PANGGUNG pesta demokrasi acapkali menjadikan seniman mulai tradisional maupun kontemporer atau modern, termasuk para artis penyanyi, musisi, pencipta lagu dan insan seni Bali sebagai sasaran tembak paling fenomenal, dalam upaya pencitraan dan menjaring dukungan empati dari khalayak publik, masyarakat luas. Seperti, pesta demokrasi dari pemilihan gubernur Bali (pilgub) 2013, misalnya. Pasalnya, para calon pemimpin atau kandidat calon terkesan selalu adu cepat dan berlomba-lomba dalam menggaet kalangan seniman sebagai “senjata sakti” pada saat proses kampanye dari program dan visi misi mereka di depan khalayak publik.

Menariknya, peluang ini pun seakan menjadi angin-segar yang sangat menggiurkan dari kalangan seniman untuk meraih pendapatan atau keuntungan lebih maksimal ataupun setinggi-tingginya. Karena ajang pesta demokrasi merupakan “ladang emas” yang bersifat musiman, lima tahun sekali. Inilah namanya politik budaya dalam pesta demokrasi. Jika para seniman mampu memosisikan dirinya secara profesional tentu akan berlangsung aman dan nyaman. Tapi, jika sebaliknya justru akan menjadi boomerang dan bahkan dapat menimbulkan dampak negatif yang tidak sehat bagi upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya ke depannya.

Dalam konteks ini, seniman dituntut harus mampu menghargai kemampuan dan keterampilan yang dimiliki secara proporsional, serta profesional dan independen. Artinya, tidak mudah terseret arus politik pragmatis untuk saling memihak salah satu dari calon pemimpin ataupun kandidat calon. Sehingga, seniman tidak dianggap sebagai profesi yang lemah dan sangat mudah terkoptasi propanganda politik budaya dalam pesta demokrasi bagi kepentingan dari para calon pemimpin ataupun kandidat calon yang cenderung bersifat sesaat.

Ketua Pramusti Bali, I Gusti Ngurah Murthana, yang sangat familiar dan cukup akrab disapa Rahman, mengakui sangat prihatin dan sedih ketika namanya sempat diseret-seret sebagai pendukung salah satu calon pemimpin atau kandidat calon dari pemilihan kepala daerah (gubernur) dalam ajang pilgub 2013, yang akan berlangsung 15 Mei mendatang. “Saya bahkan di berbagai media sempat disebut sebagai penyanyi dan musisi, padahal sebenarnya saya hanya sebagai seorang produser dan pengelola event organizer, yang memang melibatkan para artis penyanyi, musisi, pencipta lagu dan insan seni Bali tersebut,” sesalnya, karena sumber data dari kutipan berbagai media tersebut tidak sesuai faktanya.

Selain itu, katanya, para artis penyanyi, musisi, pencipta lagu, dan insan seni Bali yang sempat terlibat dalam pilgub Bali terkesan kurang mampu memosisikan dirinya secara proporsional serta profesional dan independen. Sehingga, mereka kecenderungan terkesan mengabaikan kemuliaan dari profesinya sebagai seniman dan bahkan terlalu mudah tergiur dengan kepentingan dari keuntungan finansial yang bersifat sesaat dan sangat pragmatis. Jika hal ini dibiarkan tentunya dapat merugikan mereka dalam jangka panjang. Tak hanya itu, profesi seniman pun selalu akan dicap lemah karena kehilangan ruh dan taksu serta daya kreatif dan jati dirinya bagi perjuangan politik budaya dalam pesta demokrasi di masa mendatang.

Menurutnya, sebagai pejabat publik dalam hal ini selaku Ketua Pramusti Bali sudah tentu dirinya dituntut harus independen dan tidak mungkin untuk memihak salah satu dari calon pemimpin atau kandidat calon dalam pesta demokrasi dari pilgub 2013 tersebut secara terbuka. Ini tentunya untuk menjaga keragaman dari pilihan hati para anggota Pramusti Bali, sehingga tidak memicu terjadinya konflik internal yang dapat berdampak buruk bagi kemajuan dan perkembangan serta upaya pelestarian dari seni budaya Bali ke depannya. Terutama profesi seniman di bidang musik mebasa Bali. “Jadi saya tetap berupaya demokratis dengan memberikan kebebasan kepada setiap anggota Pramusti Bali untuk menentukan pilihan sesuai hati nuraninya dalam pesta demokrasi dari pilgub 2013, yang akan berlangsung 15 Mei mendatang,” jelasnya.

Lebih jauh, dia bahkan mengajak para seniman termasuk anggota Pramusti Bali untuk mampu memuliakan profesinya dengan memosisikan dirinya sebagai profesional di bidangnya secara proporsional dan independen. Sehingga, upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya dapat berlangsung secara berkesinambungan dan profesi seniman pun lebih memiliki daya saing sebagai politik budaya dalam setiap pesta demokrasi di masa mendatang. “Marilah secara bersama kita jaga profesionalisme dari profesi seniman. Demi penguatan kreativitas dan jati diri sekaligus daya saing dari kearifan budaya lokal khas Bali termasuk musik mebasa Bali secara global di masa depan,” ajaknya.WB-MB