Oleh: I Gde Sudibya

Kontestasi pilpres di AS baru saja usai, pemenangnya sebagaimana diberitakan secara luas, calon dari Partai Demokrat Joe Biden dengan wakilnya wanita berdarah India Hindu Kamala Harris. Sesuai dengan Konstitusi AS mereka direncanakan akan dilantik tanggal 20 Januari 2021 sebagai Presiden dan Wakil Presiden ke 46 AS.

Sebagai negara yang dikategorikan sebagai negara adi kuasa, dinamika politik di negara Paman Sam ini selalu menjadi perhatian masyarakat dunia, karena di masa lalu yang dekat, negara ini dikenal sebagai kampiun demokrasi, menjadi batu penjuru banyak negara tentang sejumlah isu: kebebasan berpendapat, penghargaan tinggi terhadap multi kulturalisme dan bahkan dalam sejarahnya raison detre dari negara bangsa ini adalah pluralisme.

Hanya saja dalam empat tahun  terakhir, menurut sejumlah pengamat, budaya dan prilaku politik pada sebagian komunitas politiknya mengalami kemerosatan tajam dari “democratic American values” yang telah mensejarah itu.

Harian Kompas dalam kolom Tajuk Rencananya ( 9/11 ) dengan tema Kiat Biden Harris, Nurani dan Fokus, memberikan ulasan: “Kemenangan Joe Biden – Kamala Harris memberi pelajaran politik yang sangat berharga. Duet ini memiliki karakter polituk kuat, yakni nurani dan niat melayani rakyat”.

Lebih lanjut Kompas menilai, dari latar belakang karakter, rekam jejak pasangan ini, kolom harian ini sampai pada kesimpulan kemenangan pasangan ini merupakan bukti dari,  dalam bahasa Kompas “Politik nurani telah kembali “. Di sisi lain, banyak pengamat berpendapat, kemenangan calon Partai Demokrat ini merupakan surprise, di tengah lanskap politik global termasuk di AS yang sarat didominasi dengan isu SARA, politik yang telah menjadi  “industri” dengan orientasi kepentingan ekonomi jangka pendek untuk kelompok, kalangan terbatas. Semakin menjauh dari perannya sebagai pemegang  amanah publik.

Tantangan Menjaga Demokrasi

Banyak pengamat dan kalangan masyarakat sipil menilai dengan revisi UU KPK yang note bene melemahkan KPK, revisi UU Minerba yang dinilai oleh berbagai kalangan memberikan “karpet merah” ke kalangan pengusaha tertentu, revisi UU MK yang dipersepsikan memberikan ” gimmicks” ke para hakim MK dengan target politik tertentu, kontroversi di seputar substansi, proses dan prosedur dari UU Cipta Kerja, telah terjadi resesi demokrasi, proses demokrasi yang cacat dan tanda-tanda kembalinya otoritarianisme.
Pada sisinya yang lain, mahalnya biaya yang diperlukan dalam kontestasi demokrasi, telah muncul sinyalemen pendanaan  sebagian para kandidat oleh para pemilik modal ( cukong ), sehingga Prof Emil Salim menyebutnya dengan demokrasi cukong dan kolom Tajuk Kompas menggunakan istilah Cukongkrasi, demokrasi yang dibiayai oleh para cukong.

Politik Hati Nurani

Tantangan penegakan politik hati nurani di menjelang pilkada 9 Desember 2020, menyebut beberapa diantaranya:

1. Kembalikan kultur dan prilaku politik ke jati dirinya, melayani publik ( amanat konstitusi ), keutamaan politik – political virtue – ( sebagaimana diwaris-teladankan ) oleh The Founding Fathers, Soekarno – Hatta,  politik sebagai kekuatan moral ( moral force ) yang diteladankan Mahatma Gandhi dan kemudian menginsirasi Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Pertama negeri ini.

2. Prilalu politik yang menghalalkan semua cara ( machiavelien ), harus diminimalkan melalui penegakan aturan hukum, law enforcement,  masyrakat memberikan reward and punishment politik berupa jatuhkan pilihan ke kandidat yang punya integritas moral tinggi plus punya kompetensi.

3. Idealisme pemilih harus dibangun, dengan kerangka pikir, jangan korbankan masa depan anda selama 5 tahun ke depan, hanya karena pertimbangan praktis jangka pendek.

Dalam masyarakat Bali yang religius, penegakan nurani dalam politik  dapat merujuk ke Hukum Karma ( dalam ungkapan masyarakat agraris pertanian: “jagung yang kita tanam jagung pula yang akan kita petik”). Merujuk Itihasa Baratha Yuda, nasehat Bhatara Narada ( simbolik Tuhan Wisnu ) kepada Panca Pandawa terutama Yudistira setelah Abimanyu gugur: ” suka muang duka awasya wates iki, lawan pati urip “. Suka duka datang silih berganti,jangankan suka dan duka, kelahiran dan kematianpun akan datang.
Kelahiran, kehidupan, merawat kehidupan dan kemudian kematian harus dilakukan secara benar.

Tentang Penulis

I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, di depan Taman Bung Karno, Sukasada, Singaraja, 1 Juni 2020.