Jakarta (Metrobali.com)-

“Usianya 16 tahun pada saat itu. Ketika diautopsi, ternyata pada tubuh anak saya terdapat luka memar di mana-mana,” kenang Suhudin (50), anggota kepolisian di Samarinda, Kalimantan Timur.

Anak Suhudin bernama Ramadan Suhudin (16) meninggal empat tahun silam akibat tindakan penyiksaan yang dilakukan aparat di salah satu polres di Samarinda.

Ramadan diduga mencuri sepeda motor bersama dengan tujuh orang lain yang diamankan. Karena tidak mau mengakui perbuatan yang dituduhkan padanya, Ramadan pun mendapat relatif banyak pukulan dan siksaan hingga akhirnya tewas.

“Anak saya tidak terbukti melakukan pencurian. Dia hanya korban rekayasa kasus,” tutur Suhudin dengan mata berkaca-kaca.

Sebagai orang yang paham akan hukum, Suhudin pun berusaha mencari keadilan dengan melaporkan penyidik yang diduga menyiksa anaknya hingga ke ranah pengadilan.

“Dalam pengusutan, sangat jelas ada pelaku, korban, dan saksi. Namun, permintaan jaksa tidak pernah dipenuhi penyidik sehingga tidak ada sanksi apa pun yang dijatuhkan pada oknum aparat tersebut,” katanya.

Tak berbeda dengan Suhudin, pil pahit pun sempat dicecap Ismail (36), mantan teknisi yang dijadikan tersangka dugaan pencurian uang sejumlah Rp200 juta di salah satu ATM daerah Ciputat, Tangerang Selatan, pada tahun 2014.

“Tadinya saya dimintai keterangan sebagai saksi. Akan tetapi, sesampainya di Polres Jakarta Selatan saya mendapat berbagai penyiksaan, mulai fisik, psikis, hingga pelecehan seksual,” tuturnya.

Tidak hanya tamparan, pukulan, dan tendangan yang diterima, pelipis Ismail bahkan ditodong dengan senjata. Dia diancam akan dibunuh jika tidak mengaku sebagai pencuri uang tersebut.

“Sambil ditodong, saya disuruh mengakui perbuatan saya dan komplotan. Saya bingung karena tidak pernah melakukan perbuatan itu,” ujarnya perlahan.

Akhirnya, karena tubuhnya sudah berontak kesakitan dan takut nyawanya dihabisi, Ismail pun terpaksa mengarang dan menyebutkan sejumlah nama yang diakuinya sebagai teman-teman komplotannya ketika melakukan pencurian di ATM.

“Setelah mengaku saya dibuatkan berita acara penahanan,” katanya.

Dua hari kemudian, atas bantuan advokasi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Ismail ditangguhkan penahanannya hingga polisi berhasil menemukan pelaku sebenarnya.

Dua kesaksian di atas menunjukkan potret buram penegakan hukum di negara ini. Betapa ironis ketika polisi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat justru menjadi pelaku utama praktik kekerasan dan penyiksaan terhadap warga sipil yang tidak bersalah.

Dalam laporan tahunan berjudul “Mendelegitimasikan Praktik Penyiksaan di Indonesia” yang dirilis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada hari Kamis (25/6), institusi Polri berada pada peringkat pertama pelaku penyiksaan dengan jumlah 35 tindakan penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi lainnya.

“Tindakan polisi mengakibatkan 37 orang menjadi korban dengan perincian sembilan orang tewas, 27 orang luka-luka, dan seorang luka ringan,” kata Ketua Biro Riset KontraS Puri Kencana Putri dalam diskusi publik berjudul “Peningkatan Peran Negara untuk Pencegahan, Penghentian Praktik Penyiksaan, dan Perlindungan bagi Korban” di Jakarta, Kamis (25/6).

Peringkat kedua, petugas sipir penjara, yaitu 15 tindakan penyiksaan yang mengakibatkan empat orang tewas, 32 orang luka-luka, dan tujuh orang luka ringan.

Masih menurut hasil riset KontraS, peringkat ketiga adalah TNI dengan sembilan tindakan penyiksaan yang menyebabkan tiga orang tewas dan 20 orang luka-luka.

“Selain itu KontraS juga mencatat 25 hukuman cambuk yang dilakukan oleh aparat Pemda Aceh, dalam hal ini Kejaksaan Negeri Provinsi NAD. Sebanyak 183 orang mendapat hukuman cambuk karena penerapan Qanun Jinayat di provinsi tersebut,” kata Puri.

Sependapat dengan Puri, anggota Ombudsman RI Budi Santoso pun menyatakan bahwa selama 2014 terdapat 852 laporan pengaduan masyarakat terkait dengan penyiksaan yang 331 di antaranya merupakan laporan terkait dengan perilaku penyidik kepolisian.

“Berdasarkan riset yang kami lakukan, tindakan penyiksaan pada saat penangkapan dan penahanan cukup rendah. Namun, ketika masuk ke proses penyidikan justru persentasenya (tindakan penyiksaan) paling tinggi,” tuturnya.

Tindakan penyiksaan dalam penangkapan dan penahanan paling banyak dilakukan oleh kepolisian resor (polres) dengan persentase 66,7 persen, sedangkan sisanya dilakukan oleh kepolisian sektor (polsek) sebanyak 33,3 persen.

Di level penyidikan, persentase tindak penyiksaan hampir merata, yakni kepolisian daerah (polda) 33,3 persen, polres 43,3 persen, kepolisian resor kota (polresta) 13,3 persen, dan polsek 10 persen.

Sementara itu, LBH Jakarta sebagai lembaga advokasi masyarakat selama 2013–2015 telah menangani 13 kasus penyiksaan dengan korban berjumlah 18 orang yang lima di antaranya masih anak-anak.

Salah satu kasus yang ditangani LBH Jakarta adalah kasus salah tangkap pengamen Cipulir bernama Andro dan Nurdin. Dalam berita acara pemeriksaan (BAP), mereka berdua mengaku melakukan tindak pembunuhan. Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut, rupanya pengakuan tersebut diperoleh setelah keduanya mengalami penyiksaan oleh penyidik kepolisian, yakni ditendang, dipukul, disetrum, ditodong senjata, ditelanjangi, dan diminta lari keliling lapangan.

Penyebab Maraknya praktik penyiksaan di Indonesia itu, menurut KontraS, disebabkan karena lima penyebab, di antaranya absennya penegakan hukum yang jauh dari prinsip transparansi, akuntabel, jujur, dan adil terhadap aparat yang melakukan tindak penyiksaan.

Kedua, digunakannya mekanisme etik atau internal untuk menghukum aparat penegak hukum yang melakukan penyiksaan hanya menitikberatkan pada sanksi administratif sehingga memperpanjang rantai impunitas.

“Mekanisme internal atau etik apakah benar-benar bisa menjadi alat penghukuman atau hanya sebagai sarana impunitas,” tutur Puri.

Ketiga, terbatasnya pemahaman dari sisi aparat penegak hukum terkait dengan pemenuhan hak-hak korban dan kemampuan institusi penegak hukum untuk bisa mendorong lahirnya efek jera kepada oknum pelaku penyiksaan.

Keempat, rendahnya kapasitas negara untuk mempercepat revisi atas peraturan perundang-undangan, khususnya KUHP dan KUHAP, terutama dalam pasal-pasal penghukuman terhadap praktik penyiksaan dan tindakan kejam lainnya.

Terakhir, rendahnya kemauan negara untuk mempercepat pengesahan RUU Antipenyiksaan mengingat telah lebih dari 10 tahun setelah pemerintah meratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Namun, hingga kini belum ada langkah strategis untuk mempercepat pengesahan RUU tersebut.

“Kita butuh satu undang-undang untuk menghukum pelaku penyiksaan. Kalau KUHP susah diperbaiki, paling tidak harus ada tambahan UU amendemen untuk mengatur (masalah) penyiksaan ini,” kata Puri.

Rekomendasi Memperingati Hari Antipenyiksaan Sedunia yang jatuh pada tanggal 26 Juni lalu, baik KontraS maupun LBH Jakarta mendesak pemerintah dan DPR RI untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP sebagai prioritas yang di dalamnya mengatur pasal-pasal antipenyiksaan.

“Berdasarkan data yang kami himpun dari pengaduan langsung ke LBH Jakarta, kami menyimpulkan bahwa praktik penyiksaan masih sering dilakukan oleh aparat penegak hukum. Namun, hingga kini tidak ada regulasi yang jelas untuk mengatur penindakan bagi para pelaku penyiksaan itu,” ujar salah satu pengacara publik LBH Jakarta Revan Tambunan dalam acara “Korban Penyiksaan Menggugat Negara” di Jakarta, Jumat (26/6).

Meskipun beberapa pasal, yakni Pasal 351 sampai Pasal 357 dan Pasal 421 sampai Pasal 422 KUHP sudah mengatur sanksi bagi pelaku penyiksaan, kata Revan, rupanya itu belum cukup untuk mengecam para pelaku penyiksaan yang masih didominasi oleh aparat kepolisian.

“Praktik pelaksanaan pemeriksaan dan penyidikan masih dilakukan dengan metode militerisme, yakni penyidik melakukan penyiksaan hanya untuk mengejar pengakuan dari tersangka agar sebuah kasus bisa diungkap,” tuturnya.

Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Internasional Anti-Kekerasan (UNICAT) pada tahun 1998. Namun, isi konvensi tersebut tidak dijalankan secara maksimal sehingga perlu ada perubahan kebijakan untuk memaksimalkan perlindungan terhadap korban penyiksaan dan hukuman yang pantas bagi pelakunya.

Oleh karena itu, LBH Jakarta merekomendasikan pemerintah untuk meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Anti-Penyiksaan (OPCAT) serta mengatur adanya mekanisme internal guna pemulihan hak-hak korban penyiksaan.

OPCAT sendiri merupakan perangkat hukum yang dinilai efektif untuk mencegah penyiksaan karena mengatur tentang mekanisme pencegahan dan komprehensif.

“Indonesia memang sudah meratifikasi UNICAT. Akan tetapi, kenapa aturan teknisnya (OPCAT) tidak diratifikasi sekalian?” kata pengacara publik LBH Jakarta Ichsan Zikry dalam acara yang sama.

Selain itu, LBH Jakarta juga mendesak Kapolri untuk menciptakan sebuah kebijakan dalam institusi Polri untuk menindak tegas aparatnya yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan tindak penyiksaan, yang nantinya akan berujung pada penghapusan praktik penyiksaan di tubuh instansi kepolisian.

“Selama ini polisi menganggap penyiksaan adalah hal yang wajar karena mereka beranggapan bahwa orang yang mereka tangkap adalah penjahat sehingga wajib diperlakukan seperti penjahat,” ujar Ichsan.

Menanggapi tudingan tersebut, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol. Krishna Murti tidak menampik fakta bahwa benar dalam menjalankan tugasnya untuk melindungi harta, benda, dan jiwa masyarakat, polisi kerap kali melakukan berbagai tindakan polisional yang beberapa di antaranya berujung pada penyiksaan.

“Praktik penyiksaan tersebut merupakan ‘impact’ dari ketidakmampuan suatu organisasi. Harus diakui bahwa makin tinggi kapabilitas seseorang dalam melakukan tindakan polisional, akan makin sedikit tindakan kekerasan yang dilakukan dalam menyelidiki atau menyidik suatu kasus,” tuturnya.

Ia pun mengatakan bahwa selama ini Polri terus berupaya meningkatkan kapabilitas institusi, terutama dengan pemanfaatan teknologi dan peningkatan sumber daya manusia.

“Misalnya, sekarang penyidik harus berijazah minimal S-1 supaya mereka tahu bagaimana menerapkan cara-cara penegakan hukum yang profesional,” ujarnya.

Krishna juga menegaskan bahwa pemahaman tentang HAM dan praktik antipenyiksaan yang sering kali diserukan oleh banyak pihak, tidak akan ada artinya jika kapabilitas organisasi penegak hukum tidak dibangun dengan baik. AN-MB