Jakarta (Metrobali.com)-

Partai dengan corak agama kalah populer dengan partai nasional menjelang Pemilu 2014 karena gejala talibanisasi di Indonesia, kata Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir.

“Masyarakat kini mengeneralisasikan Islam dengan beberapa gerakan sosial keagamaan yang bercorak skripturalis dan cenderung menghasikan kemajemukan,kita patut mewaspadai munculnya gejala talibanisasi yang akan mengkerdilkan mozaik keislaman di Indonesia,” kata Haedar saat acara peluncuran buku “Islam Syariat” di Jakarta, Rabu (17/7).

Menurut Haedar, gejala talibanisasi ditandai oleh munculnya peraturan yang mengharamkan tarian daerah dilakukan oleh wanita dewasa, larangan bagi peremupuan untuk mengendarai sepeda motor dan pelaksanaan hukum cambuk.

Mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Azyumardi Azra berkomentar kebijakan seperti itu didasarkan pada model penafsiran syariat islam yang sempit dan monolitik, sehingga menciptakan diskriminasi bagi perempuan di ranah publik.

“Ideologis seperti hukuman potong tangan merupakan diskriminasi bagi umat Islam sendiri jika diterapkan di Negara ini. Indonesiakan beragam, kalau Islam mencuri tangganya dipotong berarti pencuri yang beragama lain hukumannya penjara, itu tidak adil,” ujar Azyumardi.

Menurut Anggota Komite Etik KPK, Buya Shafii, urusan Negara dengan urusan agama seharusnya dipisah. Jika tidak diawasi, gerakan dengan politik identitas berlabel islam dapat meruntuhkan bangunan kebhinnekaan.

“Sepatutnya Indonesia yang dibangun di atas fondasi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, tidak lagi sibuk mempersoalkan hubungan Islam dan kenegaraan,” ujar Buya Shafii.

Dibanding era demokrasi parlementer, partai islam seperti Masyumi dan NU menjadi kompetitor terkuat bagi partai nasionalis seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), menurut Buya Shafii, berbeda dengan era sekarang yang telah terbentuk opini tersendiri di publik tentang partai dengan corak agama. AN-MB