keduanya tarian sakral yang dibawakan oleh anak-anak pria sebelum menginjak dewasa untuk tari baris dan anak-anak perempuan sebelum berusia remaja bagi tari Rejang.

Tim ahli purbakala yang beranggotakan lima orang saat itu berhasil membaca beberapa bagian dari 17 prasasti berhuruf Jawa kuno yang dibuat dari bahan lempengan tembaga warna keemasan.

Prasasti itu dibuat sekitar tahun 1002, pada zaman pemerintahan raja-raja di Nusantara dan di belahan bumi utara Pulau Bali pada waktu itu diperintah oleh Raja Jaya Pangsa dan Prameswara.

Hasil kesimpulan prasasti itu, memuat petuah sang raja, agar diantara raja-bagawan (tokoh agama) dan masyarakat tetap menjalin rasa persatuan dan saling menghormati satu sama lain.

Huruf yang terpahat di lempengan tembaga itu sebagian besar kabur (rusak), namun tim ahli purbakala bisa membaca sepotong-sepotong sehingga harus bekerja keras untuk menyimpulkan makna prasasti secara keseluruhan.

Ke-17 prasasti yang dibaca dalam bangunan suci (paruman) yang ditutup keliling dengan kain warna putih, hanya bisa disaksikan oleh pendeta (Pemimpin upacara keagamaan umat Hindu) yang saat itu datang dari delapan kabupaten dan satu kota di Pulau Dewata.

Selesai dibaca oleh tim ahli purbakala, prasasti dikembalikan lagi oleh Jro Mangku dan pemuka masyarakat ke tempat semula di alam gaib dalam kawasan hutan di tepi jurang dengan cara mengadakan kegiatan ritual.

Selesai acara ritual digelar, prasasti itu hilang, kemudian bisa muncul kembali jika masyarakat setempat memerlukan di kemudian hari, namun hingga sekarang dalam kurun waktu 14 tahun terakhir pemanggilan prasasti alam gaib itu belum pernah dilakukan lagi.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika beberapa kali pernah melakukan persembahyangan ke Pura Pingit Desa Bulian, namun belum pernah ikut melakukan “pemendakan” prasasti alam gaib seperti gubernur sebelumnya Dewa Made Beratha.

Salah seorang Jero di Desa Bulian menuturkan, menjemput prasasti yang tersimpan di alam gaib itu tidak selalu membuahkan hasil, sesuai harapan dan keinginan, namun sering pula gagal.

Kegagalan itu umumnya dapat perkirakan, orang-orang yang ditunjuk dan dipercayakan menjemput prasasti tidak menenuhi “persyaratan skala dan niskala”.

Kegagalan itu beberapa kali pernah terjadi, dan masyarakat mengulangi kembali dengan mengetatkan persyaratan bagi mereka yang mendapat kepercayaan menjemput prasasti dalam kawasan hutan lindung. Ketut Sutika/Antara