ilustrasi politik

“Saya ini daging tua, tidak menarik diterjang peluru… Ya… paling-paling jadi pupuk…,” demikian potongan-potongan ucapan Romo Mangun yang terdengar panitia di Hotel Le Meridien, Jakarta, dalam obrolan saat rehat siang, sesaat sebelum ia meninggal dunia karena serangan jantung.

Di awal tahun 1999 itu, Romo Mangun menghembuskan napas terakhir dengan cara mulia, sebagai cendekiawan, saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar.

Budayawan Mohamad Sobary menjadi salah seorang saksi terakhir kehidupan Romo Mangun, yang siang itu tiba-tiba saja memeluknya sebelum kepalanya jatuh terkulai di pundaknya.

Siapakah Romo Mangun ? Apa pentingnya Rohaniawan “penunggu” Kali Code, Yogyakarta ini buat masyarakat majemuk dengan beraneka ragam budaya, agama, suku dan adat istiadat di Indonesia?.

Tentunya ada yang menarik dari sosok Romo Mangun yang memiliki nama asli Y.B. Mangun Wijaya. Sepak terjangnya bisa ditelusuri dalam sebuah buku mungil berjudul “Kata-Kata Terakhir Romo Mangun” yang dieditori Bambang Murtianto ini.

Ada inisiatif besar melalui buku yang diterbitkan Kompas pada 2014 ini yakni menghidupkan pesan moral Romo Mangun bagi kehidupan generasi bangsa Indonesia di era modern saat ini.

Dalam buku itu, pembaca juga dapat mengetahui rekam jejak menjelang akhir hidup Romo Mangun, baik dalam hal pemikiran politik maupun religiusitas.

Melihat sepak terjangnya selama hidupnya, mungkin masyarakat umum tidak banyak yang mengetahui.

Tapi, bagi masyarakat miskin dan lemah, khususnya kaum petani Kedungombo yang kampungnya bakal terendam air waduk di penghujung dekade 1980-an, sosok Romo Mangun merupakan pahlawan “wong cilik” sekaligus inspirator buat mereka yang ingin bangkit dari keterpurukan.

Ahmad Sobari dalam pengantar di buku ini menyebut Romo Mangun adalah pemimpin kelompok kecil, minoritasnya kaum minoritas, tetapi bukan pemimpin kecil.

Beliau menampilkan kebesaran jiwa pemimpin, yang namanya melambung tinggi dan kehadirannya diterima sebagai bagian dari pemimpin masyarakat yang memperkaya kepemimpinan bangsa. Pemikiran serta segenap karyanya memberi inspirasi banyak kalangan dalam masyarakat.

Selain rohaniawan, Romo Mangun juga dikenal sebagai arsitektur, novelis, dan seorang esais. Selama hidupnya diabdikan bagi kepentingan masyarakat yang memerlukan bantuannya. Bahkan ia suka berbaur dengan lingkungan sosial.

Romo Mangun tidak apatis dalam hal politik. Walaupun ia pernah dikritik oleh Soeharto sebagai pemimpin negara ini pada waktu itu, tetapi Romo Mangun sendiri mempunyai pandangan yang luas tentang politik.

Ia membagi pengertian politik itu ada dua macamnya. Pertama, politik dalam rangka kekuasaan, yaitu bagi yang berkuasa untuk mempertahankan dan melaksanakan kekuasan. Nah, inilah yang masyarakat umum selama ini memahaminya, sehingga memuncul istilah “politik itu kotor”.

Kedua, politik moral, yaitu niat demi kepentingan orang banyak. Inilah sebenarnya arti politik sesungguhnya.

Bahkan, Romo Mangun juga mengatakan kalau sampai akademisi dan pengamat politik berpendapat bahwa dalam politik tidak ada kawan abadi, yang ada kepentingan abadi, maka hal itu sangat menyedihkan sekali.

Baginya, mereka hanya ikutan-ikutan dengan paradigma politik kekuasaan tersebut.

Padahal dari segi politik moral, teman abadinya cuma tiga prinsip yakni memperjuangkan apa yang benar, apa yang baik, dan apa yang indah. Ini temannya yang abadi-sejati, dan jelas tidak bisa berubah.

Selain itu, keberanian Romo Mangun membela kaum petani dalam masa Orde Baru patut mendapat apresiasai. Tentu ini ada hubungannya dengan pemikirannya mengenai kekayaan budi yang terdapat dalam kaum miskin.

Dalam buku ini dijelaskan juga pandangannya mengenai kaum miskin.

Namun, bila kita langsung menghadapi dan menghayati para miskin dalam praktik sehari-hari.

Dalam banyak perkara mereka yang disebut miskin itu sungguhlah kaya. Kaya dalam sikap dan keuletan, kaya dalam sifat yang benar-benar memanusiakan manusia, kaya akan sikap dan penghayatan keadilan, pengorbanan, dan pertolongan kepada sesama senasib, kaya dalam peradaban dan budaya manusia sejati.

Kaum miskin punya bentuk-bentuk kekayaan yang tidak kita punyai dan yang sering membuat mereka berstatus mahaguru rohani untuk kita. Memanglah ada aspek-aspek perjuangan untuk dan demi kaum miskin dari pihak kita, akan tetapi ada aspek lain juga, yakni lewat dialog eskiistensial dengan mereka.

Kita dapat belajar banyak dari kekayaan mereka berupa kemanusiawian sejati yang adil dan beradab, yang ulet, yang sabar dan kokoh-bertahan dalam situasi kondisi yang begitu berat sehingga boleh jadi membuat kita sudah amat pagi berputus asa seandainya kita digilas seperti mereka digilas.

Romo Mangun juga menyadarkan pembaca betapa mental kolonial itu masih terasa dan nyata adanya di sekitar kita meski Indonesia telah resmi merdeka pada 17 Agustus 1945.

Sebelum meninggal, di tempat yang sama, Romo Mangun sempat bercakap dengan editor buku ini tentang tugas generasi muda selanjutnya bagaimana.

Akan tetapi Romo Mangun sendiri pernah menulis artikel tersebut yang dimuat di Kompas, 5 Desember 1997 yang berjudul: “Tugas Generasi Muda: Demi Tahun 2045”, sehingga Romo Mangun berpesan bacalah artikel tersebut.

Dalam artikel tersebut, Romo Mangun mengungkapkan bahwa dari generasi mudalah akan timbul perbaikan secara fundamental. Hal ini tentu mengaca pada sejarah bahwa banyak generasi muda seperti disebutkannya Soekarno-Hatta, Gandhi-Nehru dan lainnya telah memberi pencerahan-pencerahan lewat paradigma barunya.

Walhasil, tidak khayal jika Romo Mangun berharap memiliki negara dan masyarakat hukum yang bersih sehingga dapat dibanggakan, serta bebas dari ketakutan.

Demikianlah pesan terakhir dari Romo Mangun untuk bangsa Indonesia terlebih bagi generasi muda demi menyongsong tahun 2045 sebelum menghembuskan napas terakhirnya.

Pada bagian berikutnya, buku ini berisi surat terbuka Romo Mangun untuk BJ Habibie yang waktu itu menjadi presiden setelah lengsernya Soeharto. Jika membaca surat tersebut tampak sekali bahwa antara Romo Mangun dengan Pak Habibie menunjukkan adanya hubungan yang erat antara keduanya.

Selain itu, bagian selanjutnya ada lembaran-lembaran memori Romo Mangun yang lain, baik pandangan tokoh mengenai perjuangannya hingga arsip tulisan beliau.

Akhirnya, semoga buku setebal 190 halaman ini dapat mewujudkan harapan tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap seorang Romo Mangun khususnya dan untuk kepentingan bangsa Indonesia lebih luasnya. AN-MB