DEMAM tahunan budaya jalanan (urban) sebagai wujud berpikir, cara merasa dan bertindak di tengah konstelasi kehidupan masyarakat modern perkotaan kekinian dalam dinamika kreatif selama ini seakan terkesan tampil terdepan menjadi media edukasi publik yang dikonstruksi paling merakyat. Padahal, tanpa disadari jauh dibalik gemerlap kreativitas seni dan budaya yang cenderung sebagai kebutuhan pencarian dan pemuasan hasrat diri tersebut terdapat praktik hegemoni kebijakan publik, yakni sebuah konstruksi politik rekayasa budaya jalanan dalam upaya mewujudkan kepentingan pencitraan relasi kuasa atas kekuasaan integritas diri dari para elite politik penguasa pemangku kebijakan di tengah kehidupan birokrasi pemerintahan.

Konstruksi budaya jalanan tahunan sebagai sebuah wujud kreativitas berkesenian dalam upaya melanggengkan esensi peradaban kebudayaan bangsa bahkan acapkali dijadikan proses interaksi memanipulasi denyut nadi pergerakan kemajuan ekonomi kerakyatan berbasis kearifan lokal yang bersifat sesaat dan disinyalir menyesatkan secara sistematis. Ironisnya, narasi tentang aktivitas budaya jalanan tahunan tersebut bahkan sengaja disajikan dalam beragam bahasa ungkap yang penuh pujian dan kebanggaan dari segenap potensi dan realitas keragaman sosial, ekonomi, serta seni dan budaya untuk membangun citra positif yang lekat di mata dan hati publik secara regional, nasional maupun dunia.

Pada dasarnya memang wujud budaya jalanan tahunan sengaja hadir dengan beragam perangkat yang sangat serba praktis agar mudah berpindah ruang dan waktu dalam sekejap sebagai konstelasi pengembangan kebudayaan bangsa yang menstimulus inspirasi inovasi dan kreativitas ide monumental dari kehidupan perkotaan kekinian yang terus bergerak sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman. Terlebih lagi, kreativitas seni dan budaya telah ditasbihkan menjadi industri kreatif yang dianggap sebagai aset, sumber daya, alat, pola berpikir serta metode peluang, kesempatan dan problematika untuk merefleksi kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah peradaban global dengan teknologi serba canggihnya.

Namun, bukan berarti posisi strategisnya senantiasa dapat dikonstruksi dengan sesuka hati ataupun bahkan secara sengaja mengorbankan kepentingan kemaslahatan publik atas dasar akrobatik ataupun kongkalikong aturan dan ketentuan hukum yang selalu terkooptasi dan terhegemoni kepentingan kapitalisme global untuk kepuasan nafsu duniawi semata. Dalam konteks ini, proyek budaya pencitraan integritas diri para elite politik penguasa pemangku kebijakan dalam politik rekayasa budaya jalanan tahunan kecenderungan terkesan atas dasar relasi kuasa dari kekuasaan di tengah kehidupan birokrasi pemerintahan demi kepuasan nafsu duniawi bersifat pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu.

Kompleksitas dari politik rekayasa budaya jalanan tahunan sejatinya akan lebih elok dan elegan tampil secara independen ketika disajikan melalui sentuhan kreativitas yang mampu mensinergiskan beragam kepentingan tanpa harus mengorbankan kemaslahatan publik dan apalagi harus memanipulasi grafik pergerakan kemajuan ekonomi dengan mengeksplorasi seni budaya berbasis kearifan lokal secara kebablasan hanya demi kebijakan sebuah industri kreatif yang memuaskan nafsu duniawi dari pencitraan integritas diri bersifat pribadi maupun kelompok/golongan tertentu semata.

Narasi perlawanan dalam wujud kritik atas kebangkitan dari politik rekayasa budaya jalanan tahunan sejatinya bukan sekadar bahasa pengingat ataupun upaya penolakan tanpa kesadaran budaya yang beradab dan bermartabat, melainkan justru sebaliknya merupakan upaya penguatan nilai dan makna dari kreativitas politik rekayasa budaya jalanan tersebut sebagai penghormatan multi-kulturalisme secara sinergis seiring perkembangan dan peradaban zaman di tengah kehidupan masyarakat modern perkotaan kekinian yang dituntut selalu kreatif dan inovatif. Sehingga, tidak hadir sebagai budaya cacat moral ataupun budaya salah kaprah atas dasar praktik kongkalikong politik demokrasi yang melanggar aturan ataupun ketentuan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bermasyarakat secara masif dan sistemik.

Marjinalisasi daya kritis dalam realitas kolektif di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara secara kebablasan sejatinya sama saja dengan mengingkari sejarah pergerakan reformasi demokrasi yang berpijak kepada harapan publik. Artinya, tidak hanya mengegemoni hak dan kewajiban atas kebebasan berekspresi dan otonomi berpolitik sebagai warga negara yang baik dan taat aturan serta ketentuan hukum berkeadilan, tapi juga menghambat proses kelahiran kolektif figur pemimpin bangsa berkualitas yang berbasis kebangsaan dan keteladanan pluralis dalam kehidupan multikulturalisme.

Dalam konteks ini, sesungguhnya dinamika kritis bukan sekadar tindakan anti atas adanya politik rekayasa budaya jalanan tahunan tersebut. Bahkan, aspek paling berbahaya dari kedaulatan politik rekayasa budaya jalanan tahunan ini semestinya tidak dijadikan hambatan bagi semangat pelestarian dan pengembangan pembangunan dari proses peradaban kebudayaan bangsa supaya tetap mampu bersaing di tengah gejolak industri global pariwisata dunia, melainkan harus mampu dijadikan sebagai proses kreatif dalam menemukan formula baru dari kebijakan politis yang lebih mencerahkan dan mencerdaskan bagi kepentingan khalayak publik, sehingga tidak tumbuh dan berkembang menjadi budaya salah kaprah atau budaya cacat moral tanpa nilai adiluhung, ruh dan taksu yang mendunia.

 

Ancaman

Praktik reformasi demokrasi di negeri ini telah memasuki satu dekade lebih, sekitar 15 tahun, sejak bergulir di tahun 1998 silam. Sayangnya, dalam perjalanannya belum mampu memenuhi harapan publik. Bahkan disinyalir justru telah melahirkan beragam gejolak sosial dan konflik kebangsaan yang sangat memprihatinkan sekaligus membahayakan bagi ketahanan dari kedaulatan dan keutuhan bangsa dan negara. Tragisnya, praktik korupsi di tengah kehidupan birokrasi pemerintahan justru semakin merajarela dengan beragam modusnya secara masif dan sistemik. Faktanya, satu demi satu para elite politik penguasa pemangku kebijakan tersandera praktik korupsi dan secara sukarela dipaksa oleh lembaga hukum termasuk komisi pemberantasan korupsi (KPK) harus menjalani kehidupan barunya di hotel prodeo alias dibalik jeruji besi, atau penjara.

Memasuki tahun politik saat ini disinyalir praktik politik rekayasa budaya jalanan tahunan tersebut dapat dipastikan akan semakin tumbuh subur dalam beragam dimensi kehidupan perpolitikan kekinian. Jika tidak diantisipasi secara cermat praktik politik rekayasa budaya jalanan tahunan ini justru dapat menjadi ancaman serius bagi proses berdemokrasi, yang kini sedang memasuki tahapan ujian paling menegangkan dan menentukan atas posisi strategisnya dalam kompetisi pemilihan umum (Pemilu) tahun ini. Terlebih lagi, praktik kongkalikong aturan dan ketentuan hukum kini semakin merajarela. Sehingga, upaya fokus untuk melindungi kepentingan kemaslahatan publik semakin terabaikan dan bahkan acapkali hanya dicap sebagai dagelan ataupun parodi demokrasi.

Atas dasar itulah, khalayak publik termasuk para insan pers baik media massa cetak maupun elektronik serta sejenisnya yang menjadi gudang informasi publik yang bernilai edukatif dan mencerahkan harus senantiasa berani bersikap dan bertindak tegas serta memiliki nyali besar untuk melakukan segala bentuk perlawanan dan kontrol sosial terhadap berbagai upaya hegemoni ataupun feodalisasi kebenaran atas kehendak ataupun keinginan dari para elite politik penguasa pemangku kebijakan serta para kaum kapitalisme global dengan selalu mengedepankan etika dan norma hukum yang berlaku. Sehingga, praktik reformasi demokrasi nantinya tidak mengalami kemunduran ataupun kelumpuhan nalar dan logika serta elektabilitas secara masif dan sistemik. WB-MB